Malam telah larut. Tuan Frans masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Peristiwa di Pulau Haji terus terpatri dalam pikirannya. Bukan hanya tentang hal yang telah disaksikannya di pulau kecil itu. Namun, dia tidak menyangka jika laporan tentang peristiwa itu malah menimbulkan bahaya.
"Permisi," seseorang memanggil sambil mengetuk pintu.
"Ya, sebentar. Siapa di luar?"
"Saya pelayan hotel. Bermaksud mengantarkan makanan, Tuan."
Tuan Frans beranjak dari ranjang kemudian berjalan ke arah pintu. Dia membuka gerendel lalu menarik daun pintu.
"Ah, ternyata kau. Bagaimana kau bisa ada di sini?"
Orang yang ditanya tidak menjawab pertanyaan. Dia malah masuk ke dalam kamar hotel tanpa meminta izin. Tangan kanannya cekatan menutup pintu.
"Dengar, Tuan. Saya mohon minta waktunya sebentar."
"Bagaimana kau bisa tahu jika aku ada di sini? Kau membuntuti aku, ya?"
"Maaf, Tuan. Apabila saya lancang. Tapi, saya ingin menanyakan sesuatu pada Tuan."
Tuan Frans gusar dengan sikap tamu tak diundang itu. Dia duduk di tepi ranjang sambil memasang wajah cemberut.
"Baiklah, siapa namamu?"
"Nama saya Panca."
"Bagaimana aku yakin jika kau bukan bagian dari pelaku pembantaian itu?"
"Saya tidak tahu bagaimana meyakinkan Tuan. Tapi, saya bersumpah bukan bagian dari pelaku."
Mereka berdua saling menatap.
"Foto saya ada di Koran Batavia beberapa bulan lalu. Saya dipotret bersama dengan sahabat saya, beberapa orang kepala desa dan beberapa polisi. Dan, salah satu kepala desa itu adalah ayah saya."
Tuan Frans mengerutkan alisnya. Dia heran dengan pengakuan Panca.
"Waktu itu saya dan sahabat saya ... diculik oleh komplotan pembongkar makam ...."
"O ya. Aku ingat."
"Bagus jika Tuan bisa mengingat siapa saya."
"Lantas, apa yang ingin kau ketahui dariku?"
"Saya hanya ingin membuktikan jika ayah saya tidak bersalah."
"Bagaimana caranya?"
"Mencari tahu dimana dia."
"Aku tidak tahu keberadaan ayahmu."
"Ketika Tuan sampai di pulau itu, adakah orang yang masih hidup?"
"Semuanya mati. Pertama kali aku menginjakan kakiku, semua orang yang ada di sana dalam keadaan tak bernyawa."
Air muka Panca berubah. Tidak terpancar wajah yang penuh harapan. Tuan Frans tahu jika orang di depannya akan bersikap demikian. Dia tidak memiliki kabar yang bisa membuat Panca senang atau setidaknya menenangkan.
"Aku turut perihatin atas apa yang telah terjadi pada ayahmu."
"Terima kasih, Tuan."
Pandangan Panca tertuju pada keadaan kamar hotel. Bukan hotel mewah sebagaimana yang biasa dipesan para pembesar Eropa. Tuan Frans hanya seorang wartawan yang harus sering berhemat dalam masalah keuangan.
Malam itu sang kuli tinta menginap di hotel yang menyediakan kamar sederhana. Pelanggannya para pelaut yang baru tiba di Batavia. Selebihnya hanyalah orang-orang yang ingin merasakan suasana berbeda apabila di rumah terasa membosankan.
"Tuan, bersembunyi di sini ...."
"Ah, tadinya aku bermaksud begitu. Ternyata kau bisa menemukanku. Aku ingin istirahat lebih nyaman."
Dinding kamar yang dicat putih tanpa hiasan memang cukup membuat orang tidur nyenyak. Walaupun belum tentu bisa membuatnya lama-lama di dalam kamar hotel yang sempit. Tidak ada perabotan kecuali meja kecil lengkap dengan sebuah kursi di sudut ruangan.
Panca beranjak. Anak remaja itu bermaksud pergi.
"Tuan, sebenarnya ... anda ke pulau Haji dalam rangka apa?"
"Meliput kegiatan di Pulau Haji. Ternyata, di sana hanya ada orang-orang mati bergelimpangan."
"Apakah Tuan memiliki foto mereka?"
Tuan Frans menatap tajam Panca yang sudah berdiri di ambang pintu.
"Tuan, bolehkah saya melihatnya?
"Foto-foto itu tidak ada di sini. Aku menyimpannya di suatu tempat."
"Ah, padahal saya berharap bisa mengenali wajah mereka satu per satu."
"Untuk alasan itu, kau harus menanyakannya ke pihak Rumah Sakit. Itu pun kalau mereka mau memberi izin."
"Hal yang membuat saya heran, kenapa pihak Pemerintah seakan tidak tahu?"
"Entahlah. Justru aku yang pertama kali menyaksikan mereka bergelimpangan ...."
"Apakah Tuan, sendiri ke sana?"
"Ya, aku tidak membawa serta teman atau keluarga. Karena aku pikir, ini akan menjadi pekerjaan yang mudah. Mengayuh sampan ketika pagi buta berharap tidak terpapar panas matahari di tengah laut. Ternyata .... "
Panca menganggukan kepala.
"Salahnya, aku tidak bicara terlebih dahulu dengan pihak Pemerintah. Koran Batavia langsung menyebarkan berita di koran pagi itu. Dan, Pemerintah marah akan sikap kami."
"Lantas, dua orang yang merusak kantor Koran Batavia adalah orang Pemerintah?"
"Sepertinya bukan, orang Pemerintah marah ada direktur kami dengan memanggilnya ke Istana. Pihak Istana mengancam akan menutup izin Koran Batavia. Aku pikir, kedua orang itu adalah bagian dari pelaku pembantaian di Pulau Haji."
"Peristiwa ini sudah membuat Batavia menjadi bergejolak, Tuan."
"Ya, tetapi menutupi kenyataan ... bagi kami adalah bentuk kejahatan. Masyarakat harus tahu akan hal ini."
Panca menghela nafas. Sedangkan Tuan Frans hanya menerawang ke dimensi lain. Tatapannya kosong.
"Jika demikian, saya berterima kasih. Maaf karena telah mengganggu waktu istirahatnya."
"Justru aku yang harus meminta maaf karena telah membuatmu panik. Lalu, apa yang akan kau lakukan selanjutnya?"
Panca berpikir sejenak. Dia tidak langsung menjawab pertanyaan lawan bicaranya.
Tangan kanan Panca memegang daun pintu. Dia bermaksud membuka pintu kamar, tapi itu urung dilakukan.
"Ada apa?"
Panca menjadi tegang.
"Hei, katakan!"
Panca mendekatkan telunjuk ke bibirnya, "orang-orang yang merusak kantor Tuan, mereka datang."
Sialan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Tragedi Pulau Haji
Misteri / ThrillerSemua mata tertuju pada suasana pulau yang berbeda sebagaimana hari-hari sebelumnya. Tidak ada lagi keramaian. Tidak ada kapal bahkan sebuah sampan pun tidak ada yang bersandar di dermaga. Malam sudah menjelang, tetapi tidak ada satu pun lampu menya...