Raden Bakti tercebur ke laut. Dia tidak tahu siapa orang yang telah mendorongnya. Saat itu gelap, cahaya lentera sengaja dipadamkan agar mempersulit kapal sebagai sasaran tembak.
Ah, perihnya luka ini!
Pria itu tidak pandai berenang. Dia kesulitan untuk sekedar meraih akar-akar bakau yang tidak jauh dari tempatnya terjatuh. Ditambah, saat itu begitu gelap. Sulit menentukan dimana letak benda yang bisa diraih sebagai pegangan.
"Mari, naik ke atas perahu, Raden!"
"Ah, Asih? Kaukah itu?"
"Ya, saya Asih. Mari kita pergi dari tempat ini!"
Asih meraih tangan Raden Bakti. Gadis itu kesulitan mengangkat tubuh orang yang tercebur ke laut. Pria itu lemah sekaligus berat badannya hampir dua kali berat badan Asih.
"Tubuhku terasa berat ya, aku sudah jarang bekerja berat."
Asih tidak memberi komentar perkataan Raden Bakti. Dia lebih suka mendayung sampan hingga menjauh dari tempat semula.
"Panca, anak itu masih ada di atas kapal."
"Kita menjauh terlebih dahulu. Jangan sampai ada peluru mengenai tubuh."
"Aku mengkhawatirkan anak itu."
"Percayalah, Panca ... Raden Panca bisa melindungi diri." Asih terus mendayung sampan. "Ini bukan pertama kali untuknya."
Raden Bakti terdiam. Ada hal yang dipikirkannya. Tapi, dia memilih untuk memendam pikirannya itu sehingga tidak membicarakannya dengan Asih.
Mereka berdua menjauh dari kapal para perompak itu. Menyusuri hutan bakau yang lebat. Tanpa penerangan, Asih sanggup memperkirakan celah mana yang bisa disusupi oleh sampan. Kegelapan pulalah yang menyelamatkan mereka dari desingan peluru.
"Asih, kita mau ke mana?"
"Bersembunyi, Paman."
"Lantas, bagaimana dengan anakku?"
"Kita menunggu baku tembak mereda, maka kita cari anak itu."
Sampan semakin menjauh dari arena baku tembak. Kekhawatiran Raden Bakti bertambah. Hampir saja dia menceburkan diri ke air di antara akar-akar bakau. Namun, itu urung dilakukan. Asih memegang tangannya.
"Paman, diantara kalian harus ada yang selamat. Jangan sampai kalian berdua mati."
"Maksudmu apa? Aku tidak bisa ...."
"Paman harus menjadi saksi Tragedi di Pulau Haji."
"Tapi, anakku lebih penting."
"Polisi sudah tahu duduk perkaranya. Mereka tidak akan melukai anak itu."
Raden Bakti terkesan berpikir. Dia tidak terus bicara panjang lebar.
"Paman, jangan sampai terjadi kesalahpahaman diantara penduduk sekitar Batavia. Mereka bisa berperang satu sama lain karena tokoh penting di kampung mereka tewas terbunuh."
Raden Bakti mulai mengerti arah pembicaraan Asih. Dia mendengarkan gadis itu bicara tanpa menyela.
"Paman, andaikan berita di Pulau Haji tersebar ke setiap kampung, maka orang-orang kampung akan mengangkat senjata untuk membalas dendam."
"Aku merasa menyesal karena terlalu menuruti keinginan Tuan Win Feng."
"Berita tentang Tragedi di Pulau Haji sudah menyebar melalui surat kabar. Di Batavia, desas-desus tentang peristiwa itu sudah menjadi bahan perbincangan orang-orang."
"Jika mereka tidak tahu peristiwa sebenarnya ...."
"Mereka menyangka jika Tuan Win Feng adalah pelakunya."
"Orang pribumi dan orang Cina akan bertikai hebat."
Asih mengangguk. Meskipun anggukan itu tidak terlihat karena gelap cukup pekat.
Mereka berdua menunggu suara tembakan mereda. Beberapa kali suara peluru mendesing terdengar di telinga. Demi menghindari peluru yang menyasar, mereka berdua merunduk sambil berlindung di akar bakau yang besar.
"Saya dan Panca menempuh perjalanan mencari Paman, demi meyakinkan pihak Pemerintah jika bukan Paman sebagai tersangka utamanya."
"Mereka sudah menyangka jika aku pelaku pembantaian itu?"
"Karena Paman adalah satu-satunya orang yang selamat. Mereka berpikir jika Paman bersembunyi."
"Aku dikurung Win Feng."
"Nama Win Feng menjadi tertuduh karena dia perompak yang dikenal suka beraksi di Teluk Batavia."
Raden Bakti menghela nafas. Dia tidak menyangka jika keadaan bisa menjadi begitu rumit. Dia pun tidak menyangka jika Asih begitu paham keadaan dan tidak melihat sebuah peristiwa sebagai suatu fakta biasa.
"Bagaimana kau mengerti semua ini?"
Asih tersenyum meskipun senyuman itu tidak tampak tersungging dari bibirnya. Hutan bakau kala itu begitu gelap.
"Ada seorang wartawan yang menulis berita tentang Tragedi Pulau Haji, dia memotret semua korban. Kemudian dia menyiarkannya ke banyak orang. Hingga, Panca dan saya bertemu wartawan itu. Mungkin sudah menjadi takdir, jika kami harus bertemu. Dan, kami bertiga kembali mengunjungi pulau itu setelah polisi memeriksanya."
"Kalian menemukan apa?"
"Kami berkesimpulan, jika ... Paman tidak bersalah dalam peristiwa itu. Ada pihak lain yang sengaja membunuhi para jemaah calon haji di Pulau Haji."
"Pihak lain itu ... Win Feng?"
Raden Bakti terdiam.
Desingan peluru masih terdengar. Meskipun suaranya terkesan menjauh. Mungkin arena pertempuran pun menjauh.
Suara desingan tergantikan oleh suara serangga hutan yang khawatir akan keselamatan mereka. Khawatir manusia merusak kehidupan mereka. Mereka tahu apa yang terjadi jika segerombolan manusia merambah hutan.
"Apakah Win Feng benar pelakunya?"
"Bukan. Bukan dia pembunuh sahabat-sahabatku di pulau itu."
"Lantas siapa, Paman?"
![](https://img.wattpad.com/cover/317878897-288-k942008.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Tragedi Pulau Haji
Mystery / ThrillerSemua mata tertuju pada suasana pulau yang berbeda sebagaimana hari-hari sebelumnya. Tidak ada lagi keramaian. Tidak ada kapal bahkan sebuah sampan pun tidak ada yang bersandar di dermaga. Malam sudah menjelang, tetapi tidak ada satu pun lampu menya...