Sepatu lars yang digunakan para polisi itu terbenam dalam lumpur. Mereka kesulitan berjalan. Ada usulan untuk membukanya agar pergerakan mereka lebih leluasa. Tetapi, Inspektur Pieter melarang anak buahnya untuk melakukan hal tersebut.
Apalagi Tuan Pieter yang mengenakan sepatu pantofel berbahan kulit lembu, tidak biasa menahan lumpur untuk mengotori kaos kaki. Keinginan untuk membukanya pun begitu kuat. Tetapi, itu pun urung dilakukan karena tanah kering tidak jauh di depan sudah menyambut.
"Ah, tidak kusangka aku akan masuk ke dalam hutan seperti ini."
"Tuan Frans, tidak usah mengeluh. Begitulah resikonya jika anda mengikuti kami datang kemari."
Tuan Frans mengernyitkan dahi. Namun, itu tidak terlihat oleh orang di sekitarnya karena lentera mengarah ke sisi lain.
Setelah menemukan sampan yang tersembunyi di akar, sepasukan polisi dan seorang wartawan itu terpaksa harus masuk ke dalam hutan. Kegelapan menyambut mereka. Tiga lentera yang dibawa belum cukup untuk bisa memastikan apa yang ada di akan mereka hadapi. Seekor harimau bisa saja muncul di hadapan tanpa pemberitahuan.
Sampan yang teronggok itu menjadi pertanda jika ada seseorang atau sekelompok orang yang tinggal di hutan itu. Tentu saja Tuan Frans berharap ada Asih tidak jauh dari tempatnya berdiri. Meskipun lumpur itu sudah ditemuinya, akar-akar yang menonjol ke permukaan tanah cukup membuatnya kelimpungan. Begitu sering kaki laki-laki Eropa itu tersandung dan nyaris terjatuh.
"Tuan Frans, berhati-hatilah. Sebaiknya anda tidak jauh di belakang saya."
"Saya bisa menjaga diri, Tuan."
"Tapi, saya tidak mau menghadap pimpinan Koran Batavia ... dan mengabarkan jika kau telah tiada."
"Ah, anda menakuti saya, Tuan Inspektur."
Tuan Pieter sepertinya serius dengan apa yang dibicarakannya. Air muka laki-laki itu tidak menampakan jika dia sedang bercanda. Tatapannya tajam lurus ke depan. Sedangkan kedua tangannya memegang erat senapan seakan selalu siap untuk digunakan.
Tanpa bicara lagi, mereka terus menyusuri hutan yang lebih lebat. Kemungkinan tempat itu jarang sekali terjamah manusia. Beberapa pohon sudah tua dimana lingkar batangnya sudah begitu besar. Melebihi lingkar tubuh seekor kerbau.
"Hei, kenapa kau terdiam?" Inspektur Pieter heran dengan sikap salah seorang anak buahnya.
Orang yang ditanya malah diam terpaku. Matanya tertuju pada pohon besar di depannya. Kemudian dia mendongak ke atas sambil mengarahkan lentera yang dipegang.
"Tuan, coba dengarkan," Tuan Frans pun ikut terdiam.
Inspektur Pieter terdiam. Semua orang pun ikut terdiam.
"Ada suara orang tertawa."
Diantara mereka saling lirik.
"Itu kuntilanak?"
"Hus, dasar pribumi! Masih percaya takhayul!"
Tuan Frans tersenyum ketika mendengar orang tertawa. Hanya dia yang tersenyum ketika yang lain terlihat tegang.
"Jika bukan kuntilanak, lantas apa?"
Inspektur Pieter termangu.
"Mungkin itu suara Asih?"
"Asih masih remaja, Tuan. Suaranya tidak demikian," Tuan Frans menyangkal jika itu suara Asih yang dikenalnya.
Tidak ingin lama berbincang, mereka mengikuti sumber suara. Awalnya disangka suara kuntilanak, kini mereka berkesimpulan jika apa yang didengar adalah suara seorang manusia. Menyingkirkan perasaan takut, anak buah Inspektur Pieter pun kembali berjalan menyusuri hutan. Mereka terus berharap bisa bertemu dengan orang yang dicari.
Suara tertawa itu pun lenyap. Berganti dengan suara burung hantu yang bersahutan. Satu kali terdengar di sebelah timur. Disusul oleh suara dari arah berlawanan. Mungkin mereka saling memberi peringatan jika ada sekelompok manusia yang mengganggu ketenangan.
Hingga, suatu waktu mereka bisa melihat sesuatu sebagai petunjuk. Semuanya mengarah ke tempat yang sama.
"Saya yakin jika di perapian itu ada Asih."
"Bagaimana kau yakin, Tuan Frans?"
"Naluriku mengatakan begitu."
"Ah, anda bicara selalu dengan naluri. Bergunakah itu?"
"Tentu saja. Seorang wartawan biasa bekerja berdasarkan naluri."
"Tidak terlalu jauh dengan kami, para polisi."
Tidak membutuhkan waktu lama. Sumber cahaya yang dimaksud, akhirnya bisa diketahui. Sebuah perapian yang dikelilingi oleh tiga orang. Satu orang dikenali Tuan Frans, dia Asih. Satu orang lagi tidak dikenalnya, lelaki dengan tubuh penuh luka. Dia terlihat lemah. Dan, seorang wanita dewasa dimana rambutnya acak-acakan.
"Asih, ternyata kau di sini!"
"Tuan Frans, anda mengikuti kami hingga ke tempat terpencil seperti ini?"
"Ya, ya, aku menjemputmu untuk pulang. Walaupun, Panca belum bisa kuajak pulang."
Semua terdiam ketika Tuan Frans mengeluhkan keadaan yang tidak menguntungkan.
Suasana tiba-tiba berubah. Bagi Tuan Frans apa yang dia dapatkan adalah sebuah kegembiraan. Maka dari itu dia tidak ingin tertular oleh suasana sedih orang-orang di sekitarnya. Laki-laki mengalihkan pembicaraan ketika melihat seekor ikan yang masih utuh. Belum dibakar apalagi dimakan.
"Asih, bolehkah aku membakar ikan ini? Sepertinya enak." Tuan Frans menatap Asih.
Laki-laki itu tidak ingin banyak bertanya terlebih dahulu. Memberikan jeda bagi ketiga orang yang ditemuinya agar bisa menyesuaikan diri dengan kedatangan orang-orang yang tidak dikenalnya.
"Tuan-tuan, silakan buka bekal kalian. Kita makan malam di sini." Inspektur Pieter memberikan instruksi.
Anggota pasukan polisi bersender di pohon atau sekedar mencari tanah datar agar bisa merebahkan tubuh. Sedangkan Tuan Frans asyik dengan santapan ikan bakar miliknya. Sambil mencicipi makan malamnya, wartawan itu mulai memberanikan diri untuk bertanya pada Asih.
"Nyonya ini ...?"
"Ini ibu saya, Tuan."
"Dan anda?" Tuan Frans bertanya pada seorang laki-laki dengan tubuh penuh luka.
"Saya Bakti. Ayahnya Panca."
"Sudah saya duga."
Tuan Frans pun menghabiskan makanannya. Dia meminta minum kepada para anggota polisi yang masih asyik dengan makanannya masing-masing.
"Panca berbicara banyak hal tentang anda. Termasuk keberangkatan anda ke Tanah Arab. Namun sayang, peristiwa di pulau itu ...."
"Saya tidak terlibat."
"Win Feng sungguh biadab."
"Bukan pula Win Feng. Bukan laki-laki itu yang membantai para jemaah di Pulau Haji?"
"Lantas, siapa?"
![](https://img.wattpad.com/cover/317878897-288-k942008.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Tragedi Pulau Haji
Misteri / ThrillerSemua mata tertuju pada suasana pulau yang berbeda sebagaimana hari-hari sebelumnya. Tidak ada lagi keramaian. Tidak ada kapal bahkan sebuah sampan pun tidak ada yang bersandar di dermaga. Malam sudah menjelang, tetapi tidak ada satu pun lampu menya...