54

98 19 5
                                        

Tuan Win Feng semakin kebingungan ketika Panca menyatakan bahwa anggota komplotan perompak bisa jadi bagian dari gerakan pemberontakan. Apakah aku tidak mengenal dengan baik anak buahku sendiri?

"Tuan Win Feng, begitulah resikonya jika kau merekrut orang sembarangan. Kau tidak mengenal dengan baik siapa dan darimana asal mereka." Kapten Kapal Patroli memberi pendapat ketika melihat orang di hadapannya kebingungan.

Mata Tuan Win Feng beralih ke seorang lelaki kurus yang tengah berdiri di geladak. Orang yang ditatap terlihat gugup.

"Oh, jadi kau ... bagian dari rencana pemberontakan yang digagas oleh Tubagus. Kau dari Banten?" Sang Kapten menelisik.

Situasi bukan hanya tegang. Tetapi mengundang banyak pertanyaan bagi Tuan Win Feng.

"Jadi, kau adalah bagian dari rencana pembantaian di Pulau Haji?" Tuan Win Feng bertanya pada Si Kurus.

"E e e ... Saya hanya memastikan jika yang terjadi sesuai rencana."

"Rencana siapa? Siapa yang telah memerintahkanmu untuk datang ke pulau itu?"

Si Kurus tidak mau menjawab.

"Pantas saja kau bersemangat untuk memeriksa keadaan di pulau itu ketika pertama kali kita tiba di sana. Ternyata kau merusak wajah Si Tubagus agar tidak bisa dikenali."

Bagi siapa pun yang telah terbongkar rahasianya, maka dia akan merasa malu. Jika itu hal yang memalukan. Tapi, rahasia yang dipegang oleh Si Kurus bisa membahayakan nyawanya.

Mungkin karena alasan itu pula, Si Kurus melakukan hal yang tidak terduga sebelumnya. Dia mulai menyadari jika dirinya dalam keadaan terjepit. Tidak ada lagi tempat untuk berlindung.

"Hei, kau ... sebaiknya menyerah dan bekerjasama dengan kami," Kapten Kapal Patroli memberi tawaran.

"Tidak, aku sudah bersumpah untuk tidak menyerah."

Kini, perhatian tertuju pada laki-laki bertubuh kurus. Tuan Win Feng merasa jika anak buahnya yang satu ini bukan lagi bagian dari komplotan. Dia memiliki misi tersendiri.

Sebenarnya pimpinan komplotan perompak itu merasakan marah yang memuncak. Ingin sekali dirinya menampar wajah Si Kurus karena sudah bertindak di luar perintah. Ditambah, dia sudah menjadi orang yang bermuka dua. Terlihat setia tetapi sebenarnya dia memanfaatkan pemimpinnya untuk menjalan misi pribadi.

Tuan Win Feng menatap Panca yang masih terikat di tiang layar. Panca balik menatap Tuan Win Feng. Dia pun memikirkan sesuatu, apa yang akan dilakukan selanjutnya.

Untuk sesaat, tidak ada yang bicara. Semuanya waspada dan mengira-ngira apa yang akan terjadi selanjutnya.

Sampai, sesuatu yang tak terduga terjadi. Perhatian pun tertuju pada Si Kurus yang berdiri di tepi geladak.

"Hei, apa yang kau lakukan?"

Sebilah pisau yang dipegang oleh laki-laki bertubuh kurus itu melukai pemiliknya. Si Kurus bunuh diri.

Darah memancar dari tenggorokan. Tidak ada yang bisa mencegah. Lantai kapal pun basah bersimbah darah. Tubuh kurus itu menggelepar seperti seekor ikan yang kepanasan di tanah kering.

Kaget, tentu saja. Tidak ada yang menyangka jika Si Kurus akan menghabisi nyawanya sendiri.

Tuan Win Feng tidak bisa mencegah. Apalagi Panca, anak itu lebih memilih untuk memejamkan mata.

Tuan Win Feng lemas. Lututnya seakan sudah tidak sanggup menahan berat tubuhnya. Laki-laki Cina itu memilih bertekuk lutut di hadapan orang-orang yang menyergapnya.

"Tuan Win Feng, ternyata anak buahmu itu memiliki misi rahasia di luar sepengetahuanmu."

Tuan Win Feng tidak menanggapi kesimpulan yang disampaikan oleh Kapten Kapal Patroli. Laki-laki pemimpin komplotan perompak itu tertegun. Dadanya merasa sesak.

"Pertama kali aku mengenalnya sebagai nelayan," Tuan Win Feng bicara tanpa ditanya. "Ketika aku mengajaknya untuk menjadi bagian dari kelompokku, dia terlihat senang. Mungkin itu yang diharapkannya. Berbulan-bulan dia bekerja padaku. Tanpa sehari pun dia luput dari pandanganku. Tak kusangka, dia adalah bagian dari rencana besar orang-orang Banten."

"Kau benar-benar tidak menyadarinya jika orang ini adalah bagian dari pemberontak?"

Tuan Win Feng menggelengkan kepala.

"Mungkin saja mereka merencanakan pembantaian di Pulau Haji sejak jauh-jauh hari. Kami sudah mencium gelagat pemberontakan di Banten sejak lama. Hanya saja, pergerakan mereka agak sulit terbaca. Hingga akhirnya ... Tragedi di Pulau Haji benar-benar terjadi."

Tuan Win Feng kembali menatap Kapten Kapal Patroli.

"Menyerahlah, aku jamin kau akan mendapatkan keringanan hukuman."

"Tidak, aku tidak percaya dengan perkataanmu. Aku lebih baik mati ...."

Tuan Win Feng belum menyelesaikan kalimatnya, Panca sudah menyela, "tapi istrimu menunggu di rumah, Tuan. Sebelum mencarimu, aku berkunjung ke rumahmu. Istrimu menginginkan kau kembali."

"Ah, aku terlanjur menjadi orang terbuang. Buat apa aku pulang."

"Lantas, apa yang akan kau lakukan? Jika kau menyerahkan diri, kau bisa menyaksikan anakmu tumbuh besar."

Perkataan Panca membuat Tuan Win Feng seakan tersambar. Terlintas di pikirannya seorang bayi laki-laki mungil nan lucu yang sudah lama tidak ditemuinya.

Kehidupan keras di lautan yang terpaksa dijalani seakan tanpa tujuan pasti. Akan kemanakah semua ini? Haruskah orang-orang yang mencintaiku menjadi korban dari kecerobohanku sendiri?

Tanpa diundang, butiran air mata membasahi pipi laki-laki Cina itu. Seorang perompak yang paling dicari di Teluk Batavia ternyata bisa menangis tersedu. Dia teringat banyak hal. Keluarga yang ditinggalkan, kehidupan nyaman yang sudah lama sirna serta banyak nyawa yang terpaksa melayang karena ulahnya.

Tuan Win Feng menatap mayat anak buahnya yang terkapar di lantai berbahan kayu. Darah yang semula membasahi kini mulai mengering.

"Kejadian di Pulau Haji telah membuat Batavia memanas. Desas-desus terjadi di sana-sini. Orang-orang saling curiga. Dan, itulah yang diinginkan pemberontak. Membuat pertikaian menjadi meluas. Tatanan lumpuh. Ketika sudah demikian, maka mereka akan melancarkan rencana selanjutnya." Kapten Kapal Patroli memberikan gambaran akibat dari Tragedi di Pulau Haji. "Jika kau menyerahkan diri, setidaknya meredam keadaan agar kerusuhan tidak meluas. Ingat, saudara-saudaramu sesama orang Cina bisa menjadi bulan-bulanan."

"Bukankah itu yang diinginkan Pemerintah Hindia Belanda?"

"Tentu tidak. Buat kami, hidup berdampingan lebih menguntungkan dibandingkan saling menyingkirkan."

"Jika aku tidak menyerahkan diri?"

"Maka, selamanya ... orang pribumi akan menyangka jika yang membunuh tokoh-tokoh panutan mereka adalah ... perompak berdarah Cina. Dan, mereka tidak akan segan untuk mengusir kalian dari tanah leluhurnya."

Tuan Win Feng semakin merasa lemas. Dia teringat kehidupan di Pecinan yang sesak. Satu sama lain terkesan bersaing tetapi saling membantu. Keamanan yang telah lama dinikmati bisa sirna dalam sekejap karena ulah orang-orang yang menginginkan tatanan menjadi goyah.

Tangan laki-laki itu menjadi semakin lemas. Kelewang di tangannya terjatuh begitu saja. Pegangan senjata itu berbenturan dengan lantai hingga memantul beberapa kali.

Dengan sigap, para serdadu yang sedari tadi mengepung Tuan Win Feng kini bisa meringkusnya. Kedua tangan laki-laki itu dipiting seakan mereka khawatir ada perlawanan. Padahal kenyataannya si pimpinan  perompak tidak melawan.

Mungkinkah hari ini akan menjadi akhir dari petualangannya?

- Selesai -

Terima kasih sudah membaca, berkomentar serta membubuhkan tanda bintang.
Sampai jumpa pada #SerialPanca lainnya.
Semoga terhibur.

Panca dan Tragedi Pulau HajiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang