Sebenarnya dia masih mengantuk, tetapi Tuan Frans harus segera mendiskusikan temuannya dengan direktur Koran Batavia. Ditemani secangkir kopi, laki-laki Eropa itu berusaha memusatkan pikirannya dengan duduk di kursi tepat di belakang meja kerja.
"Frans, seperti yang telah kuucapkan, aku ingin segera mengakhiri ini semua."
"Tuan Direktur, ini masih babak awal. Kita belum sampai pada cerita akhir dari Tragedi di Pulau Haji."
"Ah, kau sudah membuat judul berita ini begitu membangkitkan rasa penasaran pembaca."
"Bukankah ini bagus untuk penjualan."
"Ya, aku paham. Tapi, resikonya ... terlalu tinggi."
"Saya mengerti, Tuan. Maka dari itu, bagaimana kalau kita menulis dari sudut pandang anak itu."
"Panca, anak Raden Bakti?"
"Ya, jadi kita terkesan tidak menyerang Pemerintah."
"Ah, kau menjadikan anak kecil sebagai umpan."
"Tidak, Tuan. Kita menggunakan nama samaran. Aku berharap anak itu akan mendapatkan simpati dari warga."
"Frans, kau jurnalis. Bukan politisi yang ingin meminta dukungan rakyat untuk menyerang Pemerintah."
Tuan Direktur, pria bertubuh gemuk. Wajahnya dihiasi jambang agak keriting serta kumis tak karuan tampak seperti pelaut yang malas merawat diri. Meski begitu, pengalamannya mempengaruhi cara dia berpikir. Orang itu tidak mudah diajak untuk terlalu bersemangat. Dia cenderung berhati-hati dalam bertindak.
Begitupula kali ini, Tuan Direktur tidak bisa menerima begitu saja naskah yang telah diberikan oleh anak buahnya. Naskah itu terkesan memojokkan pihak Pemerintah sebagai pengelola pelaksanaan ibadah haji. Sehingga, dia enggan untuk menurunkan berita sebagaimana yang ditulis oleh Tuan Frans.
"Tuan Direktur, menurutku, Pemerintah tidak akan begitu saja menghalangi kita."
"Gubernur Jenderal telah memperingatkanku untuk segera menghentikan ini. Dia tidak ingin memperpanjang masalah ini."
"Dia ketakutan jika akan mengundang reaksi rakyat."
"Ya, tentu saja. Apalagi alasannya jika bukan itu."
Tuan Frans menatap kopi yang tersaji di cangkir. Tinggal ampasnya.
"Isi lagi kopinya, bila kau merasa kurang."
"Ya, kurasa begitu."
Tuan Frans memanggil bujang seorang pribumi pria paruh baya. Jalannya seperti terseret. Tapi, dia tipe orang yang tidak ingin terlalu banyak tahu masalah yang sedang di dibicarakan di perusahaan surat kabar tersebut.
"Hei, apakah kau mengenal Win Feng?"
"Win Feng?" Bujang itu mengerutkan dahi.
"Ya, dia orang kaya di Pecinan."
"Oh, dahulu ... dia pengusaha pemotongan hewan."
"Nah, kau mengenalnya?"
"Iya, tapi sudah lama perusahaannya tutup. Sekarang, dia menjadi ...."
"Apa? Teruskan."
"Tapi, saya tidak yakin. Ini hanya desas-desus. Dia menjadi perompak."
"Kau tahu rumahnya?"
"Ya. Tidak jauh dari Pecinan."
Si bujang kembali ke dapur. Membuat kopi pesanan majikannya. Sedangkan Tuan Frans masih berbincang dengan Sang Direktur yang terlihat ragu setelah membaca naskah dari Tuan Frans.
"Siapa Win Feng?"
"Dia perompak di Laut Jawa. Besar kemungkinan dia adalah orang yang menculik Raden Bakti."
"Bagaimana bisa?"
"Ada kemungkinan perompak lebih dahulu mengetahui kejadian di Pulau Haji. Dan, Win Feng itulah pemimpin komplotan perompak yang berasal dari Batavia."
Tuan Direktur menghela nafas, "ah, nampaknya kasus ini lebih seru jika dijadikan novel dibandingkan artikel di surat kabar."
"Saya juga berpikir begitu, Tuan."
Tidak membutuhkan waktu lama untuk kembali menikmati kopi di cangkir berikutnya. Si bujang kembali menghampiri meja dengan menyajikan secangkir kopi. Kemudian dia kembali setelah membawa cangkir kosong di meja.
"Frans, jika si Panca itu berusaha mencari ayahnya, kira-kira ke mana dia akan mencari?"
"Dia sudah mengatakan akan mencari Win Feng. Mungkin saja orang itu tidak jauh dari pantai sepanjang Batavia hingga Banten."
"Sulit. Akan membutuhkan waktu lama untuk menemukan orang itu."
"Ya, saya juga berpikir begitu."
"Apakah polisi tahu ini?"
"Anak itu tidak ingin memberitahu polisi. Dia tidak ingin ayahnya di penjara. Kalaupun ditemukan, kemungkinan ayahnya akan diajak pulang."
"Kau sendiri, sudah kembali menemui polisi?"
"Tidak. Sepertinya tidak akan memberitahu polisi. Aku harus bekerja sendiri. Menjaga jarak dengan mereka."
Tuan Direktur menganggukan kepala. Dia mengerti cara berpikir anak buahnya.
Laki-laki itu beranjak dari kursinya. Dia menoleh kepada karyawan-karyawan kantor yang mulai berdatangan. Matanya bersirobok pandang dengan seorang wanita petugas resepsionis.
"Ada apa lagi? Kau tampak ketakutan? Orang-orang itu datang lagi?"
"Tidak, Tuan. Mereka tidak kembali. Hanya saja, saya menemukan ini di atas meja," wanita itu menyerahkan selembar kertas.
"Apa ini?" Tuan Direktur membaca tulisan di sebuah kertas yang sedikit kotor, "ancaman."
Ketika mendengar ada sebuah ancaman, Tuan Frans terdorong rasa ingin tahunya. "Ada ancaman apa?"
Sang Direktur menyerahkan selembar kertas itu ke tangan Tuan Frans sambil memberi komentar, "seperti yang kukatakan, ini berkaitan dengan Tragedi di Pulau Haji."
Tuan Frans tidak berkomentar atas apa yang disampaikan atasannya. Dia malah menatap tajam tulisan di kertas yang sedang dipegangnya.
Hentikan penyelidikan di Pulau Haji jika kalian tidak ingin mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Tragedi Pulau Haji
Mystère / ThrillerSemua mata tertuju pada suasana pulau yang berbeda sebagaimana hari-hari sebelumnya. Tidak ada lagi keramaian. Tidak ada kapal bahkan sebuah sampan pun tidak ada yang bersandar di dermaga. Malam sudah menjelang, tetapi tidak ada satu pun lampu menya...