41

50 13 0
                                        

Mata Panca ditutup. Dia tidak tahu siapa orang yang bicara dengannya. Terlebih, tangan dan kakinya diikat sehingga sulit meraba-raba bagaimana keadaan di sekitarnya.

"Akhirnya, kau datang juga," seorang laki-laki terdengar bicara kepada Panca.

"Hei, siapa kau?" Panca bicara dengan nada tinggi.

"Kau tidak perlu tahu siapa aku?" bau mulut orang itu tercium ketika bicara.

"Asih, Asih, di mana kau? Apakah kau ada di sini?" Panca teringat pada Asih. Gadis itu terakhir kali bersamanya sebelum segerombolan orang tak dikenal menyergap mereka.

Asih tidak langsung menjawab. Tidak terdengar suaranya. Tentu saja Panca semakin panik dan kebingungan. Dia meronta-ronta.

"Tenang, Panca. Aku di sini." Suara Asih terdengar lirih.

Panca bersyukur jika kawannya itu masih bersamanya. Meskipun dia tahu jika keadaan sudah berubah sama sekali. Sekarang dia menjadi tawanan dari seseorang yang belum diketahuinya.

"Panca, kau akan baik-baik saja. Percaya padaku. Ikuti saja keinginan mereka." Itulah kalimat terakhir yang terdengar dari mulut Asih.

Setelahnya, gadis itu tidak terdengar lagi berbicara. Panca pun penasaran kenapa dia tidak lagi bicara.

"Diam! Gadis itu tidak ada di sini!" Orang tadi kembali bicara.

"Ke mana? Ke mana Asih? Kau apakan dia?"

Orang yang ditanya malah tertawa. Tertawa sangat keras. Bahkan dia tertawa terbahak-bahak.

Panca semakin bingung dengan keadaan. Dia pun teringat maksud kedatangannya bersama Asih.

"Kau siapa? Kau yang menculik ayahku? Kau Win Feng?"

Orang itu tidak menjawab. Dia malah membuka tutup mata yang terbuat dari sehelai kain. Dan, Panca pun bisa melihat dengan samar siapa orang di hadapannya.

"Kau, kau Win Feng! Lepaskan aku! Di mana ayahku?"

"Diam!"

Panca dibentak. Tentu saja dia pun sedikit ciut. Anak remaja itu berhenti meronta-ronta.

"Gadis itu bekerja dengan baik. Dia mengantarkanmu ke sini sesuai permintaanku."

Panca heran ketika orang di hadapannya bicara demikian. Matanya menatap tajam ke arah lelaki berambut panjang diuntun itu. Panca bisa mengenali wajahnya. Meskipun banyak yang berubah dari penampilannya dibandingkan dengan terakhir mereka bertemu.

"Win Feng, katakan di mana ayahku? Dan, apa maksudmu jika Asih mengantarkanku?"

Win Feng, orang yang dicari Panca belakangan ini, kini ada di depannya. Wajahnya dihiasi kumis panjang dengan janggut seperti seekor kambing. Sepertinya dia sudah lama tidak mencukur kumis dan janggut. Meskipun begitu, kumis dan janggutnya masih kalah lebat dengan orang-orang yang mengelilingi dirinya.

Orang-orang itulah yang tadi menyergap Panca bersama Asih. Mereka tidak dikenal. Pakaian mereka serba gelap. Entah memang warnanya gelap atau karena penerangan di tempat itu begitu sedikit.

Mata Panca mencari-cari Asih. Gadis itu tidak ada di dekatnya. Tidak terlihat batang hidungnya.

"Ke mana Asih?"

"Sudahlah, jangan kau pikirkan gadis itu."

"Ayahku, di mana ayahku?"

"Dia pun aman. Kau tidak usah mengkhawatirkannya."

Panca merasakan sesuatu yang aneh. Tempatnya disekap bergoyang-goyang. Ini di atas kapal. Panca mendongak ke atas. Samar-samar terlihat tiang layar.

"Kenapa, kau heran?"

Panca menatap tajam Tuan Win Feng. Mereka seperti orang yang sudah lama tidak berjumpa.

"Kau heran jika aku bisa menjadi seperti ini? Waktu itu ... kau berpikir jika aku bakal mati."

"Aku berharap begitu."

Plaak! Ternyata Tuan Win Feng tersinggung dengan perkataan Panca. Telapak tangannya mendarat di pipi anak itu. Tentu saja pipi anak itu terasa sakit. Tangan kasar seorang pelaut sama saja dengan tangan kasar seorang petani. Jika digunakan untuk menampar bisa membuat pipi memar.

"Hei, anak tak tahu diri, sekarang aku membalasmu. Aku akan membuangmu ke tengah lautan. Biar saja hiu yang akan menentukan bagaimana nasibmu selanjutnya. Bagus jika kau masih bisa bertahan hidup."

"Kau tahu, aku bisa bertahan hidup. Hiu pun tidak akan berani melahapku."

"Ah, sombong sekali kau!"

Tuan Win Feng bangkit berdiri. Dia menghela nafas panjang. Menahan amarah yang memuncak. Dia berjalan pelan ke sisi geladak. Tampak rambutnya digoyangkan angin laut.

"Jadi, kau memanfaatkan ayahku untuk membalas dendam?"

Tuan Win Feng tersenyum kecut.

"Karena alasan itu, kau sisakan satu orang ... yakni ayahku ... sedangkan yang lainnya kau bunuh?"

"Tidak, aku tidak membunuh orang-orang di Pulau Haji!"

"Untuk apa? Untuk apa kau membunuh mereka?"

"Sekali lagi, aku tidak membunuh mereka! Mereka sudah tergeletak tak bernyawa ketika aku singgah di pulau itu."

"Bagaimana bisa aku bisa percaya ceritamu?"

Tuan Win Feng berbalik badan. Dia menatap tajam anak remaja yang diikat di tiang layar. Dia kembali mendekat.

"Aku mendapati ayahmu masih bernyawa. Satu-satunya orang yang yang masih bernyawa," suara laki-laki itu pelan. "Seharusnya kau berterima kasih padaku karena telah menyelamatkan ayahmu."

"Kalau kau berniat menyelamatkannya, kenapa kau menyekapnya begitu lama?"

Tuan Win Feng terdiam. Dia terlihat memikirkan sesuatu. Entah gagasan apa yang terlintas di pikirannya. Dia terlihat memberi isyarat kepada anak buahnya untuk melakukan sesuatu. Salah seorang diantara mereka pun mengerti maksud tuannya.

Seorang laki-laki berjanggut tebal masuk ke dalam lambung kapal. Tangannya mengangkat pintu yang sejajar dengan lantai. Tidak lama kemudian dia membawa seseorang yang sama terikat seperti Panca. Belum jelas terlihat bagaimana rupanya. Hingga cahaya lentera menerpa wajahnya.

"Ayah!" Panca berteriak. "Ayah, baik-baik saja?"

Panca dan Tragedi Pulau HajiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang