52

41 12 0
                                    

Panca membuka mata. Silau cahaya masuk ke pelupuk mata ketika mendapati langit sedikit terang. Ah, sudah pagi.

Ketika hendak bergerak, dia tidak bisa melakukannya dengan bebas. Tubuh kecilnya masih diikat oleh seutas tali ke tiang layar. Dia hanya bisa merasakan betapa tangannya sakit akibat tekanan dari ikatan yang kuat. Sembari merasakan kapal yang bergoyang mengikuti alunan gelombang di Laut Jawa.

"Bangun, bangun!"

Panca tidak bisa menemukan siapa yang berteriak-teriak sepagi ini. Dia tidak mengenal suara anak buah kapal satu per satu.

"Bangun, bangun, Pemalas!"

Suara itu kembali terdengar. Dia memarahi orang-orang yang sedang tertidur di dalam lambung. Ah, ternyata dia yang marah-marah sepagi ini.

Tubuhnya sedang saja, tidak terlalu tinggi atau pendek. Hanya saja dia terlihat lebih kurus dibandingkan saat pertama kali Panca bertemu dengannya. Seorang laki-laki keturunan Cina dengan pakaiannya yang khas.

"Hei, baguslah jika kau sudah bangun.  Aku tidak perlu menghabiskan tenaga untuk menyeretmu."

"Apa maksudmu, Tuan Win Feng? Sepagi ini kau sudah mengigau." Panca sengaja bicara dengan nada ketus.

"Ah, diam kau! Kau hanya membuatku kesal!"

Tuan Win Feng mendapati hanya lima orang anak buah kapal yang tersisa. Mereka berkumpul di geladak. Tentu saja masih menahan rasa kantuk yang berat. Panca tidak bergairah mendengar ocehan si kapten kapal dengan logatnya yang masih sulit menyesuaikan diri dengan orang-orang di sekitarnya. Dia masih terdengar seperti orang Cina yang baru menginjakan kaki di Tanah Jawa.

Lautan yang berwarna kuning keemasan lebih menarik bagi seorang anak remaja seperti Panca. Oh, indah sekali. Sebuah pemandangan yang jarang diperoleh warga pegunungan seperti Panca. Jika di Desa Pujasari anak remaja itu lebih sering melihat pancaran sinar matahari menyembul dari punggung gunung. Maka kala itu, Panca bisa menikmati keindahan semburat cahaya matahari menyembul dari balik cakrawala.

"Tuan, perhatikan di sana!"

Ketika Tuan Win Feng sedang memberikan pengarahan di pagi hari, ternyata seorang anak buahnya menyela. Tentu saja pimpinan kapal layar itu marah. Dia menampar anak buahnya yang menyela pembicaraan.

"Kau tahu? Aku sedang bicara, aku tidak suka disela!"

"Maaf, Tuan. Tapi, ini sangat penting."

"Lebih penting mana dari pembicaraanku, Kampret!"

Tuan Win Feng menatap orang yang baru saja di tamparnya. Kemudian, dia juga heran ketika melihat anak buahnya yang lain memasang wajah khawatir.

Tentu saja laki-laki itu membalikkan badan. Apa yang mereka lihat?

Ketika semua kru kapal sedang dilanda khawatir, Panca malah tertawa lepas. Dia senang dengan pemandangan jauh di depannya. "Aha, bantuan datang! Kalian bisa hancur lebur!"

"Diam, Bocah Tengik!"

Panca senang ketika mendapati sesuatu yang menarik dari arah yang berseberangan dengan laju kapal. Dari kejauhan, tampak benda yang melaju cepat mengarah kepada kapal layar yang ditumpangi Tuan Win Feng dan komplotannya.

Asap mengepul dari sebuah kapal bermesin. Siluetnya cukup jelas dengan kerangka logam yang dibangunnya. Panca mengenal benda bermesin itu. Beberapa hari lalu dia pernah melihatnya melintas di Teluk Batavia. Kini, kapal uap itu datang mengejar kapal layar tanpa mesin milik Tuan Win Feng.

"Naikkan layar!" Tuan Win Feng memberi perintah.

Seorang kelasi cekatan membuka tali. Dia menaikkan layar yang semula tergulung. Warna layar itu gelap. Memang tidak terlalu hitam, namun sepertinya sengaja dibuat demikian agar tidak mudah dikenali ketika berlayar di malam hari.

Sayang, layar yang terkembang tidak bisa membantu. Angin yang berhembus belum begitu kencang. Malahan arah angin menuju daratan sehingga membuat kapal menjadi lebih dekat ke daratan.

"Tuan, apakah kita akan berhadap-hadapan dengan mereka?" seorang kelasi mempertanyakan keputusan sang kapten kapal.

"Ah, lakukan saja perintahku!"

Panca terus tertawa memperhatikan kelakuan para kru kapal. Dia senang ketika mendapati mereka ketakutan.

"Kau menyesal, Tuan Win Feng karena tidak membuangku ke laut?"

"Diam! Bukan saatnya aku memikirkanmu!"

Kapal uap itu semakin mendekat. Lambung kapalnya terlihat besar. Logam yang melapisi badan kapal terlihat mengkilap ketika cahaya matahari menyentuhnya. Memang tidak banyak kapal uap sejenis di Teluk Batavia. Masih ada kapal layar sebagaimana kapal perompak yang ditumpangi Panca.

"Kalian akan kalah! Lihatlah, itu kapal besar!"

Karena alasan demikian, Panca begitu yakin jika perompak itu bakal kalah. Namun, tentu saja perompak itu memiliki kepercayaan diri tinggi menghadapi anggota Armada Angkatan Laut Hindia Belanda. Mereka berpengalaman berhadapan dengan kapal-kapal besar walaupun mereka belum berpengalaman bertempur di laut terbuka.

Toottt! Suara klakson terdengar dari jauh. Keras suaranya cukup merontokan nyali bagi siapa pun yang mendengar.

Hanya membutuhkan waktu beberapa saat bagi kapal uap itu untuk mendekat. Hingga kemudian haluan kendaraan itu menabrak kapal layar yang ditumpangi Panca.

Draakk!

Kedua sisi kapal bertabrakan. Tentu saja kapal layar berbahan kayu kalah kuat. Lambungnya bocor terkena hantaman.

"Sialan!"

Kapal Patroli itu tidak memberi aba-aba atau peringatan apa pun. Mereka langsung mendekat, menabrak kemudian menyergap. Panca pun tidak menyangka jika kejadiannya begitu cepat. Memang seru jika dijadikan hiburan. Namun, menakutkan jika disaksikan sebagai sebuah peristiwa yang bisa menimbulkan korban.

"Serang!" Tuan Win Feng terdengar memberi perintah.

Namun, perintah itu telat digaungkan. Kelasi dari kapal lawan sudah melompat ke geladak. Mereka menodongkan senapan ke arah para perompak itu. Hingga, perompak itu dipaksa harus memilih. Menyerah atau melawan.

"Angkat tangan! Kalian terkepung!"

Panca dan Tragedi Pulau HajiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang