49

36 12 0
                                    

Tuan Frans mendengar dengan seksama cerita Raden Bakti. Begitupula Inspektur Pieter dan anggota pasukannya. Mereka duduk sambil mengelilingi perapian.

Kali ini, hanya Raden Bakti yang bisa dijadikan sumber rujukan satu-satunya. Apa yang sebenarnya terjadi di Pulau Haji?

"Hari itu, kami semua sedang bersiap-siap untuk makan malam."

Tuan Frans mencatat apa yang disampaikan Raden Bakti. Mereka berdua saling bertatapan. "Saya wartawan, saya terbiasa mencatat." Raden Bakti pun mengangguk pertanda setuju.

"Malam mulai gelap. Meskipun, di ufuk barat masih ada semburat cahaya pertanda waktu maghrib baru tersedia."

***

(Raden Bakti bercerita menurut sudut pandangnya.)

...

Di malam kejadian ...

Suasana pulau begitu tenang. Seperti hari-hari sebelumnya, tidak ada yang spesial. Para jama'ah dari berbagai daerah berkumpul di ruang makan.

Diantara mereka bercengkrama satu sama lain. Kebetulan, semuanya laki-laki. Tidak ada perempuan di ruangan itu. Selain penduduk pribumi yang akan berangkat ke Tanah Arab, ada petugas berpakaian serba putih _kecuali sepatunya_ mereka orang-orang Eropa yang bertanggungjawab pada kegiatan di Pulau Haji.

"Raden Bakti, bagaimana kabar anda malam ini?" seorang jemaah asal Banten menyapa.

"Alhamdulillah, Tuan. Kabar anda sendiri?"

"Alhamdulillah."

Nama orang itu adalah Tubagus. Saya baru mengenalnya saat itu. Namanya memang sering terdengar. Mungkin nama Tubagus yang lain yang sering saya dengar. Di Banten, nama itu disematkan pada banyak orang. Nama lengkapnya, saya sendiri tidak tahu.

Kami mengantri tepat di depan petugas yang khusus menyajikan makanan. Kala itu, menunya sup kentang dan bubur. Memang bukan makanan yang biasa kami santap. Tetapi, sengaja dibiasakan demikian agar nanti di negeri seberang kami tidak kaget.

Saya pun kembali memandang sajian makanan setelah sebelumnya saling bertatapan dengan Tuan Tubagus. Pandangan saya tidak tertuju padanya. Apalagi cahaya di ruangan itu tidak cukup terang untuk bisa memerhatikan apa yang dia lakukan.

"Perhatikan semua!" tiba-tiba Tubagus berteriak.

Tentu saja semua orang kaget, termasuk saya. Piring yang ada di tangan nyaris terjatuh ke lantai.

Saya tidak tahu, darimana dia memperoleh senjata. Di tangannya sudah ada belati dengan dua mata pisau. Tubagus mengancam orang-orang di sana untuk membunuh salah seorang jemaah. Dia disandera oleh Tubagus hingga semua orang memperhatikannya.

"Perhatian, kalian semua yang ada di sini!" Tubagus berteriak lantang. "Perlu disadari, jika kalian adalah kaki tangan penjajah! Maka kalian semua harus mati!"

Saya tidak mengerti kenapa orang itu tiba-tiba bicara demikian. Setiap orang berusaha menenangkan. Namun, tidak ada yang berhasil mencegahnya. Dia mengamuk.

Orang itu melayangkan tusukan demi tusukan kepada orang-orang yang ada di sana. Ada yang berhasil melawan, ada juga yang kalah ketika berduel.

Tiba saatnya orang itu menghampiri saya. Dia pun melayangkan sabetan pisau ke arah wajah. Saya pun bisa mengelak.

Selanjutnya, saya tidak tahu persis apa yang tengah terjadi. Dia memadamkan lampu kemudian meneruskan aksinya hingga membabi buta. Saya pun kebingungan. Hanya terdengar keributan di setiap ruangan. Sesekali suara tembakan terdengar.

Hingga, keributan itu mereda. Saya bersembunyi di kamar mandi setelah dia menusuk beberapa bagian tubuh saya. Saya tidak sanggup mengelak karena gelap.

Dia mengira jika saya sudah mati. Tidak ada lagi orang yang mengejar. Hingga Tuan Win Feng dan anak buahnya menemukan saya.

Saya tidak mengenal Tuan Win Feng. Tapi, ternyata dia mengenal saya. Saya pikir dia tulus menolong, ternyata memanfaatkan kelemahan saya itu untuk balas dendam kepada Panca.

***

Suasana hening kembali. Suara-suara alam semakin jelas terdengar. Serangga bernyanyi seakan menyambut orang-orang yang baru saja datang.

"Tuan ... Raden Bakti, tahukah kenapa Tubagus melakukan itu?" Tuan Frans menelisik.

"Saya tidak tahu. Kejadian itu begitu cepat. Hanya saja, setelah dipikir-pikir, mungkin dia marah kepada kami karena para jemaah haji sebagian besar adalah orang-orang yang tunduk pada Pemerintah Hindia Belanda." Raden Bakti menoleh kepada Inspektur Pieter.

"Bisa dianggap, dia geram kepada tokoh-tokoh di berbagai daerah yang tidak mau mengikuti ajakannya untuk memberontak," Inspektur Pieter menyimpulkan.

"Jujur saja, saya tidak mengenal Tubagus secara pribadi. Hanya saja, kami ... sering mendapatkan surat ajakan dari orang-orang di pedalaman Banten untuk bergabung. Jelas kami menolaknya." Raden Bakti mengingat sesuatu yang terjadi jauh sebelum Tragedi di Pulau Haji.

Tuan Pieter mengangguk-angguk. Tuan Frans sibuk mencatat apa yang dia dengar.

"Kita harus segera pulang ke Batavia. Saya akan menulis artikel untuk menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Saya khawatir, jika masalah ini berlarut-larut akan terjadi kesalahpahaman."

"Itulah tujuan Tubagus dan kelompoknya, mengadu domba warga dengan cara membunuh tokoh-tokoh panutan mereka." Tuan Pieter membuat perkiraan.

Semuanya setuju dengan usulan Tuan Frans untuk segera pulang ke Batavia. Mereka tidak ingin membuang waktu dengan duduk-duduk saja di sekitar perapian.

Panca dan Tragedi Pulau HajiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang