3

74 17 1
                                        

Tuan Win Feng berjalan menyusuri selasar bangunan yang memanjang. Dia berjalan diantara deretan jendela jelusi besar berbahan kayu. Daun jendelanya masih terbuka, pertanda jika belum ada orang yang sempat menutupnya padahal malam sudah menjelang.

"Di mana orang itu?"

"Dia di belakang, dekat kamar mandi."

Kesepuluh orang yang sedang berada di pulau kecil itu berkumpul. Mereka  mengikuti Sang Kapten Kapal yang terlihat senang ketika mendengar ada orang yang masih hidup.

Lentera di tangan tertuju pada sebuah bangunan kecil. Ada sumur di dekatnya lengkap dengan ember timba dan juga pompa ungkit. Di pulau sekecil itu, biasanya sumur menampung air payau. Air demikian berguna untuk sekedar cuci kakus walau tidak enak untuk diminum.

"Itu dia, Tuan."

Tuan Win Feng berhenti melangkah ketika dia mendapati ada seorang laki-laki yang terbaring lemah. Tubuhnya penuh luka. Pakaian putih yang dikenakan berubah menjadi merah karena darah mengucur dari balik kulit.

"Tuan, apa kau bisa mendengarkanku?"

Orang itu tidak menjawab.

"Orang ini penuh luka. Bawa dia ke tempat yang lebih lapang."

Para pelaut itu membopong dia yang tengah terluka ke tanah lapang dekat perapian. Sengaja didekatkan dengan sumber cahaya agar bisa diajak bicara.

"Tuan, saya membawa obat-obatan. Saya mengambilnya dari ruang perawatan." Seorang lelaki datang dengan kaki terpincang-pincang. Dia sudah demikian sejak lahir, setidaknya begitulah yang diingat.

"Nah, bagus. Obati lukanya."

"Saya membawa air. Apakah Tuan membutuhkan minum?"

"Hei, tidak perlu bertanya. Berikan saja padanya!" Tuan Win Feng membentak karena kelakuan anak buahnya.

"Maaf, Tuan."

Orang itu disandarkan di bawah pohon. Dia tampak lemah. Wajahnya masih meringis kesakitan.

"Tuan, bolehkah kita bicara?"

"Ya, silakan," orang itu menjawab dengan pelan.

Tuan Win Feng terdiam sejenak.

"Di sini terjadi pembantaian ...."

"Karena?"

"Entahlah. Aku sendiri tidak tahu penyebabnya."

Orang yang sedang dikerumuni ternyata bicara pelan. Dia kehabisan tenaga untuk sekedar bicara. Luka yang dialaminya sungguh berat. Nafasnya pun terdengar lemah.

"Sepertinya orang ini belum bisa diajak bicara banyak.  Biarlah dia istirahat," Tuan Win Feng berdiri bermaksud meninggalkan kerumunan.

"Terima kasih, Tuan."

"Apakah kau mau kami tempatkan di dalam gedung?"

"Jangan, saya lebih suka di sini. Lebih hangat."

Tuan Win Feng mengangguk. Dia menoleh ada api unggun yang menyala bersama nasi yang baru selesai ditanak. Beberapa ekor ikan sedang dibakar sebagai lauk makan malam.

Semuanya kembali pada tugasnya. Si Kurus yang bertindak sebagai juru masak terlihat sibuk membolak-balikkan ikan yang sedang dibakar. Sedangkan yang lainnya, kembali berpencar mengitari pulau sambil berharap menemukan sesuatu yang berharga.

"Hei, Kurus. Masih lama kah makanannya matang?"

"Sebentar lagi, Tuan. Apakah Tuan sudah lapar?"

"Tentu saja. Aku belum makan sejak siang tadi."

"Kalau itu, saya pun sama."

"Ah, aku tidak menanyakan itu."

Tuan Win Feng menoleh pada laki-laki yang bersandar di bawah pohon. Sepertinya dia tidak ingin memejamkan mata karena satu alasan.

"Dia masih belum percaya pada kita kalau kita tidak akan mencelakainya."

"Wajar, Tuan. Siapa orang yang percaya pada perompak seperti kita."

"Sssttt, jangan katakan itu."

Si Kurus tersenyum sambil terus membalikan ikan-ikan di atas api. Orang itu tidak sadar jika percakapan mereka bisa membuat tidak nyaman orang di bawah pohon.

"Ah, terus terang ... aku masih bingung dengan tempat ini."

"Maksud Tuan?"

"Pemerintah membangunnya untuk berkumpulnya orang-orang yang akan berangkat ke Arab. Tapi, terjadi pembantaian ... dimana tidak ada seorang pun tahu apa penyebabnya."

"Bukankah sebaiknya kita tidak terlalu dipusingkan dengan hal demikian, Tuan?"

"Benar juga. Hanya saja, rasa penasaranku belum mendapatkan jawaban yang memuaskan."

"Tuan, andaikan tahu jawabannya. Apa yang akan Tuan lakukan?"

"Aku tidak akan melakukan apa-apa. Itu bukan urusanku. Hanya saja, aku heran ... kenapa orang-orang seperti mereka bisa saling bunuh?"

Pertanyaan Tuan Win Feng itu terdengar oleh laki-laki yang sedang bersandar di pohon. Meskipun suaranya lemah, suasana sunyi memudahkan orang lain mendengar suaranya.

"Kami tidak saling bunuh. Dia yang memulai perkelahian."

Suara deburan ombak malam itu tidak terdengar. Angin pun berhembus tenang. Pelannya orang yang berbicara menyita perhatian Tuan Win Feng dan Si Kurus. Mereka berdua duduk tidak jauh dari pohon tempat orang yang terluka itu bersandar.

"Dia, siapa Tuan?"

Orang itu tidak langsung menjawab. Lawannya bicaranya mengerti jika pertanyaan itu tidak langsung dijawab karena membutuhkan tenaga  untuk menata kata.

"Tuan, sebentar. Sepertinya anda tidak asing buat saya. Apakah kita pernah bertemu?"

Orang yang terluka itu tidak menjawab. Dia kebingungan dengan pertanyaan Tuan Win Feng.

"Kau mengingatkan saya pada seseorang. Wajahmu mirip orang yang saya kenal."

Cahaya dari api unggun cukup membantu memperjelas wajah orang yang penuh luka itu. Darah di wajahnya sudah mengering dan dibersihkan.

"Tuan, kalau boleh tahu, siapa namamu?"

"Saya ... saya ... Bakti. Orang-orang memanggil saya Raden Bakti."

Panca dan Tragedi Pulau HajiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang