24

43 10 0
                                    

Panca duduk di kursi yang mengitari meja bundar dengan diameter tidak lebih dari setengah meter. Begitupula dengan A Ling dan Nyonya Win Feng. Mereka bicara di ruang tamu dengan pintu tertutup. Jauh dari perhatian tetangga atau siapa pun orang yang tidak dikenal.

"Suamiku kau tinggalkan di pulau itu, hingga kami menyangka dia sudah meninggal."

"Berarti Nyonya tahu dari Tuan Win Feng sendiri jika dia ...."

"Sekitar sebulan setelah kejadian itu, dia datang ke rumah ini. Saat malam gelap dan sembunyi-sembunyi."

"Maaf, Nyonya. Keadaaan waktu itu mengharuskan saya meninggalkan Tuan Win Feng."

Wanita di hadapan Panca membuang muka. Dia tidak suka dengan pengakuan anak itu perihal perselisihan antara dia dan suaminya.

"Ah, sudahlah. Aku juga enggan untuk membahas masa lalu yang tidak bisa kuperbaiki."

Panca tidak memberi komentar.

"Kalau saja kau bukan teman A Ling, tentu aku tidak sudi berbicara denganmu. Kalaupun terjadi sesuatu dengan ayahmu, aku tidak peduli. Mungkin itu balasan Tuhan karena kelakuan anaknya."

A Ling tidak berbicara, hanya membiarkan wanita di dekatnya untuk bicara.

"Kalau kau ada urusan dengan suamiku, maka silakan saja cari dia."

"Tahukah di mana Tuan Win Feng berada, Nyonya?"

"Suamiku sudah lama tidak pulang."

"Tidak adakah kabar sama sekali?"

Nyonya Win Feng enggan menjawab pertanyaan dari Panca. Wanita itu memilih diam dibandingkan menyampaikan apa yang telah terjadi kepada orang asing.

"Saya harus bertemu Tuan Win Feng. Hanya dia harapan saya. Mungkin Tuan Win Feng tahu apa yang telah terjadi di sana?"

Nyonya Win Feng menatap Panca, "apakah kau menuduh suamiku terlibat dalam peristiwa di Pulau Haji?"

Panca sulit menjawab pertanyaan itu.

"Atas alasan apa dia melakukan itu?"

"Saya tidak sedang menuduh Tuan Win Feng. Hanya saja, ada kabar selentingan ... jika dia tahu keadaan di sekitar pulau itu."

Nyonya Win Feng kesal. Dia merasa disudutkan oleh Panca. Wanita itu berdiri.

"A Ling, bawa temanmu ini pergi. Dan, jangan sekali-kali lagi kau membawa dia ke sini."

Nyonya Win Feng berjalan ke arah ruangan belakang. Panca tidak berani menatap tubuh wanita itu meskipun dari belakang.

"Sebaiknya kita pergi, A Ling."

Tanpa pamitan, kedua anak remaja itu membuka pintu. Bermaksud meninggalkan rumah tempat mereka bertamu. Daun pintu berukuran besar itu cukup sulit untuk dibuka. Bukan karena mereka tidak bertenaga, tapi pikiran mereka seperti enggan untuk pergi.

Udara pagi Batavia pun mulai masuk ke dalam ruang tamu. Bukan udara segar sebagaimana yang bisa dihirup oleh Panca di Desa Pujasari, rumah orang tuanya. Tidak ada udara pegunungan yang memberikan kenyamanan. Malah, udara berdebu dari jalanan kota mulai terhirup.

Panca pun melangkahkan kaki untuk meninggalkan rumah itu. Meskipun ragu, dia tetap berusaha menerima hasil dari upaya yang gagal. Tidak ada keterangan apa pun yang bisa dijadikan petunjuk untuk mencari ayahnya, Raden Bakti.

"Raden, setelah ini ... kita ke mana?"

"Entahlah, aku juga bingung."

"Bagaimana kalau kita mencari kabar dari Kantor Polisi?"

"Jangan. Percuma kita bertanya pada polisi. Mereka sudah menjadikan ayahku tersangka."

"Jadi, sebenarnya kau harus berlomba dengan polisi untuk segera menemukan Raden Bakti."

"Ya, begitulah niatku sejak awal."

A Ling dan Panca berbincang sambil menyusuri pekarangan rumah yang cukup luas. Dekat pintu gerbang, ada seseorang yang sedang menyapu halaman. Daun-daun yang berjatuhan serta debu-debu dibersihkan sehingga memberi kesan nyaman dipandang.

"Bi, maaf. Bolehkah saya mengganggu sebentar."

"Ya, A Ling. Tentu saja," seorang wanita paruh baya itu tersenyum.

"Bi, bolehkah saya bertanya."

"Tentang apa?"

"Apakah ... Tuan Win Feng pernah pulang ke sini?"

"Ya, beberapa hari lalu."

"Setelah itu, dia pergi ke mana?"

"Tidak tahu. Tuan Win Feng tidak pernah menyampaikan tujuan keberangkatannya."

A Ling dan Panca mengangguk sebagai pertanda merasa cukup dengan jawaban yang disampaikan wanita pembantu itu. Dia membungkukkan badan sambil berpamitan untuk kembali pulang. Begitu juga Panca, tersenyum walau sebuah senyuman yang dipaksakan.

Pintu gerbang terbuka. Suasana jalan raya menyambut mereka berdua.

Kereta kuda hingga sepeda petugas patroli polisi berseliweran. Debu beterbangan tertiup oleh angin laut yang berhembus. Mata Panca tertuju pada pedagang asongan yang menawarkan barang dagangannya. Barang dagangannya dipikul sambil berteriak dengan suara lantang.

"Kita pulang saja dahulu. Aku kasihan pada ayah dan ibuku, mereka membutuhkan bantuanku."

"Ya, terima kasih karena sudah membantuku.

Panca berjalan pelan mengikuti A Ling. Dia melangkah gontai.

Dalam beberapa saat, mereka berdua sudah sampai di persimpangan jalan. Hampir saja sebuah seekor sapi penarik pedati menabrak Panca karena dia tidak memperhatikan keadaan di sekitarnya.

"Hati-hati, jangan berjalan sambil melamun!"

Tubuh seperti Panca pun terpaku. Kini dia hanya diam ketika A Ling mengomel layaknya seorang ibu memarahi anak kecil.

"Hei, kau tidak mendengarku? Ah ,ya sudahlah. Aku pulang. Jika kau membutuhkanku, kau tahu harus ke mana."

A Ling agak kesal karena Panca bersikap tak acuh. Bagi seorang anak lelaki, cara bicara seorang gadis yang cerewet terkesan sebagai sikap yang mengganggu.

Mata Panca tertuju pada punggung A Ling yang semakin jauh. Gadis itu menyusuri trotoar hingga dia masuk ke sebuah bangunan yang dikenal sebagai rumah makan dan penginapan.

"Raden!"

Panca dikagetkan oleh suara seseorang berteriak.

"Bibi? Ada apa?"

Wanita pembantu di rumah Nyonya Win Feng ternyata menyusul Panca. Orang itu terlihat begitu kalut. Dari raut wajahnya, dia seakan dihinggapi kekhawatiran.

"Raden, saya tahu Tuan Win Feng ada di mana."

"Benarkah? Kenapa tadi Bibi tidak mengatakannya?"

"Saya takut Nyonya marah."

Wanita itu mengarahkan pandangan ke segala arah. Dia takut diketahui seseorang.

"Tuan Win Feng, pergi melaut. Kemungkinan dia tidak jauh dari muara sungai Ciliwung."



Panca dan Tragedi Pulau HajiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang