14

57 12 0
                                        

"Ke mana anak itu?" Tuan Frans bertanya pada seorang lelaki.

"Katanya, dia mau pergi ke Pelabuhan."

"Ke Pelabuhan, sendiri?"

"Iya, sebelum menitipkan sapi dan pedati pada saya ... dia berjalan sendirian."

Tuan Frans berpikir sejenak. Kemudian matanya menelisik ke sekeliling. Berharap tidak ada orang yang memperhatikan.

"Tadi, Raden Panca berangkat setelah subuh. Mungkin sekarang sudah sampai di Pelabuhan."

"Ya, kukira begitu."

Tak lama kemudian, Tuan Frans pergi meninggalkan lelaki yang sedang memberi makan dua ekor sapi di bawah pohon angsana. Sekeranjang rumput disediakan olehnya tepat di depan si sapi yang ditambatkan dengan seutas tali.

Dengan sepeda, Tuan Frans menyusuri jalanan. Dia melanjutkan perjalanan yang menghubungkan jalan utama dengan jalan diantara pemukiman warga.

Jalan kecil itu dipenuhi oleh deretan sapi dan pedati. Cukup menyulitkan bagi kendaraan lain untuk melaluinya. Sepagi itu, bau tidak sedap sudah tercium. Bau kotoran sapi dan kuda masuk ke dalam lubang hidung. Dan, orang-orang di sana sudah terbiasa dengan keadaan demikian.

"Hei, kau mau ke mana?" Tuan Frans bertanya pada seorang penarik delman.

"Saya, bermaksud ke pasar."

"Jangan berangkat dahulu."

"Ada apa, Tuan?"

"Bisakah kau menyediakan kuda untukku."

Orang itu berpikir sejenak, "bisa."

"Ini, aku membayar di muka." Tuan Frans menyerahkan beberapa keping uang.

Tuan Frans menunggu tepat di bawah pohon kelapa yang tumbuh tidak jauh dari kali. Tampak tiga perempuan sedang mencuci pakaian ditemani seorang balita yang telanjang. Anak kecil itu sangat menikmati air sedikit keruh yang mengalir di sana.

Kemudian, mata laki-laki itu tertuju ke arah berlawanan. Dia melihat sesuatu yang tidak biasa.

"Tuan, kudanya sudah siap," si pemilik kuda menyerahkan seutas tali kekang pada Tuan Frans.

"O, aku akan mengembalikan kuda ini nanti sore."

Mata Tuan Frans tidak tertuju pada wajah si pemilik kuda. Dia memicingkan mata ke arah pohon di pinggir kali tepat di depan warung yang dipenuhi pengunjung.

"Ada apa, Tuan?"

"Hei, bisa katakan padaku ... apakah kau mengenal semua orang yang ada di warung itu?"

Si pemilik kuda memandang kerumunan warga yang tertawa terbahak-bahak. Mungkin begitulah suasana setiap pagi di warung kopi.

"Ada dua orang yang tidak saya kenal."

"Orang yang tidak ikut tertawa?"

"Ya, bagaimana Tuan tahu?"

"Mereka nampak tidak akrab dengan pria lainnya."

Si pemilik kuda menatap Tuan Frans. Sepertinya dia mengerti ke mana arah pembicaraan orang yang menyewa kudanya.

"Jika mereka bertanya sesuatu, katakan saja apa adanya," Tuan Frans bicara sambil menaiki sadel.

"Tenang, Tuan. Saya bisa menjaga diri."

"Aku percaya padamu."

Tuan Frans melecut kuda ke arah berlawanan dengan warung kopi. Si pemilik kuda menatap tajam ke arah warung itu sembari menuntun sepeda yang ditinggalkan.

Panca dan Tragedi Pulau HajiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang