"Ah, bajuku mulai kering," Panca meraba pakaiannya.
"Ya, bajuku juga."
"Tuan, untungnya topi anda tidak lepas. Cukup untuk melindungi wajah dari terik matahari." Asih tersenyum sambil mengambil caping yang tergeletak di dasar sampan.
Gadis itu menggelengkan kepala sambil mengacungkan jari telunjuk kepada Panca yang sama-sama hendak mengambil caping.
"Hari mulai terasa panas. Resikonya jika kau hidup di lautan, Raden."
Panca memang terbiasa dengan panas matahari menyengat kota Batavia. Tapi, di sana masih banyak pohon untuk berteduh. Sedangkan di tengah laut, tentu saja tidak ada tempat untuk berteduh.
"Aku ingin cepat sampai di pulau!"
Tuan Frans dan Asih tertawa lepas. Mereka berdua merasa lucu ketika menyaksikan Panca bertingkah seperti anak-anak. Bagaimana tidak, di Desa Pujasari hawa sejuk sering menyelimuti meskipun beranjak siang. Sedangkan di tengah laut Teluk Batavia, hawa panas terus menyengat.
Demi segera sampai, sampan terus didayung hingga terlihat pantai sebuah pulau kecil. Pulau itu tidak terlalu jauh dari pulau utama. Sebuah sampan hanya membutuhkan waktu tidak terlalu lama untuk sampai di pulau kecil tersebut.
"Itu Pulau Haji?" Panca bertanya sambil menunjuk.
"Ya."
Panca memicingkan mata. Dia berusaha melihat keadaan pulau itu walaupun masih jauh dari pandangan. Dia berdiri demi memperjelas pandangan. Belum terlihat bagaimana keadaan sebenarnya. Hanya garis berwarna biru kehijauan. Tanpa hiasan sebuah kapal atau benda apa pun yang menandakan Pulau Haji masih berpenghuni.
"Oh, Tuan. Saya pikir pulau ini tidak ada yang menjaganya," Panca mulai mengeluh.
"Aku sudah menduga jika akan ada kapal patroli." Tuan Frans mengerti apa yang dikeluhkan Panca.
"Bagaimana ini, Tuan? Apakah kita berputar haluan?" Asih menyarankan untuk menjauh.
"Tenang. Jika kita pergi menjauh justru akan menimbulkan kecurigaan."
Kapal patroli yang dimaksud adalah kapal uap berukuran sedang. Lambung kapal berwarna abu. Jika dilihat dari jauh, hampir sama dengan warna air laut yang kebiruan. Hanya asap dari cerobongnya yang menandakan jika benda itu adalah kendaraan laut.
Mereka bertiga seakan tidak menghiraukan kedatangan kapal patroli dari kejauhan. Asih pun masih semangat untuk mendayung. Panca mengikuti apa yang dilakukan temannya. Sedangkan Tuan Frans membaca halaman demi halaman buku catatan di tangannya.
"Tuan, bolehkah saya tahu ...."
"Tentang apa, Raden?"
"Tuan akan menulis apa lagi?"
"Tentang tragedi di Pulau Haji?"
"Ya, tentu saja."
"Aku akan menulis tentang ... banyak hal. Setidaknya kenapa peristiwa itu terjadi."
"Tuan, bukankah ... Pemerintah tidak memperbolehkan?"
"Aku harus mendapatkan data sebanyak mungkin. Bagaimana bentuk tulisannya, aku harus membicarakan dengan pimpinanku."
Panca menganggukkan kepala. Kemudian dia melirik pada Asih.
"Hei, kau mengerti apa yang dibicarakan Tuan Frans?"
"Ah, kau meledekku!"
Panca tertawa lepas.
"Asih, aku menyarankan kau untuk belajar menjadi wartawan," Tuan Frans terdengar serius.
"Apa?"
"Hei aku tidak sedang bercanda. Bukankah kau punya kakak ipar seorang wartawan?"
Asih menoleh pada laki-laki Eropa yang ada di belakangnya. Gadis itu terkesan kaget ketika Tuan Frans mengetahui jika Asih memiliki saudara seorang wartawan.
"Kami saling mengenal. Kakak iparmu seorang wartawan yang gigih. Dia memiliki pemikiran luar biasa. Terutama, tentang masalah bangsanya."
"Tuan, saya tidak suka membaca koran. Bagaimana bisa menjadi seorang wartawan?"
"Asih, pekerjaan kita memiliki kesamaan. Kita berdua sama-sama suka penasaran dengan kehidupan pribadi orang lain."
"Saya tidak seperti itu, Tuan."
"Benarkah? Jika kau tidak tertarik urusan orang lain ... bagaimana kau bisa mendapatkan hartanya?"
Asih terdiam. Gadis itu merasa terpojok.
Panca tertawa lepas. Lagi.
Untuk waktu yang tidak lama, kapal patroli milik Angkatan Laut itu pun mendekat. Gelombang yang diakibatkan kendaraan tersebut mampu menggoyahkan sampan. Bukan hanya gelombangnya saja yang mampu membuat nyali orang menjadi ciut. Suara klakson kapal itu ternyata sanggup membuat nelayan takut melaut.
Tooooottt!
Seorang kelasi memberikan penanda untuk segera menjauh. Namun, Tuan Frans memilih untuk melambaikan tangan. Hai, sepertinya kita harus bicara.
Kapal patroli itu melambat.
Si kapten kapal memberi peringatan melalui pengeras suara. Tentu saja, itu tidak dihiraukan.
"Segera menjauh dari pulau!"
Namun, Tuan Frans, Panca dan Asih mengangkat tangan.
"Kami tidak segan untuk memberikan tindakan!"
Tuan Frans malah memberi tanda untuk bisa bicara.
"Tuan, ada kepentingan apa kalian ke Pulau Haji?"
"Kapten, saya ... Frans. Wartawan dari Koran Batavia." Laki-laki Eropa itu menunjukan tanda pengenal.
"Tuan, sebaiknya kau pergi. Pulau Haji ditutup untuk sementara."
"Kami hendak meliput keadaan pulau setelah peristiwa pembantaian itu. Tolong beri kami izin."
"Tidak, Tuan."
"Begini, Kapten. Saya berjanji tidak bertindak hal di luar kewajaran ...."
"Tuan, gara-gara Koran Batavia ... pulau ini menjadi ...."
"Ya, saya mengerti. Untuk itu, berilah kami izin untuk memulihkan citra pulau ini ... kembali menjadi ... tempat yang aman."
Si Kapten Kapal berpikir sejenak. Dari atas geladak, dia memperhatikan Panca dan Asih yang terdiam.
"Mereka siapa?"
"Oh, mereka hanya pendayung. Anda tahu kan, mendayung ke pulau membutuhkan banyak tenaga."
Setelah mempertimbangkan banyak hal. Kapten Kapal mengijinkan sampan untuk berlabuh di dermaga.
"Ingat, hanya satu jam. Jika lebih dari itu, kami akan bertindak tegas. Dan, kami akan pegang janjimu untuk memberitakan hal baik."
Tuan Frans hanya tersenyum.
Kapal patroli kembali menjauh. Mereka bertiga merasa lega. Tanpa bermaksud membuang waktu, sampan didayung hingga mendekat ke dermaga.
"Ah, kita sampai di sini, apa yang akan kita lakukan?"
"Raden, di sini, aku ingin menunjukan banyak hal."
Asih begitu penasaran, "apa saja itu, Tuan?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Tragedi Pulau Haji
Misteri / ThrillerSemua mata tertuju pada suasana pulau yang berbeda sebagaimana hari-hari sebelumnya. Tidak ada lagi keramaian. Tidak ada kapal bahkan sebuah sampan pun tidak ada yang bersandar di dermaga. Malam sudah menjelang, tetapi tidak ada satu pun lampu menya...