Panca berlari kencang mengikuti Asih. Kenapa gadis itu berlari lebih kencang dariku?
"Hei, berhenti!" Asih berteriak lagi.
Mashudi enggan menuruti Asih. Laki-laki itu terus berlari ke tengah perkampungan. Dia berlari diantara pohon kelapa yang tumbuh tinggi. Hampir saja kepalanya tertimpa pohon kelapa yang jatuh karena tertiup angin.
"Sialan!"
Terdengar oleh Panca jika orang yang dikejarnya mengumpat. Tampak pula dia mengurangi kecepatannya dalam berlari. Itu menjadi kesempatan baginya untuk menyergap.
Panca berlari memutar hingga mengelilingi pohon kelapa tersebut. Dan, Panca bisa melompat ke arah Mashudi. Tubuh mereka beradu hingga terjatuh ke tanah.
"Ha, kena kau!"
Panca memiting tubuh Mashudi. Tibalah Asih dan berhenti berlari tepat di depan wajah laki-laki itu.
"Katakan, di mana Win Feng?"
"Saya tidak tahu, Nyimas."
"Bohong. Kau pasti tahu kan?"
Mashudi berusaha melawan. Tenaga laki-laki itu sebenarnya sanggup untuk melawan Panca. Tubuh mereka berdua berbeda dari segi ukuran. Tapi, Asih sudah menghambat siapa pun untuk melawan dengan mendekatkan pisau ke leher Mashudi.
"Ampun. Ampun, Nyimas. Saya ...."
Perkelahian itu mengundang perhatian warga. Awalnya hanya anak-anak kecil yang sedang bermain di pekarangan tertarik untuk melihat mereka. Bocah-bocah itu melongo.
Bahkan seorang anak laki-laki yang sedang makan sukun rebus berjalan pelan ke arah ketiga orang yang sedang berkelahi. Bocah itu masih balita hingga tidak terlalu mengerti dengan apa yang terjadi.Ternyata, ibu dari si bocah berlari demi berusaha menghentikan langkah anaknya. Wanita berkebaya itu berlari ke arah sebuah rumah sambil menggendong si anak. Dia masuk dan menutup rapat pintu.
Tak lama kemudian, dari rumah itu keluar seorang laki-laki. Kemungkinan besar dia adalah suaminya. Karena melihat ada warga yang berkelahi, dia menghampiri.
"Hai, hentikan!"
Sontak, Asih menoleh ke belakang. Gadis itu tersenyum.
"Lepaskan Mashudi!"
Asih menggelengkan kepala.
"Berarti kau cari mati!"
Panca berusaha bicara, "paman ...," namun Asih menahannya untuk bicara. Tangan kiri gadis itu diangkat sebagai pertanda jika Panca sebaiknya diam.
"Hei, kalian sudah membuat keributan di tempat ini berarti kalian sudah mengusik ketenangan kami!"
Laki-laki itu bicara dengan nada tinggi. Hal demikian bisa membuat warga lain terbangun dari istirahatnya. Hal yang tidak biasa apabila keributan terjadi ketika hari belum beranjak siang.
Wanita sengaja membawa anak-anaknya untuk masuk ke dalam rumah. Sembari memberitahu suami mereka jika di luar sedang ada keributan.
"Perhatikan, jumlah kami banyak. Jika kalian tidak pergi maka kami tidak akan segan untuk berbuat lebih tegas."
"Kami pun akan melakukan hal yang sama."
Sebilah pisau di leher Mashudi berkilau terkena sinar matahari. Warga yang semula tiba dengan penuh emosi kini mereda. Mereka tidak bisa gegabah melakukan perlawanan. Meskipun di hadapan mereka hanyalah dua orang anak remaja. Dalam hitungan mereka, tidaklah susah melawan dua anak kecil.
"Kami sedang memiliki urusan pribadi, jadi sebaiknya kalian menjauh." Mata Asih melirik ke sebilah pisau di tangan kanannya. Gadis itu sudah tahu jika orang-orang di hadapannya mudah untuk dihadapi. Dia tenang dan tidak mudah mematuhi keinginan warga.
"Tidak, kami tidak mau pergi. Justru kalian berdua yang harus pergi."
"Baiklah, jika orang ini tidak mau bicara ... mungkin kalian mau bicara."
Para warga saling lirik.
"Kalian tahu, dimana Tuan Win Feng berada?"
Warga yang ditanya malah tersenyum. Kemudian mereka tertawa. Meledek.
"Berarti kalian menginginkan orang ini mati!'
Mereka kembali tertawa. Ancaman seorang gadis terdengar seperti sebuah permainan.
"Asih, mungkin mereka belum mengenalmu." Panca heran dengan sikap warga yang meremehkan ancaman Asih.
"Sepertinya begitu. Mereka belum mengenal kita berdua. Mereka pikir kita main-main."
Tertawa mereka mereda setelah melihat Mashudi menggelengkan kepala. Dia tahu jika warga menganggap hanya main-main. Mashudi tahu jika warga tidak mengenal Asih yang pernah menjadi pemimpin dirinya ketika masih menjadi bagian dari komplotan perompak di Laut Jawa.
"Ya, ya, saya akan bicara, Nyimas."
Asih tersenyum.
Tapi, seorang warga sepertinya keberatan ketika Mashudi hendak membocorkan sebuah rahasia.
"Kenapa, kalian anak buah Win Feng juga?"
"Bukan, bukan. Tolong mengerti ...para nelayan sering menjadi korban Win Feng dan anak buahnya."
"Lalu kenapa kau lari, Paman?" Panca heran dengan sikap Mashudi.
"Aku tidak mau lagi berurusan dengan Win Feng. Aku takut ancamannya."
"Ancaman apa?"
"Dia dan anak buahnya ... sering mengancam keluarga kami jika kita mencoba bicara ...."
"Tentang apa?"
"Kelakuannya."
"Aku tidak bertanya tentang kelakuannya, hanya bertanya di mana dia?"
Warga yang sedang berdiri pun saling bertanya satu sama lain. Terdengar diantara para lelaki itu saling berbisik. Mereka meminta pendapat dari kawannya untuk menentukan sikap.
"Baiklah. Aku akan bicara. Tapi, jauhkan dahulu pisau ini dariku!"
Asih menuruti kemauan Mashudi. Laki-laki itu bisa bernafas lega. Dia menghirup udara karena dadanya terasa sesak ditindih oleh Panca ditambah mendapatkan ancaman dari Asih.
Asih menatap Mashudi. Begitupula dengan Panca. Pandangan keduanya tertuju pada Mashudi. Menunggu orang itu bicara.
Sehingga lengah jika orang-orang yang mengelilinginya memiliki rencana.
Sssttt!
Asih mendengar udara terbelah oleh sesuatu. Tepat dekat di telinga. Gadis itu pun menoleh.
Sayang, dia telat.
Wajahnya terkena sapuan kaki salah seorang warga. Paakk!
Asih terjungkal.
Panca pun kaget dengan serangan mendadak itu. Pegangannya menjadi longgar. Kesempatan itu dimanfaatkan Mashudi untuk melepaskan diri.
Mashudi balik menyerang. Kedua tangannya mampu membanting Panca hingga membentur pohon kelapa yang ada di belakangnya.
Sial bagi kedua anak remaja itu. Serangan susulan hampir saja melukai tubuhnya. Sebuah kelewang hampir saja melukai kulit mereka. Seorang lelaki bertubuh jangkung sepertinya ringan saja mengayunkan senjata tajam itu.
Panca dan Asih memilih untuk menjauh.
Tapi, sekawanan lelaki itu sudah tidak sanggup lagi menahan amarah. Mereka mengejar Panca dan Asih sambil mengacungkan senjata masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Tragedi Pulau Haji
Mystery / ThrillerSemua mata tertuju pada suasana pulau yang berbeda sebagaimana hari-hari sebelumnya. Tidak ada lagi keramaian. Tidak ada kapal bahkan sebuah sampan pun tidak ada yang bersandar di dermaga. Malam sudah menjelang, tetapi tidak ada satu pun lampu menya...