13

42 9 0
                                    

"Ternyata kau di sini," seorang lelaki berwajah tambun datang dengan terengah," mereka bilang kau dicari hingga ke hotel. Benarkah itu?"

"Ya, Tuan."

Jas yang semula dikenakan digantung di kapstok. Begitupula dengan topi bundar yang dipakai. Sedangkan, Tuan Frans menyambut orang itu dengan duduk di kursi tepat di belakang meja yang penuh dengan tumpukan kertas.

"Maafkan aku. Semua ini karena salahku. Seharusnya kita tidak menurunkan berita tentang peristiwa di Pulau Haji."

"Tuan Direktur, kita sudah terlanjur mengabarkan peristiwa ini ke khalayak. Aku harus siap menerima resikonya."

"Kau tahu, tadi siang ... Gubernur Jenderal menegurku karena gegabah memberitakan peristiwa di Pulau Haji tanpa seizin Pemerintah."

"Ya, para staf sudah menceritakannya pada saya."

"Frans, kau tahu ... ini pertama kalinya kantor kita diserang orang. Walaupun bukan pertama kalinya kita mendapatkan ancaman. Sayang, polisi belum tahu siapa mereka."

"Mungkin mereka kawanan ... pelaku pembantaian di Pulau Haji."

"Atau, mereka orang suruhan Pemerintah. Mengancam kita agar menghentikan pemberitaan tentang pulau sialan itu."

"Tuan Direktur, kau sendiri ... apakah kau mau mundur ...."

"Sejujurnya aku tidak mau mundur. Tapi, melihatmu jadi sengsara seperti ini ... aku berpikir untuk ...."

"Berhenti?"

Pria gemuk yang dipanggil "direktur" itu mengangguk.

"Tuan, aku tahu ini berbahaya. Tapi, bukan berarti kita harus berhenti."

"Aku tidak mau mengambil resiko terlalu tinggi. Apalagi jika ... mereka mulai menyentuh orang-orang yang kita sayangi."

"Ya, itu juga alasanku tidak pulang ke rumah. Anak dan istriku sudah dititipkan pada seseorang yang kupercayai."

"Kabarnya, ada keluarga korban yang menghubungimu?"

"Ya, tadi dia juga mendatangi saya di hotel."

"Benarkah? Dia penasaran?"

"Bukan hanya karena penasaran. Tapi, polisi sudah menjadikan ayahnya sebagai tersangka."

"Bagaimana bisa?"

"Ayahnya, satu-satunya orang yang tidak ditemukan jenazahnya. Makanya dia berusaha ingin menemuiku. Dia bersikukuh untuk melihat foto-foto yang kumiliki. Dia ingin mencari bukti jika ayahnya tidak bersalah. Sayang, foto-foto itu hilang."

"Sejujurnya, aku senang foto itu hilang. Karena kita tidak punya tanggung jawab ...."

"Tapi, orang-orang yang mengancam saya di hotel itu pun menanyakan foto itu. Mereka sangat berkepentingan dengan foto itu."

"Ya, di sisi lain ... jika foto itu jatuh di tangan yang salah, bisa berbahaya."

Tuan Frans ditawari sebatang sigaret yang tersimpan rapi dalam kotak kaleng. Dengan pemantik yang sama, Sang Direktur menyalakan kedua sigaret yang terbenam di mulut. Alhasil, ruangan itu pun penuh dengan asap.

Bagi orang yang tidak nyaman dengan ruangan sempit, kantor Koran Batavia bisa mempengaruhi mental. Bagaimana tidak, gedung itu lebih layak disebut gudang dibandingkan sebuah kantor surat kabar ternama.

Ada banyak tumpukan kertas di atas meja. Meja-meja ditata seadanya. Bahkan, jarak antar meja pun begitu sempit sehingga menyulitkan orang lalu-lalang. Namun, mereka yang ada di sana nyaman saja dengan kondisi demikian. Terlebih, mereka jarang bergerak ke sana ke mari ketika bekerja. Fokus pada pekerjaannya.

Kring kring!

Telepon di ruang resepsionis berdering. Seorang staf mengangkatnya. Semua orang dalam di kantor itu terdiam karena khawatir mengganggu obrolan.

"Terima kasih atas kabarnya, Tuan. Nanti akan kami urus." Staf itu menoleh pada Tuan Frans, "ah, kau belum melunasi sewa kamar hotel?"

"Ya, tadi aku ketakutan. Lupa melunasi sisanya," Tuan Frans menjawab sambil tersenyum.

"Biarkan aku saja yang mengurusnya," sang Direktur menyela. "Sekalian membungkamnya agar tidak terlalu banyak bicara."

Untuk sejenak, ruangan itu hening. Para staf sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

Orang-orang yang bekerja di tempat itu sepertinya bukanlah tipe manusia yang banyak bicara. Ketika warga lain sedang berpesta saat malam, pegawai di Koran Batavia malah asyik bekerja.
Mereka harus mempersiapkan artikel untuk dicetak nanti pagi.

"Frans, malam ini kau menginap di sini?"

"Sepertinya begitu, Tuan. Aku bisa tidur di kamar belakang. Meskipun aku tahu akan ada yang mengganggu."

"Setidaknya orang yang mengganggumu adalah teman sendiri, bukan perampok," Tuan Direktur beranjak sambil tersenyum. "Aku pulang, semoga kau bisa tidur nyenyak malam ini."

Tuan Frans hanya tersenyum menanggapi atasannya bicara. Pria gemuk itu pun berjalan ke arah kapstok kemudian meraih jas dan topi. Dia menyapa bawahannya yang masih setia dengan pekerjaannya.

Sigaret di tangan Tuan Frans pun habis. Puntung dimatikan dan dibiarkan menumpuk dalam asbak. Kemudian tangan laki-laki itu meraih gelas yang sudah kosong untuk diisi kembali.

Di lantai atas, Tuan Frans bisa merebahkan tubuh. Berhimpitan dengan tumpukan buku, dia menjatuhkan tubuh di ranjang tingkat seperti di asrama militer. Kamar itu sengaja dibuat untuk staf yang tidak sempat pulang jika malam sudah terlalu larut. Biasanya, para bujangan lebih sering mengisi kamar itu. Tapi, sesekali orang yang sudah menikah pun bermalam di sana karena enggan pulang ke rumah.

Laki-laki itu memejamkan mata. Tanpa didahului dengan do'a atau semacamnya. Dia hanya berharap bisa tidur dengan lelap.

Namun, harapan itu tampaknya tidak akan terlaksana. Rasa lelah yang dirasakan belum bisa terbayarkan.

Terdengar keributan dari luar kamar. Tentu saja kegusaran dirasakan Tuan Frans.

"Ha, ada apa lagi ini?"

Tuan Frans beranjak sambil membentak seorang bujang yang sedang berdiri di dekat jendela.

"Aku sedang tidur! Tidak usah membuat keributan di sini!"

"Maaf, Tuan. Ada maling."

Bujang itu mendongakkan wajahnya ke luar jendela. Dia berusaha untuk berteriak. Mulutnya hampir saja terbuka lebar. Tapi, itu urung dilakukan karena Tuan Frans melarangnya.

"Tidak usah berteriak. Biarkan saja."

"Tapi, Tuan."

"Dia hanya mengembalikan ini," Tuan Frans menunjuk sesuatu yang tergeletak di meja.

Staf lain yang sedang bekerja di lantai bawah pun terpancing untuk naik ke lantai atas. Mereka berkumpul mengerumuni Tuan Frans karena mendengar keributan.

"Ada orang masuk melalui jendela, ternyata ... dia hanya mengembalikan ini," Tuan Frans menjelaskan alasan keributan pada rekannya.

"Kamera dan foto yang sempat hilang karena dicuri?" seorang wartawan dengan penampilan mirip Tuan Frans bertanya untuk memastikan.

"Ya."

"Semuanya masih utuh?"

"Masih, tidak ada ... yang tercecer." Tangan Tuan Frans membuka tas kulit berwarna cokelat kemudian memeriksa isinya.

Semua yang menyaksikan ini saling lirik. Mereka merasa heran dengan peristiwa di hadapan mereka.

"Hei, kau melihat ciri-ciri orang yang tadi masuk?"

"Ya, Tuan," si bujang menganggukkan kepala.

"Bagaimana?"

Panca dan Tragedi Pulau HajiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang