27

67 11 0
                                        

Sampan-sampan yang hilir mudik menjadi pemandangan lumrah di muara sungai Ciliwung. Ada sampan yang didayung meninggalkan muara kemudian terapung di laut. Ada juga sampan yang didayung menyusuri sungai hingga sampai ke tengah kota Batavia.

"Kita harus ke mana?" Panca bertanya pada Asih yang sama-sama tertegun.

"Diam, jangan banyak bicara. Beri aku waktu untuk berpikir." Suara Asih terdengar pelan tersamarkan oleh suara klakson kapal uap yang mendekat.

"Tapi, kau berpikir terlalu lama."

"Hei, jika kau sanggup melakukannya sendiri, lakukan sendiri! Aku pergi!"

Entah kenapa percakapan diantara kedua anak remaja itu selalu dibumbui pertengkaran. Padahal, mereka dipertemukan padap waktu dan tempat yang sama. Bukan kebetulan.

"Pergi saja. Ingat ya, aku tidak berusaha mencarimu. Kau tiba-tiba ada di tempat ini ketika aku sedang sendiri."

"Terang saja, karena sehari-hari aku sering ada di tempat ini."

Panca melirik Asih yang menatap ke laut. Bibirnya tertutup rapat pertanda dia mulai merajuk.

"Jadi, kau bergaul dengan orang-orang yang sedang kucari?"

Asih tidak menjawab pertanyaan Panca. Gadis itu tahu jika itu bukan pertanyaan, lebih kepada sebuah sindiran. Namun, sindiran itu nampaknya terlalu sering dilontarkan oleh Panca sehingga Asih menganggapnya biasa. Gadis itu hanya sedikit tersinggung. Selepas itu, perasaannya kembali biasa sebagaimana sebelumnya.

"Hei, apakah kau akan terus berdiri di sini? Bukankah kau mau pergi?"

"Ha, jadi kau benar-benar menginginkan aku pergi?"

"Kau pergi ataupun tidak, bagiku sama saja."

Asih semakin tidak senang ketika Panca bicara demikian. "Raden, apakah kau selalu menaruh curiga padaku jika aku akan mencelakaimu?"

"Tentu saja. Aku tidak bisa sepenuhnya percaya padamu. Peristiwa tempo hari sudah cukup menjadi pelajaran bagiku."

"Pikiranmu begitu sempit."

"Hei, siapa yang bisa menjamin jika kau bukan bagian dari mereka yang berbuat jahat pada ayahku?"

Panca menatap tajam Asih. Gadis itu pun balik menatap tajam Panca.

"Kau keterlaluan," Asih bicara lirih.

Mata gadis itu berkaca-kaca. Panca tidak melihat itu karena Asih langsung berbalik badan.

"Sekarang, aku mau menyusuri gudang-gudang yang ada di sana," Panca menunjuk sebuah bangunan besar di seberang sungai. "Kau yakin tidak mau ikut?"

Asih kembali membalikkan badan.

"Jika kau tidak mau ikut, silakan tunggu di sini."

"Aku ikut, percuma rasanya jika menunggumu di sini ...."

"Jadi, kau sudah menungguku. Sejak kapan?"

"Dari tadi subuh."

Panca menatap Asih. "Bagaimana kau yakin jika aku akan datang ke sini?"

"Tentu saja. Karena aku yang memberitahumu jika komplotan Win Feng adalah terduga utama pencuri ayahmu."

Panca tersenyum. Sebuah senyuman kecut.

"Hei, bisakah kau tersenyum manis kepadaku?"

"Padamu? Aku harus bersikap manis. Oh, kau bukan gadis yang harus diperlakukan demikian."

"Kenapa?"

"Karena kau .... Ah, sudahlah. Seharusnya kau tahu jawabannya."

Panca berjalan menyusuri tanggul sungai. Diikuti oleh Asih yang berjalan dengan gaya setengah berlari-lari. Jika diperhatikan dari jauh, gadis itu terkesan sedang menari-nari. Suasana hatinya bisa diterka dari perangai si gadis.

Asih dikenal sebagai gadis yang tidak suka menggunakan sarung kebaya. Orang-orang di kampung sekitar muara sungai bisa mengenali gadis itu dari baju cokelat dengan celana di atas mata kaki. Walaupun tidak semua orang tahu sebenarnya dimana rumah gadis itu.

"Asih, kau belum pernah mengatakan padaku, sebenarnya kau tinggal di mana?"

"Pentingkah untukmu jika tahu di mana aku tinggal?"

Panca berhenti melangkah. "Bagaimana bisa aku percaya padamu, jika kau tidak berterus terang."

"Seperti dirimu, Raden. Di Batavia ini,  aku tidak punya tempat untuk sekedar kembali pulang."

Panca merasa keingintahuannya tentang Asih menjadi hal tidak berguna. Dia tahu jika gadis itu menyimpan banyak rahasia. Kehidupan pribadi Asih sulit ditebak. Berbeda dengan kebanyakan gadis seusianya.

"Di sana ada gudang tua, sudah lama tidak digunakan. Setelah ada pelabuhan Tanjung Priok, gudang itu jadi terbengkalai." Asih menunjuk sebuah bangunan tak terawat.

"Mungkinkah, ada sesuatu di sana?"

"Jika malam, sering ada gelandangan di sana."

Panca menganggukkan kepala. Dia setuju jika memeriksa bangunan besar itu. Sebuah bangunan dengan tembok kokoh namun atapnya terlihat sudah rapuh.

Hal yang bisa dimengerti jika bangunan terbengkalai sering dijadikan tempat bermalam bagi para gelandangan. Ketika pagi, burung-burung camar bertengger di atap. Mereka menikmati hangatnya sinar matahari pagi sambil menggosok tubuhnya dengan paruh.

Ada juga burung gereja yang bersarang di atap bangunan. Jumlah binatang itu sangat banyak. Saking banyaknya, kawanan mereka terlihat bergerak beriringan. Gerakan mereka menghiasi langit cerah di sekitar delta yang terbentuk akibat endapan lumpur.

"Gudang ini, sepertinya hendak roboh."

"Jika terbengkalai terus seperti ini, mungkin besok lusa pun roboh," Panca menambahkan sebuah perkiraan.

"Aku heran, kenapa gelandangan itu sanggup tidur nyaman di sini. Padahal bau pesing di tempat ini sungguh mengganggu."

"Hidung mereka sudah terbiasa dengan bau."

"Kalau aku tidak akan bisa tidur."

"Ya, sama saja seperti matamu yang terbiasa melihat di saat malam gelap."

"Ah, kau pikir aku burung hantu."

"Kurasa kau titisan burung hantu."

"Aku lebih suka dianggap sebagai titisan serigala."

"Terlalu bagus, kau titisan kucing. Suka memburu tikus saat malam gelap. Bukan, mencuri makanan di atas meja ...."

"Ah, terserah kau lah. Aku tidak mau berdebat."

Tangan Asih meraba tembok kasar yang dicat putih meskipun warnanya sudah memudar. Dia mendongakkan kepala ke arah atap yang terlihat bolong-bolong. Beberapa genteng sudah terjatuh ke lantai. Berserakan dan tidak tampak ada upaya untuk memperbaiki.

"Asih, mungkinkah tempat ini menjadi tempat persembunyian?"

"Sepertinya kecil kemungkinan untuk itu. Hanya saja, sangat mungkin jika ini menjadi tempat persinggahan sementara."

"Sebelum komplotan penculik itu pergi ke tempat persembunyian."

Panca berhenti melangkah. Dia melihat ke sekeliling.

"Berarti, kita harus mencari seseorang yang melihat komplotan itu singgah di tempat ini."

"Ya, tapi siapakah orang itu?"

Panca dan Tragedi Pulau HajiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang