Beberapa hari kemudian ...
Panca sengaja berkunjung ke rumah makan Cina siang itu. Panas matahari yang menyengat Batavia membawanya untuk berteduh dan menikmati segelas air putih.
"Raden, kabarnya, ayahmu berangkat ibadah haji?" A Ling bertanya sambil menyodorkan air di kendi.
"Iya. Kau tahu dari mana?"
"Ah, berita cepat menyebar. Kemarin ada orang dari Desa Pujasari mampir untuk makan di sini. Katanya, kepala desanya berangkat ke Pulau Haji untuk persiapan berangkat ke Arab."
"Oh, begitu."
"Iya, tapi aku tidak bertanya siapa nama orang itu. Kau pasti kenal dia."
"Mungkin dia tetanggaku, sesama pedagang gerabah."
"Raden, pastinya kau akan ditinggalkan ayahmu cukup lama."
"Biasanya, orang yang berangkat ibadah haji bisa sampai dua tahun."
"Selama itukah?"
"Tentu saja. Tanah Arab itu jauh. Naik kapal api saja bisa berbulan-bulan."
Air muka Panca berubah. Dia tampak sedih.
"Kau tidak usah sedih, Raden. Masih banyak teman-temanmu yang senantiasa setia," A Ling tersenyum sambil memandangi Panca dari seberang meja.
"Bukan perkara itu yang aku khawatirkan?"
"Lantas apa?"
"Keadaan di desaku."
"Untuk sementara, Desa Pujasari ditinggalkan kepala desanya."
"Ya, Pamanku diberi tanggungjawab untuk menggantikan ayahku. Tapi, aku ragu jika dia sanggup memimpin."
"Aku mengerti kekhawatiranmu. Pamanmu itu, di Batavia pun ...."
"Dia suka membuat masalah. Dan, dia bukan jenis orang yang betah tinggal di rumah. Sedangkan menjadi kepala desa harus sering berada di kampungnya."
Panca mencurahkan keresahannya pada A Ling. Di Batavia, tidak banyak orang yang akrab dengan anak remaja itu. Hanya beberapa orang seusianya, termasuk A Ling yang bisa diajak bicara dari hati ke hati. Selebihnya, Batavia hanya tempat untuk mencari nafkah.
"A Ling, makanannya sudah siap!" seseorang berteriak dari arah dapur.
"Ah, makananmu sudah siap. Akan aku ambilkan untukmu."
A Ling beranjak kemudian berjalan ke lorong yang menghubungkan antara ruang makan dengan dapur. Baju cheongsam yang dikenakannya tampak dari arah belakang. Warna merah bergambar bunga-bunga nan mekar.
Panca menoleh ke belakang. Jalan raya terlihat lengang siang itu. Udara panas jalanan masuk melalui pintu rumah yang terbuka lebar.
"Ini makananmu, Raden. Ayam bakar beserta nasi."
"Dengan lalapan dan sambal?"
"Tentu saja."
A Ling duduk di bangku bermaksud menemani Panca makan siang itu. Gadis itu senang apabila Panca datang berkunjung. Tidak banyak anak remaja seusianya yang bisa diajak berbincang hal-hal menarik. Maklum, tamu yang datang ke rumah makan itu lebih banyak pria tua. Para nelayan atau pedagang di sekitar Pecinan.
"Ini rumah makan Cina. Tapi, kau masih memesan ...."
"Maaf, lidahku sulit menerima masakan Cina."
A Ling tersenyum, "terpenting ... kau kenyang."
Tanpa sadar, kaki Panca diangkat ke atas bangku. Dia tidak nyaman jika makan sembari duduk di kursi atau bangku. Anak kampung itu lebih suka makan lesehan di dipan atau lantai papan sebagaimana di rumahnya.
"Raden, aku jadi penasaran."
"Penasaran tentang apa?"
"Bagaimana kehidupanmu di desa?"
"Kalau begitu, sesekali kau berkunjung ke desaku."
"Ah, aku takut."
"Takut kenapa?"
"Takut diangkat menjadi menantu."
"Uhukk, uhuk!"
"Ha ha ha, aku hanya bercanda, Raden."
Panca kaget ketika A Ling bicara demikian.
"Lagipula, aku tidak mau hidup di desa. Di kaki gunung, tidak terbayang olehku jika harus hidup di sana."
"Kau harus mencoba dahulu hidup di pedalaman. Udaranya sejuk, tidak seperti Batavia. Panas!"
Panca berteriak ketika mengakhiri kalimatnya. Dua orang pria yang sedang makan di meja lain, menoleh kemudian menatap Panca dengan tajam.
"Ah, tidak. Aku tidak bakal betah hidup di sana. Apalagi, jadi menantu Juragan Haji ...," A Ling bicara demikian sambil berlalu meninggalkan Panca.
"Dasar gadis kota," Panca bergumam.
Dari lorong A Ling berteriak, "hei, aku masih bisa mendengar!"
Panca menggelengkan kepala. Anak remaja itu sulit mengerti dengan sikap A Ling yang sedikit berubah. Tapi, dia senang karena gadis itu terlihat ceria. Jauh lebih baik dibandingkan ketika pertama kali mereka bertemu. Dan, dia semakin terlihat cantik.
Suapan terakhir belum sampai mulut, tetapi ada sesuatu yang mengganggu kenyamanan Panca. Keributan terdengar dari luar. Anak lelaki itu pun menoleh ke arah jalan raya yang berdebu.
"Ada apa ya?"
"Mungkin ada perkelahian, Raden," seorang pelanggan menanggapi.
"Aduh, siang-siang begini."
Semua orang yang sedang istirahat siang itu tergoda untuk keluar. Mereka berdiri di selasar bangunan. Mata Panca pun tertuju pada keributan yang tengah terjadi di persimpangan.
"Kalian melihat pencurinya?" Seseorang berlari ke arah kerumunan sambil menghunus golok.
"Bagaimana cirinya?"
Seorang teman si pengejar menjawab, "anak gadis, seusia A Ling. Berbaju cokelat, rambutnya digelung. Dia memakai topeng."
Semua orang saling pandang.
Ternyata orang yang mengejar si pencuri datang dari berbagai arah. Pada akhirnya mereka bertemu di persimpangan yang tidak jauh dari rumah makan Cina milik keluarga A Ling.
Hingga, beberapa saat kemudian kerumunan itu bubar.
Panca pun membalikan badan. Dia bermaksud menyelesaikan makan siangnya.
Tunggu, jangan-jangan.
Panca tidak menghiraukan perasaannya. Meskipun dia merasa ada sesuatu yang tidak biasa dengan pedati yang terparkir di pinggir jalan.
Panca lebih memilih menyelesaikan urusannya dengan si empunya rumah makan. Membayar dengan beberapa keping uang kemudian berpamitan.
"Besok mampir lagi, ya!"
"Ya, kalau kau memperbolehkanku berutang!"
"Boleh, tapi sapi milikmu menjadi jaminan!"
Panca tersenyum pada A Ling yang melambaikan tangan sambil memegang nampan. Ada yang tak biasa dengan perangai gadis itu.
Dua ekor sapi yang menarik pedati membawa Panca untuk pergi. Meninggalkan A Ling dan deretan rumah di Pecinan yang sempit. Kala siang sepanas itu, orang-orang lebih suka menyantap makanan sambil bertelanjang dada.
Pedati berjalan pelan. Rodanya berputar mengikuti ke mana hewan penariknya menuju. Kedua roda pedati tidak pernah protes.
"Akhirnya ...," terdengar seseorang bicara pelan.
Panca pun menoleh. "Kau? Sedang apa kau di sini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Tragedi Pulau Haji
Mistero / ThrillerSemua mata tertuju pada suasana pulau yang berbeda sebagaimana hari-hari sebelumnya. Tidak ada lagi keramaian. Tidak ada kapal bahkan sebuah sampan pun tidak ada yang bersandar di dermaga. Malam sudah menjelang, tetapi tidak ada satu pun lampu menya...