"Bagaimana ini bisa terjadi?"
"Ini masih dalam penyelidikan. Kau bersabarlah dahulu," seorang opsir polisi mencoba menenangkan Panca.
"Bagaimana bisa saya bersabar, Tuan. Ayah saya dalam rombongan itu. Dan, sekarang belum diketahui bagaimana nasibnya?"
"Hei anak muda, aku tahu bagaimana perasaanmu. Tapi, kau juga harus menghargai kerja polisi. Kau pikir kami diam saja?" Si Opsir meras kesal dengan sikap Panca yang merengek.
"Kejadiannya sudah berlalu beberapa hari. Tapi, koran baru menyampaikannya hari ini? Bagaimana bisa? Bagaimana bisa polisi tidak mengetahuinya lebih awal?"
"Pulau itu jauh dari jangkauan! Kau pikir tugas polisi hanya mengawasi tempat itu?"
Panca tertunduk lesu. Dia hanya duduk bersimpuh di lantai. Tanpa ada orang yang mempersilakannya untuk duduk di kursi. Anak itu sudah terlanjur diterpa kesedihan.
"Hei, kau belum menyebutkan siapa nama ayahmu?"
"Bakti."
Si Opsir polisi berjalan ke arah meja yang berisi banyak berkas. Kertas berwarna putih kusam menumpuk seperti lapisan roti dengan ukuran sebesar nampan. Dia mengecek sesuatu.
"Hei, tidak ada nama itu di daftar korban."
"Benarkah?"
"Ya, kau kira aku bohong. Kami memotret semua orang yang akan berangkat ke sana. Dan, orang bernama Bakti ... tidak kami temukan."
"Jasadnya?"
"Tidak ada."
Panca bersender di dinding. Air matanya tidak berhenti mengalir.
"Kau ... Panca, kan?"
"Iya, Tuan. Bagaimana Tuan mengenal saya?"
"Semua polisi di Batavia mengenalmu. Aku tidak tahu jika ayahmu juga berangkat ke Arab. Aku pikir, Bakti itu bukan nama ayahmu."
Air mata menghalangi pandangan Panca. Dinding Kantor Polisi yang kusam semakin terlihat buram tatkala sorot mata anak remaja itu semakin menerawang.
"Hei, berhentilah menangis. Kau harus yakin jika ayahmu baik-baik saja."
Si Opsir Polisi merunduk dengan maksud agar Panca bisa menguatkan hatinya. Namun, anak remaja itu tidak menghiraukan perkataan petugas keamanan itu. Dia malah beranjak kemudian pergi.
"Hei, kau mau ke mana?"
Panca tidak menjawab. Dia berjalan cepat ke arah pintu. Sampai-sampai dia sulit mengendalikan emosinya. Tubuhnya bertabrakan dengan seorang pemabuk yang baru saja diseret oleh dua orang polisi lain. Sepertinya dia mabuk berat dan membuat keonaran sehingga terpaksa dibawa ke tempat itu untuk diamankan.
"Tunggu sebentar, kau jangan pergi dahulu!"
Panca berlari ke arah pedati kemudian melompat hingga duduk di atas bangku. Kedua ekor sapi yang sedari bosan menanti, kini harus berjalan bahkan mungkin berlari untuk segera sampai di tujuan. Namun, seekor sapi tetaplah seekor sapi. Mereka tidak bisa menjadi kuda yang sanggup berlari kencang.
Berlari meninggalkan Kantor Polisi yang pengap oleh sekumpulan penjahat ibu kota. Entah kenapa, ketika musim kemarau tiba seperti saat itu kejahatan di ibu kota meningkat. Apakah karena orang leluasa untuk menjarah karena tidak terkendala cuaca. Atau, di luar Batavia banyak orang yang kelaparan hingga mereka ramai-ramai datang ke kota besar. Berniat jahat sebelum mereka tiba di benteng kota.
"Hei, Panca! Raden Panca! Tunggu sebentar!"
Panca mendengar samar-samar orang yang memanggilnya. Anak remaja itu menoleh ke belakang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Tragedi Pulau Haji
Mistero / ThrillerSemua mata tertuju pada suasana pulau yang berbeda sebagaimana hari-hari sebelumnya. Tidak ada lagi keramaian. Tidak ada kapal bahkan sebuah sampan pun tidak ada yang bersandar di dermaga. Malam sudah menjelang, tetapi tidak ada satu pun lampu menya...