23

43 9 0
                                    

Pagi menjelang, tapi A Ling masih melihat Panca tidur pulas di atas bangku tepat di dekat meja. Dia tidak tega apabila membangunkan temannya itu. Tetapi, mereka berdua sudah memiliki rencana menemui seseorang.

Sebagaimana biasanya, A Ling membuka pintu rumah makan demi menyambut pelanggan. Karena pintu terbuka, suara riuh rendah kawasan Pecinan ternyata bisa membangunkan Panca. Suara ringkikkan kuda, suara pedagang yang berteriak-teriak hingga suara seorang polisi yang mengatur lalu lintas bercampur menjadi satu. Suara demikian sama dengan satu teriakan keras di daun telinga orang yang sedang tidur.

"Tadinya aku mau membangunkanmu, tapi aku tidak tega."

"Ah, ternyata sudah sepagi ini. Aku belum sholat subuh."

"Nanti, setelah sholat subuh, kita langsung pergi ke rumah Nyonya Win Feng."

"Baiklah."

A Ling menatap ke arah bangunan di seberang jalan. Manusia-manusia dengan pakaian khas serta dari beragam usia sudah keluar rumah. Diantara mereka ada yang sudah mengerjakan banyak hal. Namun, ada juga orang yang hanya sekedar berbincang sambil meminum kopi.

"A Ling, ayo kita pergi," Panca datang dari arah belakang.

"Sudah? Cepat sekali."

Mereka berdua pun berjalan menyusuri trotoar. Seorang anak balita didapati sedang menangis sedangkan ibunya tidak terlihat di dekatnya.

"Ah, ke mana ibunya?"

"Mungkin sedang memasak."

Mata sipit anak itu semakin terlihat sipit ketika menangis. Hanya mengenakan celana pendek tanpa baju, dia sudah merasa kegerahan di pagi yang cerah.

A Ling dan Panca berjalan meninggalkan anak kecil yang sedang menangis. Mereka terus menyusuri trotoar hingga menemukan sebuah rumah berukuran lebih besar dari rumah tetangganya. Rumah itu terletak di blok yang berbeda dengan deretan pertokoan milik orang-orang Cina.

"Rumahnya yang ini, kan?"

"Ya, betul."

"Mungkinkah si pemilik rumah akan menerima kita?"

"Jika aku yang datang, tentu saja akan menerima kehadiranku. Kalau melihatmu, aku tidak tahu."

A Ling mendekat ke pintu gerbang berwarna merah. Ukuran pintu gerbang itu cukup besar dan menghiasi benteng setinggi dua meter. Tidak semua rumah bergaya Cina memiliki benteng dan gerbang. Hanya orang-orang kaya saja yang bergaya demikian.

"Tidak ada orang ...," Panca bergumam demikian karena rumah ini terkesan sepi dibandingkan tetangganya.

"Rumah ini memang selalu terkesan sepi."

A Ling mengangkat tangan dan bermaksud mengetuk pintu. Namun, itu urung dilakukan ketika terdengar seseorang membuka pintu gerbang dari arah berlawanan.

"Bi, sepagi ini hendak berangkat ke mana?" A Ling bertanya sambil tersenyum.

"A Ling. Ah, sepagi ini ...." Seorang wanita paruh baya melirik ke arah Panca. Air mukanya seketika berubah. "Aku hendak membuang sampah."

"Apakah Nyonya Win Feng ada di rumah?"

"Ya, dia sedang memasak di dapur."

"Bisakah saya bertemu?"

"Tentu."

Wanita itu berbalik arah. Sambil mempersilakan A Ling dan Panca masuk. Keduanya melangkah dengan menaiki tiga anak tangga yang menghubungkan trotoar dengan pekarangan rumah. Pekarangan rumah itu cukup luas.

"Tidak ada yang berubah dari tempat ini," Panca berkomentar tentang suasana rumah itu.

A Ling hanya mengangguk. Walaupun itu bukan sebuah tanda persetujuan.

Rumah yang didatangi oleh kedua anak remaja itu berupa bangunan dua lantai. Ornamen khas gaya daratan Cina menjadi ciri utama rumah itu. Di sudut pekarangan, tumbuh subur pohon mangga yang sedang ranum berbuah. Ada gasibu di dekat tembok benteng. Ukurannya kecil saja namun cukup untuk beristirahat bagi pemiliknya.

Pandangan Panca mengarah ke dua sangkar burung perkutut yang tergantung di plafon. Hewan itu masih terkantuk-kantuk. Mereka enggan untuk bernyanyi menyambut tamu yang tak dikenalnya.

"Di kampungmu, pasti banyak burung perkutut yang beterbangan?"

"Tentu saja. Mereka bebas bersarang di pohon tanpa harus terkekang."

Ketika A Ling dan Panca sedang membicarakan seekor burung, ternyata ada orang yang ikut menyahut dari arah dalam rumah.

"Begitu juga suamiku, seharusnya dia hidup bebas ... tanpa dikejar-kejar oleh orang sepertimu, Raden Panca."

"Nyonya, apa kabar?"

"Jelas, kabarku tidak baik-baik saja sejak kau meninggalkannya di pulau itu."

Panca terlihat tidak nyaman dengan cara Nyonya Win Feng berbicara. Wanita Cina itu berdiri di depan tanpa senyuman.

"Nyonya, maaf, jika saya ...."

"Sulit bagiku untuk memaafkanmu. Suamiku hilang dan tidak kembali karena ulahmu."

"Nyonya, benarkah suami anda tidak pernah kembali?"

"Kau tidak mempercayaiku?"

"Bukan begitu ...."

Nyonya Win Feng hampir saja menutup pintu. Wanita berbaju changsan itu kesal dengan dengan sikap Panca. A Ling menyadari itu, makanya dia segera berlari mendekat ke pintu.

"Saya mohon, Nyonya. Ini berkaitan dengan peristiwa di Pulau Haji," A Ling merapatkan telapak tangannya di depan dada.

Nyonya Win Feng menoleh ke arah Panca yang berdiri di pekarangan. Kedua tangan anak itu disilangkan di bawah perut.

"Ayahnya ... hilang di pulau itu."



Panca dan Tragedi Pulau HajiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang