"Asih, bagaimana kau ada di sini?" Tuan Frans bertanya karena heran dengan kehadiran gadis itu yang tiba-tiba.
"Saya mengikuti Panca ... e, Raden Panca," Asih menjawab sekenanya.
Tentu saja Panca tidak percaya dengan jawaban gadis bertubuh mungil itu. Panca pun tidak memberi komentar agar Tuan Frans tidak bingung.
"Jadi, kalian berdua mengikutiku sejak tadi siang?"
"Tidak, Tuan. Saya tidak mengajak
Asih menemani. Tapi ....""Kau memang tidak mengajakku. Aku khawatir akan keselamatanmu." Asih memotong pembicaraan Panca sambil tersenyum.
Sambil berjalan cepat, Tuan Frans memperhatikan kedua remaja yang mengikutinya. Laki-laki itu tidak puas dengan penjelasan Asih. Sehingga, dia ingin meminta kejelasan tentang siapa sebenarnya mereka berdua.
"Tunggu," Tuan Frans berhenti melangkah, "kalian berdua ini ... masih saudara ... atau sepasang kekasih?"
Tentu saja Asih dan Panca tertawa ditanya demikian.
"Lantas, bagaimana kalian bisa saling mengkhawatirkan? Memangnya, kenapa dengan Panca? Adakah yang mengancam anak ini?"
Pertanyaan bertubi-tubi tidak bisa dijawab sekaligus oleh Panca dan Asih. Namun, tentu saja tidak ada waktu untuk menjelaskan kisah tentang bagaimana mereka bisa bertemu.
"Tuan, saya mengerti kenapa Tuan masih sulit mempercayai kami."
"Tentu saja. Bagaimana aku bisa mempercayai orang yang baru aku kenal."
Panca menoleh kepada Asih. Wajahnya terlihat lebih bersinar. Mungkin karena pengaruh cahaya lampu jalan yang berpendar. Tuan Frans tahu arti tatapan demikian.
"Ha, aku tidak mau turut campur urusan pribadi kalian. Aku tahu kalian saling menyukai tapi kalian malu untuk mengungkapkannya."
Perkataan Tuan Frans membuat Panca salah tingkah. Anak remaja itu sulit mengelak pernyataan seorang wartawan yang sering mewawancarai orang.
"Aku pergi, terima kasih karena telah membantuku. Sampai jumpa."
Asih hanya berdiri terpaku. Begitupula Panca. Mereka berdua menjadi kaku. Tidak seperti sebelumnya.
Tuan Frans pun berjalan menyusuri trotoar. Laki-laki itu tidak merasa khawatir jika pengganggu menghampirinya lagi. Jalan yang dilaluinya merupakan jalan dengan patroli ketat. Polisi lebih banyak menjaga kawasan itu karena di sana tempat kantor-kantor dan toko-toko orang Eropa berada.
Panca dan Asih menunggu hingga Tuan Frans masuk ke kantornya. Koran Batavia, tempat dimana dia merasa nyaman untuk bermalam.
"Kau benar-benar mengkhawatirkanku?" tiba-tiba saja Panca bertanya pada orang di sebelahnya.
"Ha ha, kau percaya perkataanku tadi?"
Panca tersipu.
"Hei, Raden Panca. Kau sudah bukan anak kecil lagi. Buat apa aku mengkhawatirkanmu."
"Lalu, bagaimana bisa kau menemukanku?"
"Itu hanya kebetulan."
"Kebetulan?"
Asih ragu untuk menjelaskan alasan sebenarnya kenapa dia ada di Hotel Melati tepat ketika Panca dalam bahaya.
"Atau, kau sedang ... mencari mangsa?"
"Nah, itu kau tahu. Hotel itu dikunjungi para pelaut yang baru saja tiba di Batavia. Dan ...."
"Ya, aku mengerti."
"Hei, seharusnya kau berterima kasih padaku."
"Baru saja Tuan Frans mewakiliku untuk mengucapkan terima kasih."
"Ah, dasar laki-laki! Tidak peka!"
Asih berlalu meninggalkan Panca yang masih berdiri di bawah lampu jalan. Kedua anak remaja itu berpisah di sana. Selanjutnya, mereka berdua berencana menghabiskan malam dengan cara masing-masing.
Ketika Asih tidak tampak lagi dalam pandangan, maka Panca pun berjalan lunglai meninggalkan trotoar deretan toko yang gemerlap dengan cahaya lampu. Di saat anak itu berjalan ke arah berlawanan, sesekali terdengar suara orang-orang yang tertawa keras. Mungkin mereka sedang berpesta, seakan tidak ikut merasakan kesedihan banyak orang.
"Hei, jangan melintasi jalan ini!"
Panca dikagetkan dengan suara seorang laki-laki. Ternyata dia seorang polisi yang berpatroli.
"Saya bukan orang jahat, Tuan."
"Mana bisa kau membuktikan jika kau bukan orang jahat?"
"Saya berjanji tidak akan berbuat onar, Tuan."
"Ah, begini saja. Kau memilih jalan lain. Aku baru percaya jika kau tidak akan berbuat onar."
Panca terpaksa mengalah. Dia mengerti kenapa polisi bersikukuh agar orang pribumi tidak melintas di jalan itu. Tadi siang, baru saja terjadi pengrusakan di kantor Koran Batavia. Polisi pun akan menjadi orang yang dipersalahkan atas kejadian ini karena tidak sanggup menjaga keamanan.
"Baiklah, Tuan. Saya akan mencari jalan lain."
"Bagus jika kau mengerti."
"Saya hanya berharap, Koran Batavia tidak menulis berita yang buruk tentang polisi."
Panca bicara sambil berlalu. Wajah pria berseragam biru terlihat geram sekaligus bingung. Dia merasa tersindir dengan kalimat yang terlontar dari mulut Panca.
Anak remaja itu terpaksa berjalan memutar untuk mencapai tujuan. Dia bermaksud kembali menemui si sapi yang telah ditinggalkannya sejak siang. Rencananya, malam ini dia akan bermalam di atas pedati. Sebagaimana malam-malam sebelumnya, dia memilih tidur di atas jerami bersama tumpukan gerabah. Belum ada uang yang cukup untuk membayar penginapan yang lebih nyaman.
Setelah berjalan beberapa saat, tibalah dia di persimpangan jalan. Tepat di seberang jalan, dua ekor sapi penarik pedati sedang tertidur di bawah pohon angsana.
Siapa itu?
Panca harus berlari untuk mengetahui orang yang baru saja keluar dari pedati. Dari seberang jalan, terlihat seseorang berlari menjauh dari pedati dan dua ekor sapi yang sedang beristirahat.
"Hei, tunggu! Siapa kau?"
Panca berlari kencang bermaksud mengikuti orang yang berani menyatroni pedati miliknya. Dia berlari ke arah semak-semak sekitar kebun pisang tidak jauh dari pemukiman warga.
"Ada apa?" seseorang bertanya ingin tahu.
"Ada maling, Paman. Dia masuk ke pedati saya," Panca menjelaskan.
"Maling?" orang itu memastikan kemudian berteriak, "maling! Maling!"
Suara kentongan terdengar ditalu dari berbagai arah. Tong tong tong!
Panca pun kebingungan. Untungnya petugas ronda membantu mengejar orang yang diduga maling.
"Apa yang hilang, Nak?"
"Saya belum memeriksanya, Paman."
Panca kembali berlari ke arah pedati. Dia menyalakan lentera dengan pemantik kemudian diarahkan ke seluruh bagian pedati.
Tidak ada yang hilang. Lantas, orang itu mencuri apa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Tragedi Pulau Haji
Mystery / ThrillerSemua mata tertuju pada suasana pulau yang berbeda sebagaimana hari-hari sebelumnya. Tidak ada lagi keramaian. Tidak ada kapal bahkan sebuah sampan pun tidak ada yang bersandar di dermaga. Malam sudah menjelang, tetapi tidak ada satu pun lampu menya...