Malam semakin larut tetapi Nyonya Win Feng belum bisa memejamkan matanya. Wanita itu harus terjaga demi menimang-nimang seorang bayi laki-laki karena terus menangis. Mungkin saja bayi itu kepanasan. Dia pun diajak mendekat pada jendela yang terbuka.
Pandangan wanita itu menerawang ke tempat yang jauh. Ketika terang sudah menghilang dari ufuk barat, maka malam pun semakin pekat. Dia membayangkan suaminya yang tak kunjung pulang, suatu hari akan datang.
Di jalan raya, terdengar suara orang bertengkar. Mungkin mereka mempertengkarkan hal-hal sepele. Biasanya, karena pertengkaran terjadi diantara orang mabuk maka hal sepele pun bisa menjadi masalah besar. Begitulah, sebuah pemandangan yang lumrah di area Pecinan kala malam tiba.
"Nyonya, di luar ada tamu." Seorang pembantu rumah tangga datang dengan langkah tergopoh.
"Siapa ya?"
"Polisi, Nyonya."
"Untuk apa dia datang ke sini?"
Nyonya Win Feng pun menyerahkan si bayi kepada wanita pembantu untuk diajak tidur di kamar. Sedangkan si empunya rumah berjalan ke arah tangga. Dia mendapati seorang anggota kepolisian sedang menunggu di ruang tamu.
"Nyonya Win Feng, selamat malam. Maaf apabila menganggu jam istirahat anda."
"Selamat malam, Tuan. Silakan dinikmati sajiannya," Nyonya Win Feng mempersilakan.
Malam selarut itu memang bukan waktu yang tepat untuk bertamu. Andaikan urusan yang akan disampaikan bukanlah urusan penting, mungkin saja polisi itu akan datang keesokan harinya. Tetapi, Nyonya Win Feng memiliki dugaan jika urusan yang dibawa tamunya tidak akan jauh dengan permasalahan yang sedang menimpa dirinya.
Rumah tidak diterangi selayaknya untuk menerima tamu. Hanya diterangi oleh beberapa lentera yang dinyalakan temaram. Jika manusia yang memiliki sopan santun, mungkin enggan untuk bertamu terlalu malam. Namun, kali ini sang tamu menyingkirkan anggapan demikian.
"Saya ingin menyampaikan hal yang tidak bisa ditunda lebih lama lagi, Nyonya."
Nyonya Win Feng menatap pria Eropa di hadapannya. Kemudian dia menatap dua polisi pengawal yang berdiri di dekat dinding.
"Hal apakah yang membawa Tuan datang ke mari?"
"Ini tentang suami anda, Nyonya."
"Apakah anda ....?"
"Kami bertemu dengannya."
"Lantas?"
Polisi itu terdiam sejenak. Mungkin dia mencoba menata kata sehingga sebisa mungkin tidak menyinggung perasaan. "Dia yang menculik Raden Bakti."
Nyonya Win Feng terheran-heran dengan pernyataan polisi itu.
"Kemudian, kini dia menculik anaknya. Raden Panca."
Nyonya Win Feng terkesiap.
"Kami hanya ingin memastikan, apakah anda ... tidak terlibat dengan semua ini."
Nyonya Win Feng menatap tajam orang di hadapannya.
"Baru kemarin pagi, Raden Panca datang ke rumah ini. Lalu, malam ini dia diculik oleh suami anda."
"Bagaimana bisa anda mengatakan itu, Tuan?"
"Tentu kami memiliki bukti, Nyonya. Kami tidak asal bicara."
Nyonya Win Feng tertunduk lesu. Matanya terpejam, menahan emosi yang berkecamuk dalam dirinya.
"Kedatangan kami ke sini, ingin memberi peringatan kepada anda. Kemungkinan besar keamanan anda dan keluarga agak terganggu. Maka dari itu kami datang untuk memberi bantuan keamanan."
Nyonya Win Feng menerima saja apa yang diusulkan oleh polisi. Meskipun dia belum mengerti sepenuhnya kenapa rumahnya harus dijaga ketat. Apakah keadaan sudah begitu gawat?
Malam pun harus dilewati dengan perasaan tidak menentu. Nyonya Win Feng kembali ke kamarnya dengan pikiran penuh tanda tanya. Ketika berharap suaminya pulang dalam keadaan baik-baik saja, ternyata polisi membawa kabar yang tidak enak didengar.
Diperhatikannya si bayi sedang tertidur lelap. Pipinya yang bulat sungguh menggemaskan. Saat ini, hanya itulah yang bisa menjadi penglipur lara baginya.
Nyonya Win Feng pun meninggalkan kamar. Dia berjalan ke arah tangga kemudian menuju dapur. Didapatinya wanita paruh baya yang sedang menyeduh air kopi.
Tungku masih menyala. Bara api berwarna kemerahan begitu terang diantara ruangan yang gelap. Tidak ada lagi penerangan di tempat kecuali sebuah lampu minyak yang menempel di dinding. Siapa yang berada di sana tidak begitu jelas andaikan siluet tubuhnya tidak dikenali.
"Nyonya, sebaiknya Nyonya istirahat saja."
"Bagaimana bisa aku beristirahat ketika suamiku sedang dalam kejaran polisi."
"Benarkah demikian?"
"Ya, aku pikir kehidupan akan baik-baik saja. Ternyata semuanya tidak sesuai harapan."
Suara air menimpa bubuk kopi terdengar diantara keheningan malam Batavia. Sendok mengaduk air pun menjadi penanda jika seduhan kopi sudah siap untuk disajikan. Uap yang mengepul dari cangkir tidak begitu jelas terlihat. Satu hal pertanda jika tuan rumah masih bersikap ramah adalah kesanggupannya menjamu tamu meskipun hari mulai masuk dini hari.
"Saya hanya berharap keadaan akan semakin membaik, Nyonya."
"Keadaan tidak akan pernah membaik sebelum suamiku bertobat."
Wanita pembantu rumah tangga itu tidak berani berkomentar lebih jauh. Dia lebih memilih untuk mengantarkan sajian minuman kepada beberapa petugas keamanan yang sedang berjaga. Dia berjalan menuju ke beranda sambil membawa nampan. Sedangkan nyonya rumah duduk termangu di bangku dekat tungku. Dia mencoba menghangatkan badan sekaligus menghangatkan hatinya yang dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Tragedi Pulau Haji
Mystère / ThrillerSemua mata tertuju pada suasana pulau yang berbeda sebagaimana hari-hari sebelumnya. Tidak ada lagi keramaian. Tidak ada kapal bahkan sebuah sampan pun tidak ada yang bersandar di dermaga. Malam sudah menjelang, tetapi tidak ada satu pun lampu menya...