40

38 11 0
                                    

A Ling mengelap meja ketika pelanggan terakhir berhenti makan. Tidak ada lagi pelanggan yang datang setelah itu. Meja-meja pun sudah waktunya dibersihkan dan rumah makan kemungkinan ditutup lebih awal.

Gadis itu pun berjalan ke arah pintu. Jalan raya masih ramai oleh warga yang baru saja menikmati malam. Melintas kereta kuda atau sado di jalan. Penumpang diatasnya terdengar tertawa cekikikan.

A Ling berbalik badan. Dia bermaksud menghampiri kedua orang tuanya di dapur. Namun, itu urung dilakukan karena ada seseorang yang datang.

"A Ling, kau tidak sibuk?"

A Ling kembali berbalik badan. "Nyonya, saya tidak sibuk. Silakan masuk."

Orang itu masuk kemudian duduk di bangku. "Aku tidak bermaksud memesan makan atau minum. Aku ingin bertemu denganmu."

A Ling menganggukan kepala. "Tapi, saya akan mengambil minuman terlebih dahulu. Hanya secangkir teh."

Orang itu menganggukan kepala. A Ling pun berjalan ke dapur. Meninggalkan orang yang dipanggil "nyonya" itu sendirian. Suasana rumah makan itu menjadi hening sejenak. Suara orang-orang tertawa di luar pun mereda.

"Maaf, Nyonya. Anda harus menunggu." A Ling kembali datang sambil membawa nampan.

"Tidak juga."

"Silakan dicicipi, Nyonya."

Wanita itu mengangkat cangkir teh dengan kedua tangannya. Air teh mengeluarkan sedikit uap sebagai pertanda jika air masih panas.

"Aku datang ke sini, untuk membicarakan temanmu."

"Raden Panca?"

"Ya."

A Ling mengubah rona wajahnya. Semula terlihat sumringah dan ramah selayaknya menyambut tamu. Kini, dia terlihat sedih.

"Aku masih belum mengerti, kenapa suamiku masih berurusan dengan anak itu?"

"Maaf, Nyonya. Saya tidak bisa menjawab pertanyaan Nyonya. Karena, Panca pun masih menduga jika Tuan Win Feng terlibat dalam peristiwa di Pulau Haji."

"Bukan hanya anak itu yang mencurigai suamiku. Wartawan dan polisi pun sama-sama menuduh suamiku sebagai orang yang bertanggung jawab dalam kejadian yang menimpa Raden Bakti, ayah anak itu."

Wanita itu kembali mengangkat cangkir. Dia menengadahkan kepala. Melihat ke langit-langit rumah makan. 

"Nyonya, maafkan saya. Saya tidak bermaksud ikut campur dalam urusan Tuan Win Feng. Saya hanya berusaha membantu Panca karena dia terlihat kebingungan."

"Aku tidak menyalahkan dirimu, A Ling. Aku hanya merasa bingung  dengan kejadian ini. Suamiku sudah lama tidak pulang, tetapi kenapa tiba-tiba orang-orang malah datang mencarinya."

"Saya ... merasa jika keterlibatan Tuan Win Feng hanya sebuah kebetulan. Kita pun tidak tahu, peran beliau apa."

"Mungkin dia satu-satunya orang yang tertuduh."

"Belum tentu, Nyonya. Berdasarkan obrolan dengan Panca, dia tidak serta merta menuduh Tuan Win Feng. Hanya saja, beliau dianggap memiliki kabar tentang peristiwa di Pulau Haji."

Nyonya Win Feng menghela nafas. Dia menoleh ke arah lorong yang menghubungkan ruang makan dengan dapur.

"Bagaimana kabar ayah dan ibumu?"

"Baik, tapi tidak terlalu baik."

"Di usianya, memang rentan."

"Ayah sering sakit pinggang. Tapi, ayah jarang terdengar mengeluh."

Nyonya Win Feng melihat ke sekeliling. Dia seperti mencari sesuatu.

"Meja-meja sudah bersih, kau bermaksud menutup kedai?"

"Ya, tidak ada lagi pelanggan. Orang yang menyewa kamar pun, sudah tidur sejak siang. Memang seperti itu kebiasaan pelanggan kami. Biasanya, pelaut yang harus begadang setiap malam."

"Suamiku pun sepertinya begitu. Malam ini dia harus begadang."

A Ling tahu diri. Dia tidak mau menanyakan kenapa Nyonya Win Feng menyangka jika suaminya harus begadang malam itu. A Ling sudah sering mendengar tentang desas-desus yang santer terdengar jika suami wanita itu adalah seorang perompak. Para perompak biasa bekerja saat malam tiba.

"Pada mulanya, aku tidak percaya jika suamiku menjadi perompak. Tapi, tadi sore ada mantan pegawainya berkunjung ke rumah. Dia masih kerabat, bermaksud sekedar bertanya kabar. Ternyata, desas-desus itu benar adanya. Orang itu pelaut, jadi ... aku sulit untuk tidak mempercayainya."

A Ling menyimak. Gadis itu tidak berani berkomentar.

"Sekarang, ke mana anak itu?"

"Panca, sejak pagi belum kembali. Kemungkinan dia ... meneruskan usahanya untuk mencari ayahnya."

"Semoga dia baik-baik saja."

"Saya juga berharap begitu. Padahal, biasanya dia ... makan malam di sini."

"Perasaanku tidak nyaman sejak kedatangan anak itu bersamamu tadi pagi."

"Saya juga demikian."

A Ling tertunduk.

"Aku hanya berharap, suamiku pulang dalam keadaan selamat. Meskipun dia pulang bersama sepasukan polisi."

A Ling mengangkat wajahnya.

"Aku berusaha ikhlas, jika nanti pengadilan memutuskan ... dia bersalah."

"Begitukah?"

"Ya, aku hanya tidak ingin ... dia kembali membuat masalah. Aku berharap, pekarangan rumahku tidak menjadi tempat banjir darah."

"Akankah seperti itu?"

"Aku khawatir, jika dia tidak diadili, orang-orang akan menuntut balas atas kematian pemimpin mereka. Cukup sekali itu terjadi. Aku tidak mau itu terulang kembali."

A Ling mengangguk pelan.

Panca dan Tragedi Pulau HajiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang