28

38 9 0
                                    

"Siapa dia?" Panca bertanya pada Asih ketika diajak menemui seseorang.

"Dia gelandangan yang sering tidur di gudang tua itu," Asih menjawab sambil berlalu.

"Apakah dia masih waras?"

"Kau bisa menilainya nanti."

Asih berjalan dengan cepat ke arah ujung jalan setapak. Jika diteruskan, maka terus menuju ke hutan bakau di sekitar muara.

"Hei, ke sini!"

Asih memanggil orang itu. Pakaiannya compang-camping dengan rambut ikal tak karuan.

"Hei, jangan pergi!"

Asih berlari mengejar laki-laki yang terlihat sudah lama sekali tidak mandi. Dia berlari sambil tertawa cekikikan. Hampir saja dia masuk ke dalam hutan tetapi malah kembali berputar arah. Dia berlari ke arah turap penyangga bantaran sungai.

"Hei, jangan melompat ke sungai!"

Asih sigap memegang baju orang itu. Dia menoleh pada Asih dan Panca yang membelakanginya.

"Heeehhh."

Gigi orang itu sudah tidak rapi. Alis, kumis dan janggutnya lebat. Banyak sampah dedaunan menempel di rambut. Bahkan rambutnya lebih mirip dengan sarang burung.

"Hei, ini aku. Kau tahu siapa aku kan?"

Tentu saja orang yang ditanya tidak menjawab dengan benar. Ketika ditanya, dia malah tersenyum tanpa makna. Matanya menerawang ke lain tempat.

"Asih," Panca berbisik, "kau yakin menanyai orang tidak waras ini?"

"Lantas, kita mau menanya siapa lagi?"

"Di sini banyak orang ...."

"Hei, semua orang di sini saling menjaga rahasia. Jika kau bertanya macam-macam pada mereka, mereka bungkam. Mending jika kau tidak dilukai."

Panca percaya saja pada omongan temannya, "ya kau paling tahu keadaan wilayah ini."

"Serahkan padaku jika urusan seperti ini."

Asih menghela nafas. Dia mengumpulkan tenaga untuk bisa merayu gelandangan di hadapannya berbicara. Menatap wajahnya, kemudian berusaha memusatkan perhatiannya. Walaupun itu perkara sulit.

Dalam beberapa saat, gelandangan itu hanya meracau. Dia berbicara tanpa bisa dimengerti ke mana arah pembicaraannya. Kadang mengatakan jumlah anak burung. Kemudian bicara tentang ikan yang berenang di sungai.

"Baru kali ini aku harus berbicara pada orang gila," Panca mulai merasa kesal.

"Diam! Kau membuatnya tidak nyaman."

Panca menjauh dari Asih dan orang tidak waras itu. Dia berusaha menenangkan diri dengan menghirup udara di tanggul sungai. Menyaksikan perahu-perahu yang hilir mudik. Ada perahu dengan layar yang masih terkembang. Memanfaatkan angin yang berhembus dari lautan.

Mata anak remaja itu pun kembali menoleh pada Asih dan orang gila yang masih meracau. Bagaimana bisa mengharapkan keterangan dari orang gila? Buang-buang waktu saja.

Kedua orang itu masih belum menemukan topik pembicaraan yang mengarah pada hal yang dimaksud. Hingga Panca terpikir untuk meninggalkan mereka berdua kemudian pergi sendiri mencari ayahnya.

Mata Panca tertuju pada sebuah jembatan. Satu-satunya jembatan di sekitar muara sungai yang menghubungkan dua sisi yang berseberangan.

"Aku pergi saja!" Panca berteriak pada Asih.

Asih tidak menghiraukan Panca. Dia tidak menoleh bahkan tidak melihat temannya itu sudah berjalan hingga ke tengah jembatan.

Panca pun terus berjalan hingga hampir di ujung jembatan. Dia berpapasan dengan seorang nelayan yang baru saja melaut. Dia menggendong sebuah jala di bahu. Dengan caping di kepala, laki-laki itu tersenyum pada Panca. Sebuah senyuman tanda keramahan.

"Paman, bolehkah saya bertanya sesuatu," Panca bertanya sambil berusaha menghentikan langkah laki-laki itu.

"Ya, ada apa?"

"Paman, apakah Paman mengenal Tuan ...."

Panca belum sempat menyelesaikan kalimatnya. Obrolannya terpotong oleh Asih yang berteriak, "Panca! Raden Panca!"

Panca pun menoleh. Terlihat Asih yang berlari ke arah Panca. Gadis itu berlari begitu cepat seakan memburu sesuatu.

"Maaf, Paman. Kami akan meneruskan perjalanan," Asih berusaha menghindari percakapan dengan nelayan di ujung jembatan.

Asih mendorong Panca untuk menjauh. Gadis itu tidak ingin jika Panca menggali keterangan dari orang-orang di sekitar muara sungai. Ketika matahari terus meninggi ternyata semakin banyak orang yang berlalu-lalang di tempat itu.

"Kau aneh, kenapa aku tidak boleh bertanya pada mereka?"

"Aku sudah katakan, jika kau bertanya pada orang-orang di sini tentang Tuan Win Feng, justru mereka akan menyembunyikan kabar tentang itu."

"Lantas?"

"Kita harus mencari tahu dengan diam-diam."

"Bagaimana caranya? Dengan bertanya pada orang gila?"

Asih menggelengkan kepala. Dia kesal karena Panca terkesan tidak memahami maksud gadis itu.

"Panca, kita tidak bisa tahu pasti siapa ... maksudku ... bisa saja diantara mereka ada anak buah Win Feng."

Panca memalingkan wajah, "terserah kau lah."

Asih berusaha untuk menatap langsung Panca. Demi meyakinkan temannya jika cara yang ditempuhnya merupakan cara yang terbaik. Bekerja diam-diam, tanpa membuat kegaduhan.

"Aku yang kehilangan ayah. Kenapa kau merasa paling berhak menentukan bagaimana caranya ...."

"Tapi aku tidak ingin melihatmu mati ...."

"Mati?"

"Aku sudah lama berkeliaran di tempat ini. Aku tahu seluk beluk tempat ini. Aku bisa merasakan siapa yang bermaksud jahat padaku."

"Terserah kau, aku ...."

"Tidak semua nelayan di sini adalah benar-benar seorang nelayan. Kau paham? Bisa saja mereka anggota komplotan perompak."

Panca mengangguk. Wajahnya terlihat lebih tegang dari sebelumnya.

"Tenang, aku sudah bisa menguak keterangan dari gelandangan itu."

"Apa? Adakah petunjuk?"

Asih menganggukkan kepala.

"Bagaimana bisa? Bukankah dia hanya meracau terus dari tadi."

"Ada. Ada petunjuk yang bisa membawa kita ke tempat persembunyian Win Feng."



Panca dan Tragedi Pulau HajiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang