Di geladak, terjadilah sebuah perkelahian. Panca tidak menyangka jika sepagi ini dia akan disuguhi pertunjukan yang membuat pikiran tegang. Tepat di depan matanya, anak remaja itu menyaksikan bagaimana komplotan Win Feng berusaha bertahan dari sergapan para serdadu Armada Laut Hindia Belanda.
"Menyerahlah!" seseorang berteriak dari kapal patroli. Jika dilihat dari pakaiannya, sepertinya dia pemimpin dari para pelaut yang melompat ke kapal layar.
Seruan untuk menyerah tidak serta merta didengar. Para perompak itu masih punya nyali untuk menyerang. Tubuh-tubuh mereka cekatan menerjang serdadu yang memegang senapan. Mereka bergerak seperti monyet liar yang sanggup bergelantungan di tiang layar demi mengecoh arah bidikan. Tentu saja sembari melayangkan sabetan kelewang atau golok yang mereka pegang.
Kapal berbahan kayu itu tidak sanggup menjauh. Padahal para perompak itu sangat menginginkan mereka menjauh dari sergapan. Sebuah kawat seukuran jempol kaki sengaja dikaitkan sehingga kedua kapal menempel satu sama lain. Ada tiga kawat pengait bertali yang dipasang untuk merekatkan kedua kapal itu. Ketika seorang perompak berupaya melepaskan pengait itu, ternyata seorang kelasi menembak orang itu dari jarak dekat.
Dor!
Tentu saja Panca kaget dengan suara tembakan tersebut. Jantungnya merasa seperti mau copot. Apalagi, matanya melihat dengan jelas bagaimana sebuah peluru menembus kepala. Dan, darah muncrat dari batok kepala.
"Hei, menyerahlah!" seorang kelasi menodongkan senapan kepada Tuan Win Feng.
Tentu saja pemimpin komplotan perampok itu tidak berkutik. Ketika melihat seorang anak buahnya terkapar karena ditembak, Tuan Win Feng mulai menimbang-nimbang keadaan. Sepertinya dia akan menyerah.
Tuan Win Feng melihat keempat anak buahnya yang lain, mereka berdiri dengan senjata tajam di tangan. Menunggu aba-aba, menyerang atau menyerah.
Panca memperhatikan gelagat Tuan Win Feng. Anak remaja itu merasa akan terjadi sesuatu kepadanya. Sepertinya aku akan dimanfaatkan.
Tuan Win Feng memegang erat kelewang di tangan. Dia terkepung oleh dua kelasi yang menodongkan senapan. Pakaian khas pelaut mereka begitu kontras dengan pakaian para perompak yang cenderung gelap.
Apa yang dipikirkan oleh Panca, perlahan menjadi kenyataan. Kaki Tuan Win Feng bergerak perlahan, mendekat ke arah Panca yang masih terikat di tiang layar.
"Jangan mendekat, atau kubunuh anak ini!" Tuan Win Feng mencoba mengancam.
"Ah, kau pengecut Tuan Win Feng."
"Diam, Bocah Tengik! Tidak usah banyak bicara."
Sebilah senjata tajam diarahkan kepada Panca. Tentu saja anak remaja itu gemetar. Dia merasa jika ajalnya tidak akan lama lagi. Sebuah keadaan yang tidak diharapkan sebelumnya.
Si kelasi yang menodongkan senjata tidak berani menarik pelatuk. Dia menoleh ke arah geladak kapal patroli. Sebuah isyarat untuk meminta saran dari si komandan. Sang Kapten berdiri tegap. Kumis pirang laki-laki itu semakin jelas terlihat ketika sinar matahari menerpa. Dia menatap anak buahnya, jangan bertindak sebelum diperintahkan.
"Aha, mencoba bernegosiasi dengan kami Tuan Win Feng?"
Tun Win Feng tidak menjawab. Dia menatap tajam orang di seberang.
"Kami tahu, kau yang memulai semua ini. Ternyata, akhirnya harus seperti ini? Tidak sesuai dengan harapanmu."
"Kapten, aku tahu kau sedang menjalankan tugas. Agar tugas anda terasa mudah, maka sebaiknya kau pergi. Dan, biarkan kami pergi!"
"Oh, tentu saja aku tidak akan membiarkanmu pergi. Sudah lama aku menantikan saat-saat seperti ini."
Sang Kapten kapal patroli melompat ke geladak kapal layar para perompak. Sepatu hitam berbahan kulit lembu beradu dengan papan kayu yang menjadi lantai kapal layar. Dia tidak membawa pedang panjang. Mungkin laki-laki itu menganggap pedang panjang tidak lagi berguna bagi seorang kapten kapal bermesin uap. Sebagai gantinya, Sang Kapten membawa senapan laras pendek di tangan. Itu pun sekedar cara untuk berjaga-jaga.
"Tuan Win Feng, kau kami tangkap atas sangkaan membantai orang-orang di Pulau Haji."
"Aku tidak melakukannya!"
"Tetapi, bukti sudah mengarah padamu. Kau tidak bisa mengelak."
"Aku bisa jelaskan ...."
"Kau bisa menjelaskannya di Kantor Polisi. Kami akan mengantarkanmu ke sana."
"Ketika aku datang ke Pulau Haji, mayat-mayat sudah bergelimpangan."
"Lantas, kenapa kau tidak melaporkannya kepada Pemerintah? Jika begitu, tuduhannya berubah karena ... anda menyembunyikan tindakan kejahatan."
"Kalaupun aku melaporkannya kepada Pemerintah, apakah mereka akan percaya?"
"Itu hal lain. Jika anda lakukan itu, setidaknya anda sudah melakukan hal yang benar. Bukannya, malah menutupi kejahatan dengan menyembunyikan identitas pelakunya."
Tuan Win Feng terlihat kebingungan.
"Tuan, kau datang setelah kejadian pembantaian itu, kan?"
Tuan Win Feng menganggukkan kepala.
"Untuk memastikan jika pelakunya, Tubagus tidak bisa dikenali?"
Tuan Win Feng semakin bingung.
"Tubagus, ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa. Dan, wajahnya sudah tidak bisa dikenali karena banyak sekali luka sayatan di wajahnya."
"Aku tidak melakukan itu!"
"Lantas, siapa?"
"Entahlah, mungkin orang lain."
"Kami mendapat kabar, jika ... luka sayatan itu ... terbentuk beberapa jam setelah pembantaian itu terjadi."
Panca pun heran dengan pernyataan Sang Kapten. Baginya, ini adalah temuan terbaru. Selama ini dia menyangka jika wajah Tubagus memang dilukai bersamaan dengan kejadian pembantaian. Tetapi, keterangan dari Kapten Kapal Patroli itu bertolak belakang.
"Tuan Win Feng, apakah kau bekerjasama dengan Tubagus untuk melakukan pembantaian itu?"
"Tidak, aku tidak melakukan itu. Aku justru menyelamatkan salah seorang korban."
"Sekarang, mana dia?"
Tuan Win Feng tidak bisa menjawab.
"Kau tidak bisa menunjukan di mana dia. Berarti dugaan kami benar, kau memberontak Pemerintah Batavia."
"Aku tidak pernah berniat demikian."
"Tetapi, kenyataannya Tubagus adalah pemberontak. Dan, kau membantunya!"
"Tidak, aku tidak membantunya! Aku benar-benar tidak tahu dengan apa yang telah terjadi di sana!"
"Aku tidak bisa percaya begitu saja. Kau tahu, hukuman bagi pemberontak adalah ... dihukum mati di tiang gantungan."
Sebenarnya, Tuan Win Feng merasa terdesak. Dia tidak menyangkal setiap sangkaan yang dilayangkan kepadanya. Mungkin karena alasan itu pula, laki-laki Cina itu memanfaatkan Panca untuk mengulur waktu.
Panca pun tidak berdaya ketika ujung kelewang didekatkan ke lehernya. Namun, dia sulit untuk menahan isi pikirannya agar tidak terlontar dan membuat Tuan Win Feng semakin tersudut. Untungnya, Sang Kapten sepertinya bisa mengendalikan keadaan dan bisa menerka isi pikiran Panca.
"Nak, adakah hal yang kau ketahui?"
Tuan Win Feng tidak suka dengan pertanyaan yang dilontarkan. Dia menginginkan jika tawanannya itu diam saja. Tidak usah bicara.
"Tuan," tapi Panca bicara juga, "mungkin Tuan Win Feng tidak bermaksud membantu pemberontak."
"Kenapa kau membelanya, Nak?"
"Maksud saya, mungkin salah satu anak buah Tuan Win Feng membantu pemberontak tanpa sepengetahuan tuannya ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Tragedi Pulau Haji
Misterio / SuspensoSemua mata tertuju pada suasana pulau yang berbeda sebagaimana hari-hari sebelumnya. Tidak ada lagi keramaian. Tidak ada kapal bahkan sebuah sampan pun tidak ada yang bersandar di dermaga. Malam sudah menjelang, tetapi tidak ada satu pun lampu menya...