33

56 12 0
                                        

Asih melihat sesuatu yang mencurigakan. Setidaknya, menurut dia.

"Apa yang mencurigakan?"

Panca heran dengan sikap Asih ketika memperlihatkan kecemasan.

"Hei, jawab pertanyaanku! Di sini tidak terjadi apa-apa!"

"Ssst, diam. Pusatkan pikiranmu. Kita tidak sedang menghadapi orang-orang biasa layaknya warga kampung tadi."

Asih berdiri dengan mata tertuju ke segala arah. Gadis itu mengangkat tangan kirinya sebagai pertanda jika Panca pun harus ikut terdiam. Berdiri mematung lebih baik dibandingkan terus bergerak.

Seekor burung paok berjalan pelan di tanah basah. Dia mencari makan diantara ranting-ranting patah dan daun kering yang berserakan. Kedua matanya bertatapan langsung dengan dua anak manusia yang tidak sengaja masuk ke habitat si burung. Tenang, kami tidak akan memangsamu.

"Adakah seseorang yang memperhatikan kita?" Panca berbisik.

"Ya," Asih pun menjawab pelan.

Kini mereka harus masuk ke wilayah hutan yang basah oleh air rawa. Karena musim hujan belum tiba, air hanya merembes ke tanah kemudian tampak basah ketika dedaunan yang berserakan tersapu kaki.

"Kita berjalan pelan saja, jika terjadi sesuatu maka kita bisa bersembunyi di balik pohon."

"Ah, aku pikir juga begitu," Panca  terdengar gusar.

Ada saja hal yang bisa membuat kedua anak remaja itu bertengkar. Meskipun suasana dalam keadaan tegang, Panca selalu memiliki celah untuk meledek Asih.

"Hei, ingat ya aku ini bukan anak buahmu," Panca bicara sambil berjalan menyusul Asih.

"Lantas?"

"Kau tidak bisa mengaturku."

"Hei, aku tidak bermaksud mengaturmu. Tapi, keadaan bahaya bisa saja menghampiri kita."

"Ah, itu hanya anggapanmu saja. Buktinya, sekarang ...."

Panca belum selesai mengucapkan apa maksud hatinya, ternyata Asih sudah memeluk dan mendorong temannya hingga terjatuh ke tanah. Tubuhnya sedikit basah karena genangan air diantara pohon-pohon besar yang tumbuh di hutan.

"Diam!" Asih berbisik.

Panca belum sepenuhnya mengerti apa yang tengah terjadi. Dia baru menyadari apa maksud Asih ketika tepat di wajahnya ada anak panah yang menancap.

"Sialan!" Panca geram. Dia memamerkan giginya serta memasang mata yang membelalak.

"Kau masih menyangsikan aku?"

Panca yang semula terlentang, kini dia harus mengubah posisi menjadi tertelungkup. Jantung anak remaja itu berdebar kencang. Pandangan matanya tertuju pada setiap pohon besar yang tumbuh di sana. Mungkin saja ada seseorang yang sengaja melepaskan anak panah itu hingga hampir saja melukainya.

"Ayo, kita bersembunyi di pohon besar itu!"

Asih memegang tangan Panca. Mereka berlari cepat ke arah sebuah pohon sambil berharap tidak ada lagi anak panah yang mendesing ke arahnya.

"Siapa yang berani memanah kita?" Panca masih penasaran.

Tentu saja Asih pun sama penasaran tetapi gadis itu memilih untuk berkonsentrasi menghindari serangan. "Tidak usah banyak bertanya dahulu. Sekarang, pusatkan perhatian. Seperti yang sudah kukatakan. Jangan lengah!"

Panca menatap Asih. Gadis itu tampaknya lebih waspada dibandingkan Panca. Bola mata Asih berputar-putar demi memperhatikan ke segala arah. Dia mencari berbagai kemungkinan tempat yang dijadikan  tempat bersembunyi bagi orang yang menyerang mereka berdua.

Untuk sesaat, hutan itu kembali hening. Hanya terdengar suara serangga dan kicauan burung yang melengking.

"Apa? Kau masih mempermasalahkan jika aku mengaturmu?"

Panca terdiam sejenak. "Maaf."

Asih masih merapatkan punggung pada batang pohon yang menjulang tinggi. Panca pun terpaksa mengikuti hal sebagaimana Asih. Mereka berdua hanya menunggu apalagi yang bakal terjadi kemudian.

"Mungkin, mereka hanya menggertak."

"Bagaimana kau tahu jika mereka hanya menggertak?" Asih menoleh pada Panca.

"Pasalnya, tidak ada lagi orang yang mema ...."

"Awas!"

Asih kembali harus menggulingkan tubuh kawannya. Ternyata, sebuah anak panah kembali menghampiri mereka berdua. Anak panah itu kini  tertancap di batang pohon.

"Perkiraanmu salah, anak muda."

Panca tersenyum kecut ketika Asih bicara demikian. Mereka berdua tidak bisa lagi terus berdiam diri di satu tempat. Mereka harus menjauh dari tempatnya semula. Kembali mencari perlindungan.

"Lari!"

Tentu saja manusia misterius yang menyerang mereka tidak tinggal diam. Ada satu lagi anak panah mendesing tepat di dekat telinga Panca. Untung saja, anak remaja itu masih sanggup menghindar. Bukan sengaja menghindar, tetapi karena tubuhnya tidak diam dalam posisi yang sama.

"Kita tidak boleh diam."

"Tapi, mau sampai kapan?"

Tangan kanan Asih terus berpegangan dengan tangan kiri Panca. Mereka berdua sengaja tidak terpisah agar komunikasi mereka tidak harus dilakukan dengan perkataan. Sudah menjadi cara yang biasa dilakukan Asih ketika dikejar-kejar bahaya, bergerak terus hingga menemukan tempat bersembunyi yang aman.

"Kita ke mana?"

"Ikuti saja aku. Tidak usah banyak bicara!"

Dalam benak Panca, tidak terlintas gagasan untuk pergi ke mana. Dia tidak mengenal kawasan hutan yang sedang ditapaki. Namun, Asih sepertinya paham seluk beluk tempat itu. Gadis itu tidak lama berpikir bagaimana menemukan cara untuk melarikan diri dari bahaya. Sepertinya gadis itu akrab dengan setiap jengkal hutan di tepi teluk Batavia.

Ada saatnya keduanya lelah. Panca sudah tidak sanggup untuk terus berlari. Dia menahan laju temannya itu. Gadis itu tidak kelelahan setelah lama berlari.

"Berhentilah dahulu."

"Tidak bisa, kau mau mati?"

Betis Panca terasa sakit. Dia sulit untuk kembali berlari. Apalagi, semakin lama hutan itu semakin lebat. Tanahnya basah serta terdapat banyak genangan air. Hal demikian menyulitkan Panca untuk berlari.

"Dengar, ada suara orang berlari," Asih mengingatkan Panca sambil menoleh ke belakang.

"Dimana?"

"Sebelah sana," Asih menunjuk sesuatu yang bergerak. Tidak jelas bagaimana wujudnya.

"Kita harus ke mana lagi?"

Asih berpikir dengan cepat, "ikuti aku!"

Asih mengajak Panca untuk terus berlari. Meskipun sulit, karena genangan air semakin dalam hingga mereka semakin sulit untuk berlari. Mereka terjebak di kubangan cukup dalam. Airnya hitam kekuningan sebagai pertanda jika airnya tidak mengalir dalam waktu lama. Bila dilihat dari dekat, tampak bintik-bintik nyamuk bergerak-gerak.

Kita bersembunyi di dalam air, Asih tidak mengatakan itu tapi Panca mengerti. Mereka berdua menenggelamkan diri dalam air yang menghitam.

Menahan nafas entah hingga kapan.

Panca dan Tragedi Pulau HajiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang