Kaki-kaki telanjang Panca dan Asih berlari begitu cepat. Mereka berlari menghindari para penjahat sekaligus menghindari seekor badak yang mengamuk.
Mereka berdua berlari tanpa tujuan yang jelas. Hal terpenting bagi keduanya adalah terbebas dari bahaya. Dalam pikiran mereka, berlari tanpa tujuan lebih penting dibandingkan memikirkan tujuan akhir dari pelarian.
"Berhenti dahulu, aku lelah," Panca mulai mengeluh.
"Kau ini laki-laki, tetapi ...."
"Laki-laki atau perempuan, jika berlari ya pasti merasa lelah!" Panca meninggikan nada suaranya.
"Kau tidak memperhatikanku?" Asih menatap Panca dengan sedikit menyombongkan diri, "aku perempuan masih sanggup ...."
"Karena kau terbiasa melakukan itu!"
Asih terdiam. Gadis itu memalingkan wajah.
"Bagimu, hutan menjadi tempat bermain ... sedangkan aku ... merambah hutan lebat seperti ini jarang aku jalani."
"Kau anak manja."
"Terserah apa katamu. Aku hanya tidak ingin terus berlari. Lagipula, kita tidak dikejar oleh siapa pun ... atau apa pun."
Asih pun menuruti keinginan sahabatnya. Lagipula, badak itu tidak lagi mengejar. Keduanya tidak mendengar suara mencurigakan seperti daun bergesekan atau hentakan kaki binatang liar. Begitupula, komplotan yang bermaksud menyergap mereka. Desah suaranya tidak terdengar apalagi bau badannya tidak lagi tercium. Sementara waktu, kedua remaja itu bisa merasa aman.
"Kita di mana?" Panca bicara sambil terengah.
"Tentu saja masih di hutan, kau pikir kita sedang dimana?"
"Maksudku, kita berada di hutan sebelah mana. Apakah kita masih dekat dengan Batavia?" Tubuh Panca berputar demi mengamati keadaan.
"Kemungkinan kita semakin menjauh dari Batavia."
"Bagaimana bisa kau yakin?"
"Entahlah, tapi ... aku merasa ... hutan di sini semakin lebat. Lagipula, seekor badak merasa terganggu dengan kehadiran kita. Berarti, hutan ini jarang terjamah manusia."
"Ah, itu karena si badak sedang birahi."
"Hahaha, mungkin juga begitu. Atau, si badak yakin jika diantara kita ada orang yang pernah memburunya."
"Balas dendam pada komplotan itu."
Panca dan Asih bicara sambil mengamati keadaan sekitarnya. Masih khawatir jika orang-orang yang tadi mengejar mereka akan datang dan menangkap. Karena alasan demikian maka mereka pun terus berjalan diantara pepohonan yang besar. Beberapa pohon bahkan memiliki akar nafas yang panjang menjuntai. Saking panjangnya, tangan Asih bisa dengan mudah meraih.
"Kalau malam, di sini pasti gelap sekali."
"Tentu saja. Di sini tidak ada lampu penerangan." Asih bukan bermaksud menjelaskan tetapi meledek Panca karena berpikir aneh.
"Maksudku, pohon-pohon besar ini membuat gelap sekitarnya."
Asih hanya mengangkat alis seraya membentuk bibir yang melengkung ke bawah. "Kau hanya pintar mendebat."
Panca mencabut golok dari sarungnya. Perkakas itu digunakan untuk memotong daun-daun dan ranting yang menghalangi jalannya. Dia enggan banyak bicara dengan gadis sebaya Asih. Bagi Panca, bicara seorang gadis sepertinya hanya membuat kuping terasa lelah.
Namun, Asih pun masih ingin banyak bicara. "Hei, hentikan berbuat demikian!"
"Kenapa?"
"Kau membuat jejak. Itu memudahkan orang-orang tadi menemukan kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Tragedi Pulau Haji
Misteri / ThrillerSemua mata tertuju pada suasana pulau yang berbeda sebagaimana hari-hari sebelumnya. Tidak ada lagi keramaian. Tidak ada kapal bahkan sebuah sampan pun tidak ada yang bersandar di dermaga. Malam sudah menjelang, tetapi tidak ada satu pun lampu menya...