"Saya selalu penasaran, kenapa peristiwa di Pulau Haji terjadi?"
"Aku juga memiliki rasa penasaran yang sama, Frans. Tapi, berhentilah mengikuti rasa penasaran itu."
"Sulit, Tuan. Dengan adanya ancaman itu, malah menguatkan prasangka jika Tragedi Pulau Haji bukan kejadian yang tiba-tiba."
"Maksudmu, ini direncanakan? Untuk apa?"
"Kemungkinan pertama, ini adalah peristiwa pemberontakan dari orang-orang Banten."
"Ya, masuk akal."
"Kemungkinan kedua, ini cara Pemerintah untuk menyingkirkan orang-orang yang dicurigai sebagai penghalang."
"Ya, bisa saja seperti itu."
Tuan Direktur dan Tuan Frans saling tatap. Sebatang sigaret menghiasi wajah mereka yang terkesan sangat serius.
"Kemungkinan lainnya," Tuan Frans menambahkan.
"Adakah?"
"Ini ulah lawan politik Gubernur Jenderal. Ada orang yang ingin mengadu domba antara Pemerintah dan rakyat."
"Untuk itu, kau jangan menjadi pihak yang terkesan memanaskan suasana."
"O, ya. Aku mengerti kegundahanmu, Tuan."
"Bagus jika bisa mengerti arah pikiranku."
Tuan Frans menghisap asap dari sigaret kemudian dihembuskan ke udara. Pikirannya menerawang ke masa depan.
"Koran Batavia bisa dijadikan senjata untuk menghasut massa."
"Aku tidak ingin itu terjadi, Frans."
Tuan Frans mengerti maksud Sang Direktur. Laki-laki itu harus mempertimbangkan banyak hal ketika bertindak. Sebagai seorang kuli tinta, dia tidak bisa gegabah menulis sebuah berita. Ancaman yang dia peroleh sejak malam kemarin, menjadi pertanda nyata jika resiko pekerjaannya sangat berat. Nyawa pun bisa menjadi taruhannya.
Suasana kantor perlahan lebih ramai. Karyawan yang mulai bekerja pagi itu mengubah kantor yang tadinya hening menjadi riuh rendah oleh suara orang berbincang. Bahkan terdengar Sang Direktur yang tertawa ketika mendekati seorang pegawai wanita yang baru saja bertunangan. Pria bertubuh gemuk itu tidak ingin suasana hati bawahannya yang sedang berbunga-bunga menjadi muram. Tidak terdengar topik obrolan tentang surat kaleng yang berisi ancaman dimana baru saja diterima oleh resepsionis.
"Hei, selamat ya atas pertunanganmu," Tuan Frans menghampiri koleganya yang duduk sambil mengetik.
"Oh, Tuan Frans. Terima kasih."
"Kabarnya, tunanganmu seorang perwira Angkatan Laut. Benarkah?"
"Ya, begitulah, Tuan."
"Kau yakin mau menikah dengan laki-laki yang jarang pulang?"
"Ah, Tuan. Anda jangan mencoba menggoyahkan keyakinan saya."
"Aku tidak bermaksud begitu."
"Mungkin, saya harus banyak belajar dari istri Tuan."
"Ha, kau sudah pintar menyindirku ya. Baiklah, mulai malam nanti aku tidak akan menginap di kantor lagi."
"Benarkah?" Wanita muda itu tersenyum pada Tuan Frans.
"Tapi, menginap di ... hotel."
Wanita dengan rambut bergelombang itu tertawa lepas. Giginya yang putih terlihat rapi. Andaikan tangan kirinya tidak menutup mulut, mungkin rongga mulutnya pun akan tampak.
"Hei, calon suamimu itu ... dia bertugas di mana?"
"Di Batavia, Tuan. Makanya saya yakin dia akan sering pulang ke rumah. Dekat ...."
"Sssttt, kau tidak usah membahas itu lagi. Aku serius, tepatnya di mana?"
"Di kapal patroli, Tuan."
"Tuan Frans tertegun. Kau bisa mengatur waktuku untuk bertemu dengannya?"
"Entahlah, dia sibuk akhir-akhir ini. Waktu kerjanya bertambah setelah peristiwa di Pulau Haji."
Tuan Frans menatap wanita muda di hadapannya. Orang yang ditatap merasa heran dengan sikap Tuan Frans.
"Apakah dia pernah membicarakan sesuatu tentang peristiwa di sana?"
Wanita berambut pirang bergelombang itu menengadah. Dia memandang langit-langit bercat putih. Menerawang ke masa dimana dia sedang berkencan dengan kekasihnya.
"Tidak pernah, hanya perihal perintah untuk tidak mendekati pulau itu."
"Oh, hanya itu."
Tuan Frans mengangguk.
"Jika Tuan menginginkan, saya bisa menggali kabar dari dia."
"Terimakasih atas tawarannya, tapi tidak usah kau lakukan. Ini terlalu berbahaya."
Tuan Frans meninggalkan wanita yang sedang menghadap sebuah mesin tik. Dengan pakaian lusuh, pria itu sepertinya tidak bisa berangkat ke mana-mana lagi. Atasannya menyuruh dia pulang dan berganti pakaian. Walaupun sebetulnya dia merasa berat melakukan hal demikian.
Laki-laki itu berjalan perlahan. Setelah kembali dari kamar mandi, dia kembali ke ruangan kerja. Hanya ditinggalkan tiga puluh menit, suasana kantor semakin ramai. Semua orang yang terdaftar sebagai pegawai di kantor itu sepertinya berkumpul di satu ruangan. Terasa begitu sempit.
"Tuan, saya ingat sesuatu," wanita si juru ketik memanggil Tuan Frans.
"Perihal apa, Nona?"
Wanita itu memandang ke sekitar seperti sedang mencari sesuatu. Dia beranjak dari kursi kemudian berjalan ke arah Tuan Frans yang berdiri di bawah tangga.
"Perihal tunangan saya, dia pernah melihat sesuatu."
"Di pulau Haji?"
"Ya, saya ingat ... dia pernah mengatakan jika malam itu ... melihat sesuatu di dekat pulau itu."
Tuan Frans memasang wajah terheran-heran. Ada hal yang dipikirkan di luar topik pembicaraan dengan si wanita juru ketik.
"Malam itu, tunangan saya sedang berpatroli. Dia senang ketika berpatroli malam. Bisa melihat lampu kerlap-kerlip nan indah di pantai."
"Malam itu, ada lampu di Pulau Haji?"
"Tidak ada, hanya setitik cahaya."
"Dia tidak memeriksa?"
"Tidak. Mungkin karena terlampau jauh, kapal patroli enggan mendekat ke Pulau Haji. Dia berpikir, jika lampu padam di pulau itu."
Setitik cahaya itu kemungkinan perapian yang dibuat oleh para perompak.
"Tidak lama kemudian, kapal patroli melihat kapal menjauh dari pulau itu. Meskipun samar karena malam cukup pekat."
"Ke arah mana kapal itu berlayar?"
"Timur."

KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Tragedi Pulau Haji
Mistério / SuspenseSemua mata tertuju pada suasana pulau yang berbeda sebagaimana hari-hari sebelumnya. Tidak ada lagi keramaian. Tidak ada kapal bahkan sebuah sampan pun tidak ada yang bersandar di dermaga. Malam sudah menjelang, tetapi tidak ada satu pun lampu menya...