46

36 11 0
                                    

Tuan Frans memperhatikan sesuatu yang jarang dilihatnya. Inspektur Pieter memegang lentera dengan tangan kiri. Sedangkan tangan kanannya digunakan untuk menghalangi cahaya lentera.

"Apa yang anda lakukan?"

"Memberi tahu kapal patroli."

Beberapa detik, cahaya lentera di terhalang oleh tangan. Beberapa detik kemudian, cahaya lentera berpendar menerangi sekitar.

"Kode morse?"

"Ya, Tuan. Anda masih tahu bagaimana cara menggunakannya?"

"Saya terakhir menggunakannya ketika mengikuti kegiatan Kepanduan."

Inspektur Pieter tersenyum. Tubuhnya yang basah masih memperlihatkan sedikit semangat untuk terus mengejar komplotan perompak yang dipimpin Tuan Win Feng. Air menetes dari hidung yang mancung seperti paruh burung.

Suara orang-orang berenang terdengar dari berbagai arah. Ternyata, polisi-polisi itu masih hidup. Meskipun lelah tersirat di wajah mereka.

"Tuan, ternyata anak buah anda masih hidup."

"Hei, jadi kau menyangka jika mereka mati."

"Saya pikir, mereka tercebur karena sudah tidak bernyawa."

"Bagaimana pun, para bedebah itu bisa menguasai keadaan. Kami memilih mundur daripada mati konyol. Selanjutnya, biar saja menjadi urusan Angkatan Laut."

Lentera-lentera diangkat tinggi-tinggi. Tuan Frans belum sepenuhnya mengerti kode apa yang dikirim kepada kapal-kapal yang berada di tengah laut.

Di tengah laut, hanya kegelapan yang tampak. Langit pun hanya menyumbangkan titik bintang yang berserakan. Seperti tidak beraturan. Tuan Frans masih belum mengerti kenapa benda langit itu tampak jika sekedar memamerkan kerlip cahaya seadanya.

Debur ombak mudah saja menggoyahkan sampan yang ditumpangi. Namun, tidak sanggup menggoyahkan tekad laki-laki itu terus menunggu apa yang selanjutnya terjadi. Setelah menyaksikan pertempuran kecil antara pasukan Kepolisian dengan komplotan perompak, mungkin saja akan ada pertempuran yang lebih besar.

"Selanjutnya, apa yang akan kita lakukan Tuan Inspektur?"

"Hanya menunggu, itu tugas kami selanjutnya."

Tuan Frans memperhatikan hutan bakau di belakang mereka. Sekarang sepi, baku tembak yang terjadi hanya sebentar. Suara-suara letupan senapan kini pergi.

"Tuan, lantas bagaimana nasib anak itu?"

"Aku pun memikirkan itu. Namun, apa yang bisa kita lakukan?"

Tuan Frans pun dilanda kecemasan. Dia merasa bersalah ketika harus melibatkan Panca dalam usaha mencari dalang Tragedi di Pulau Haji. Padahal, hanya selangkah lagi untuk menyelesaikan kasus ini tetapi kegagalan kembali terjadi.

"Apakah anda melihat Asih di kapal itu?"

"Siapa dia?"

"Dia ... gadis yang senantiasa menemani Panca."

"Saya tidak melihat siapa pun di sana, Tuan. Kecuali anak itu yang terikat di tiang layar."

"Ayahnya?"

"Begitupula ayahnya, Raden Bakti. Laki-laki tidak kami temukan berada di kapal."

"Dimana mereka?"

"Entahlah, sepertinya Win Feng menyembunyikan laki-laki itu di suatu tempat."

Tuan Frans kembali menoleh ke belakang. Tampak hutan bakau yang lebat dan gelap. Rasanya aku ingin masuk ke dalam hutan ini.

"Bagaimana jika berkeliling ke dalam hutan," Tuan Frans memberi saran.

"Sebuah gagasan yang bagus. Mari kita lakukan itu sebelum kita kembali pulang."

Tuan Frans menoleh kepada anak buahnya. Jumlah mereka masih utuh. Begitupula pendayung perahu yang sedari tadi menunggu di perahunya masing-masing.

"Bagi yang terluka, kalian menunggu di sini. Sembari terus memberikan sinyal kepada Kapal Patroli. Dan yang lainnya, ikut aku untuk menyusuri hutan bakau!"

Ada empat perahu yang berangkat menyusuri hutan bakau. Sisanya, menunggu di tepi laut sembari terus memantau keadaan. Tuan Frans ikut bersama Inspektur Pieter memeriksa setiap sela hutan yang semula menjadi tempat persembunyian komplotan Win Feng. Masih dengan perasaan berdebar-debar, mereka mengamati lekukan-lekukan pohon bakau yang tumbuh besar dengan akar sebagian terendam air.

"Ada mayat, Komandan," seorang anggota pasukan memberikan kabar.

Sesosok tubuh tak bernyawa mengapung diantara dua pohon yang berjejer. Lentera menerangi sekitar, tampak luka menganga di punggung mayat itu. Darahnya masih terus mengalir hingga membuat air di sekitarnya berubah warna.

"Ini, ada satu lagi," anggota pasukan di perahu lain memberi tahu.

Semua mata tertuju pada sosok mayat yang terselip di sela-sela akar. Sepertinya dia sengaja mencari perlindungan ketika nyawa belum meninggalkan tubuhnya.

Tuan Frans tidak sanggup memperhatikan mayat terlalu lama. Dia menoleh ke arah lain.

"Anda tidak memotretnya?"

"Saya tidak yakin akan mendapatkan gambar, cahayanya terlalu kurang."

"Oh, itu bisa diakali. Hei, kumpulkan lentera di sebelah sini!"

Lentera dikumpulkan dekat mayat yang terselip di akar. Ketika dipotret, wajah laki-laki itu terlihat cukup jelas. Begitupula luka yang menganga di dadanya.

"Bagian perutnya harus terlihat," Tuan Inspektur bicara sambil tersenyum.

"Ah, Tuan. Saya tidak sanggup melihatnya terlalu lama."

Usus mayat itu terburai keluar. Air masuk ke dalamnya sehingga membuat rongga perutnya terkesan bersih. Tidak tersisa darah yang menghalangi pandangan.

"Ah, sebaiknya kita segera pergi, Tuan Inspektur."

Anggota polisi yang menyertai wartawan itu tertawa karena merasa lucu dengan sikapnya. Hampir saja dia muntah. Jika saja dia terlalu lama berada di sana.

Sampan pun kembali didayung. Air beriak karena sampan-sampan itu bergerak.

Dalam waktu bersamaan, mereka mencermati keadaan. Lentera mendapati hewan-hewan malam yang berkeliaran. Tidak ada tanda-tanda jika manusia hidup di sana. Lagipula, tidak ada hal yang disa dikerjakan di tempat itu kecuali mencari kepiting bakau yang biasa hidup di sela-sela akar.

"Seharusnya, Raden Bakti ada di sekitar sini."

"Ya, saya juga berpikir begitu. Andaikan perkiraan anda benar, Tuan Frans."

"Mungkinkah dia melarikan diri?"

"Saya juga tidak bisa menebak."

"Mudah-mudahan dia selamat. Dia harapan kita satu-satunya. Saksi Tragedi di Pulau Haji yang bisa menjelaskan apa yang tengah terjadi."

"Ah, kau masih menyebutnya 'tragedi', Tuan?"

"Kau tahu, kami sering meminta perhatian pembaca."

"Sedangkan kami sebaliknya, tidak ingin mengundang perhatian."

Sampan terhenti. Air yang menggenang sudah tidak terlihat lagi. Daratan di depannya kering dan cenderung berlumpur.

"Tuan, di depan daratan. Haruskah kita memeriksanya?"

"Ah, sebaiknya tidak. Hutan ini terlalu luas. Kita harus menggunakan jalur darat yang berliku untuk menyusurinya."

Semuanya mengerti jika medan lebih sulit dibandingkan sebelumnya. Mereka membutuhkan tenaga lebih untuk meneruskan pekerjaan.

"Kita berputar arah," Inspektur Pieter memberi arahan.

"Anda yakin?"

"Tentu saja. Anggaran untuk operasi ini terlalu sedikit."

Tuan Frans tersenyum. Kemudian, dia sumringah. Inspektur Pieter heran dengan sikap orang di depannya.

"Perhatikan, ada sampan teronggok di sana!"


Panca dan Tragedi Pulau HajiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang