Asih menatap perempuan di depannya dengan mata berkaca-kaca. Kobaran api memantul di bola matanya. Namun, orang yang ditatap tidak menyadari jika putrinya sedang memperhatikan.
"Asih, apakah Panca mengetahui hal ini?"
"Tidak, Raden. Maafkan saya."
"Seharusnya kau meminta maaf kepada Panca, bukan kepadaku," Raden Bakti bicara dengan pelan. Tangannya masih membolak-balikkan ikan di perapian.
Asih tertunduk.
"Ini, ajak makan dahulu ibumu, jangan biarkan dia kelaparan."
Asih mengangguk. Dia pun meraih ikan bakar yang sedikit gosong. Ikan itu didekatkan kepada wanita yang sedari tadi asyik bicara sendiri.
Sebetulnya wanita itu berparas cantik. Tidak tampak kulitnya yang keriput padahal dia sudah cukup tua jika ditilik dari usia. Uban tampak di beberapa helai rambutnya yang berantakan. Mungkin karena dia tidak memikirkan kemelut di sekitarnya sehingga pikirannya yang lapang mempengaruhi fisiknya. Dia tampak lebih bugar dibandingkan wanita lain seusianya.
"Mereka memanfaatkan keadaan ibu yang ... sakit jiwanya ... untuk melakukan apa yang mereka mau," Asih mulai menjelaskan kenapa ibunya ada di tengah hutan tak bertuan.
"Beberapa hari lalu, sebelum aku berangkat ke Batavia, ada orang dari Sugihmakmur berkunjung ke rumah. Aku pun menanyakan kabar ibumu, katanya ibumu baik-baik saja. Masih menempati rumah yang dahulu kalian tempati. Benarkah begitu?"
"Ya, Raden. Mungkin orang itu tetanggaku. Merekalah yang selalu menjaga ibu apabila saya ... sedang tidak ada di rumah."
"Lantas, bagaimana bisa ibumu ada di sini?"
"Mereka menculiknya."
Raden Bakti memalingkan wajah. Dia ingin marah kepada seseorang tetapi hanya bisa menggemeretakan giginya saja. Tangannya dikepalkan kemudian dipukul ke tanah.
"Mereka tahu jika ibu saya sakit jiwa. Mereka memanfaatkan keadaan ibu untuk menjadi jaminan. Win Feng menginginkan saya untuk membawa Panca menemui mereka."
"Secara diam-diam?"
Asih mengangguk.
Wanita di dekat Asih sesekali tertawa cekikikan. Entah menertawakan siapa atau menertawakan apa. Baginya, tertawa menjadi cara untuk meminta perhatian orang-orang di sekitarnya.
Andaikan dia tertawa demikian di dekat kampung, mungkin warga akan menganggapnya sebagai kuntilanak. Makhluk gaib yang selalu digambarkan sebagai wanita berambut panjang. Kuntilanak suka tertawa cekikikan di pohon besar tidak jauh dari perkampungan.
Namun, di hutan seluas itu tidak ada orang yang akan mendengarkan tertawanya. Hanya anaknya, Asih dan Raden Bakti yang mendengarkan.
"Asih, aku berharap, setelah kejadian ini kau tidak meninggalkan ibumu di rumah."
"Saya pun berpikir begitu, Raden."
"Aku mengerti kenapa gadis seusiamu harus bergaul dengan sekomplotan perompak seperti Win Feng dan anak buahnya."
"Terima kasih jika Raden mengerti."
"Hanya saja, kau juga harus memikirkan keselamatanmu," Raden Bakti menghela nafas, "dan juga keselamatan ibumu."
"Awalnya, saya berpikir jika jalan hidup yang saya tempuh menjadi cara yang mudah untuk menyelesaikan masalah yang kami hadapi. Ternyata, masalah menjadi bertambah."
"Aku mengerti, bagaimana keadaan keluargamu memaksa dirimu menjalani pekerjaan ... yang kau lakukan sekarang ...."
Asih terdiam.
Raden Bakti kembali mengunyah daging ikan yang baru saja dibakar. Makanan yang begitu sering dijumpainya akhir-akhir ini. Ketika hidup di laut, maka makanan seperti demikianlah yang sering didapatinya. Ketika sedang di kaki pegunungan, maka singkong adalah makanan pokok setiap hari yang dimakan.
"Kalau di kampungmu, makan ikan ini pasti lauk bagi nasi liwet. Ah, aku rindu nasi liwet."
"Ya, Raden. Saya pun sudah lama tidak makan nasi liwet. Apalagi dihidangkan di daun pisang. Sungguh nikmat jika makan bersama para petani di pinggir sawah."
"Dahulu, ketika kau masih kecil, aku pernah makan nasi liwet seperti yang kau ceritakan. Kau masih ingat?"
"Tentu, Raden. Waktu itu, ayah saya sedang mengawasi para petani bekerja di sawah. Seingat saya, waktu itu kita makan dengan lauk kesukaan saya, belut seukuran tangan." Asih tersenyum, nyaris tertawa, ketika mengingat masa indah kehidupan masa kecilnya.
"Kau sungguh lucu waktu itu."
"Saat kapan? Saat saya tercebur ke sawah? Ya, saya ingat. Waktu itu, tubuh saya penuh dengan lumpur. Malu rasanya."
Mereka tertawa mengingat kejadian lucu saat Asih masih anak-anak. Keakraban keduanya tidak terjalin dalam waktu dekat. Mereka sudah saling kenal sejak lama.
"Ayah dan ibumu, sungguh orang yang luar biasa. Memberdayakan warga desa sehingga bisa hidup mandiri. Hal demikian membuatku ingin meniru apa yang telah dilakukannya."
"Tapi, masa-masa indah itu sudah berlalu, Raden." Asih menjadi sedih, "kehidupan kami berubah sama sekali. Tidak ada yang tersisa ...."
Raden Bakti menatap Asih. Mata gadis itu berkaca-kaca.
"Masih ada yang tersisa," Raden Bakti tersenyum, "dirimu."
Asih yang semula tertunduk lesu, kemudian mengangkat wajahnya.
"Kau tumbuh menjadi gadis yang kuat. Tidak percuma kedua orang tuamu mendidik dengan cara yang berbeda dengan gadis-gadis lain. Sepertinya, kedua orang tuamu sudah mempersiapkan ... andai terjadi sesuatu pada dirimu."
Obrolan mereka bertiga berlanjut hingga membicarakan keseharian Panca apabila sedang di rumah. Asih merasa terhibur dengan cerita Raden Bakti. Sesekali ayahnya Panca itu menceritakan kelakuan anaknya yang dinggap lucu. Tentu saja, wanita berambut acak-acakan, ibunya Asih tidak menganggap itu sesuatu yang lucu.
Terpikir oleh mereka untuk segera pergi. Menjauh dari hutan yang menyajikan kegelapan. Namun, Asih menolak. Dia akan merasa kesulitan mengajak ibunya yang sakit jiwa untuk berjalan dalam kegelapan. Jika menggunakan jalur laut maka khawatir andaikan komplotan Win Feng akan menangkap mereka.
Namun, kekhawatiran mereka bisa terobati tatkala ada seseorang yang datang. Orang itu sudah akrab dengan Asih tapi tidak dengan Raden Bakti dan si wanita berambut acak-acakan.
"Asih, ternyata kau di sini!"
"Tuan Frans, anda mengikuti kami hingga ke tempat terpencil seperti ini?"
"Ya, ya, aku menjemputmu untuk pulang. Walaupun, Panca belum bisa kuajak pulang."
Semua terdiam ketika Tuan Frans mengeluhkan keadaan yang tidak menguntungkan.
![](https://img.wattpad.com/cover/317878897-288-k942008.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Tragedi Pulau Haji
Mystery / ThrillerSemua mata tertuju pada suasana pulau yang berbeda sebagaimana hari-hari sebelumnya. Tidak ada lagi keramaian. Tidak ada kapal bahkan sebuah sampan pun tidak ada yang bersandar di dermaga. Malam sudah menjelang, tetapi tidak ada satu pun lampu menya...