Panca tertunduk lesu. Sore itu menjadi sore yang melelahkan baginya. Setelah beberapa jam ditanyai oleh polisi, kini waktunya bagi dia untuk beristirahat.
Berteduh di bawah sebuah pohon yang rindang, tidak jauh dari Kantor Polisi. Kebetulan di sana ada taman yang biasa digunakan warga untuk berteduh. Dilengkapi dengan bangku-bangku berbahan besi dan kayu serta lahan untuk menambatkan kuda.
Ada seekor angsa dan kedua anaknya berenang di kolam. Bukan kolam besar untuk memelihara ikan. Kolam itu sengaja dibuat semata untuk mempercantik taman.
Aku teringat ibu, bagaimana kalau dia tahu peristiwa menyedihkan ini.
Panca hampir kembali menangis. Namun, dia menahan air mata untuk tetap berada di tempatnya.
Koran, koran itu.
Panca beranjak kemudian melangkah ke arah pedati. Di sana, kembali membuka koran yang tadi dibelinya. Kertas koran itu tidak rapi lagi. Beberapa bagian sudah kotor oleh tangan-tangan pedagang yang tidak mencuci tangan.
Kenapa seorang wartawan yang pertama kali mengetahui peristiwa ini?
Panca bergegas, tangannya meraih tali sais. Dia mengajak kedua ekor sapi penarik pedati untuk segera pergi.
Mereka pun meninggalkan taman kota. Berjalan ke arah komplek pertokoan milik orang Eropa. Meskipun si sapi berjalan lambat, itu dimanfaatkan Panca untuk terus mencari seseorang yang mungkin bisa ditanyai. Apakah dia nelayan atau pelaut yang kebetulan melintas dekat dengan Pulau Haji.
"Hei, pelankan laju kudamu!"
Terdengar seseorang berteriak dari arah depan. Pandangan anak remaja itu pun tertuju padanya. Seorang pedagang keliling nampaknya kaget karena pikulannya hampir tertabrak.
Ternyata ada seorang penunggang kuda yang melecut kudanya begitu kencang. Padahal lalu lintas sedang padat sore itu.
"Orang gila!"
Satu lagi, seorang penunggang kuda melecut kudanya dengan kencang. Panca heran dengan kelakuan orang demikian. Dia menggelengkan kepalanya.
"Dasar, mereka mencari celaka."
Ketika anak itu bergumam, dia teringat sesuatu. Bukankah itu orang yang sama. Panca mengingat kejadian ketika dia diajak oleh seorang opsir polisi untuk mengikutinya. Ya, dia orang yang sama!
Karena pikirannya sedang menerawang ke tempat lain, dia tidak menyadari jika si sapi hampir menerabas larangan.
"Hei, hentikan pedatimu! Kau tidak boleh masuk ke sini!" Seorang polisi berteriak kepada Panca.
Panca tersentak kaget.
"Bawa pergi pedatimu!"
"Maaf, Tuan."
Polisi itu melotot. Bola matanya nyaris keluar dari cangkangnya.
"Saya hendak menemui seseorang," Panca menjelaskan.
"Tidak peduli! Pergi!"
"Tuan, hanya sebentar. Perbolehkan saya melewati jalan ini."
"Ah, itu hanya alasanmu saja."
Panca tidak sanggup melawan. Perdebatan diantara mereka pun berakhir. Dua ekor sapi yang menarik pedati pada akhirnya berbelok menyusuri jalan lain.
"Ah, terlalu banyak aturan!"
"Hei, jaga mulutmu, anak muda!"
"Kenapa hidup di kota ini terlalu banyak aturan?"
"Aturan ditegakkan agar warga tertib."
"Ah, bukan untuk ketertiban. Kalian hanya membeda-bedakan orang ...."
Ucapan Panca yang terakhir itu tidak terdengar oleh si polisi yang sedang bertugas. Jarak diantara mereka semakin jauh. Petugas polisi itu pun perhatiannya teralihkan oleh seorang pesepeda yang berjalan melawan arus.
Pedati berjalan terus hingga ujung jalan. Ada persimpangan yang menghubungkan jalan raya dengan sebuah jalan kecil menuju perkampungan warga pribumi. Kedua ekor sapi itu berbelok hingga mereka menemukan sebuah pohon ketapang. Cabangnya menjulur hingga menutupi jalan.
"Ah, kalian tunggu di sini. Aku berikan kalian rumput."
Panca membuka tali kekang sehingga si sapi bisa beristirahat. Mereka diberi minum dengan seember air yang diambil dari selokan. Setumpuk rumput diberikan pada hewan bertanduk itu.
Panca kemudian pergi ke arah komplek pertokoan khusus orang Eropa. Deretan bangunan dua lantai dengan cat putih. Toko-toko cukup terawat. Dihiasi lampu-lampu jalan di trotoar. Ketika malam tiba, petugas akan menyalakan lampu-lampu itu sehingga terlihat seperti gugusan bintang di langit.
Namun, hari masih terang. Panca pun tidak kesulitan melangkahkan kakinya di trotoar. Hanya panas terasa di telapak kaki telanjang anak remaja itu.
Ada apa itu?
Ternyata Panca melihat sesuatu yang tidak biasa di komplek pertokoan itu. Di ujung jalan sebelum persimpangan, tampak sebuah kerumunan. Beberapa orang laki-laki berbaju putih berkumpul di trotoar. Ada dua orang wanita bergaun putih serta bertopi menggunakan payung untuk menghalangi wajahnya dari terpaan sinar matahari.
"Ada apa ini, Tuan?"
Seorang laki-laki menoleh pada Panca ketika anak itu bertanya, "ah, kau tidak perlu tahu."
"Ah, saya kan hanya bertanya."
"Tapi, itu bukan urusanmu."
Panca mengerti kenapa pria itu enggan meladeni percakapan. Penampilan anak remaja itu sebagaimana orang udik yang tidak layak mencampuri urusan kaum elit.
"Koran Batavia, kenapa dengan mereka?" Panca bergumam.
Tampak polisi yang tadi membentak Panca sedang menanyai seorang pegawai. Anak remaja itu mendekati pintu. Dia bisa mendengar percakapan antara pegawai itu dengan si polisi.
"Mereka berdua datang mencari Tuan Frans."
"Untuk apa?"
"Entahlah," jawab si pegawai.
"Kau menjawab pertanyaan mereka?"
"Aku tidak memberitahu mereka. Kedua orang itu marah, mengancam kami. Kemudian merusak ruangan resepsionis."
Seorang wanita terlihat tegang. Dia masih duduk di kursi resepsionis sambil menangis. Di sekelilingnya, ruangan terlihat berantakan. Kertas berserakan di lantai. Foto-foto yang tadinya terpajang di dinding, kini berserakan hingga di depan pintu dan jendela.
"Kau mengenal mereka?"
"Tidak. Mereka datang dengan menunggang kuda. Penampilan mereka sepertinya asing bagi kami."
Si Polisi nampak berpikir. Matanya mengarah pada Panca yang berdiri di ambang pintu. Mata laki-laki itu tertuju pada kaki telanjang Panca yang hampir saja menginjak foto yang tergeletak di ambang pintu. Tangan kanannya memberi isyarat agar tidak menginjak benda di hadapan Panca.
"Hei, kau kusir pedati itu kan? Untuk apa kau di sini?"
"Maaf, Tuan. Saya hanya ingin menanyakan sesuatu ... tentang ... peristiwa di Pulau Haji. Maaf, lain kali saya datang lagi."
Panca bermaksud membalikan badan. Namun, si wanita yang sedang menangis memanggil Panca.
"Hei, tunggu sebentar. Kau ingin menanyakan perihal apa?"
"Perihal peristiwa di Pulau Haji."
"Apa kepentinganmu dengan peristiwa itu?"
"Saya ... anak salah satu korban."
Ketika Panca berbicara demikian, para pegawai yang ada di kantor Koran Batavia bertambah tegang.
"Kenapa, ada apa Tuan, ada apa Nyonya?" Panca terpaksa masuk ke dalam kantor yang berantakan.
"Nak, sebaiknya kau berhati-hati."
Panca heran dengan apa yang diucapkan wanita resepsionis.

KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Tragedi Pulau Haji
Mystery / ThrillerSemua mata tertuju pada suasana pulau yang berbeda sebagaimana hari-hari sebelumnya. Tidak ada lagi keramaian. Tidak ada kapal bahkan sebuah sampan pun tidak ada yang bersandar di dermaga. Malam sudah menjelang, tetapi tidak ada satu pun lampu menya...