19

54 10 0
                                        

Panca langsung berlari kencang ketika kakinya baru saja menginjak dermaga. Dibawa oleh keinginan untuk segera menemukan ayahnya, anak remaja itu sejenak lupa jika dia bersama Asih dan Tuan Frans.

"Hei, tunggu aku!" Asih berteriak dari belakang.

Panca enggan untuk menjawab. Dia terus berlari hingga berhenti di tanah lapang. Tepat di depan sebuah bangunan.

"Coba perhatikan foto ini," Tuan Frans menyodorkan selembar foto.

Panca menoleh.

"Di sini, tampak sekali kekacauan. Banyak jejak kaki manusia. Aku yakin, kekacauan itu bermula di sini."

Panca membayangkan bagaimana manusia berkelahi saling membunuh. Tanah lapang bisa menjadi tempat yang cocok untuk berduel.

"Bukan, Tuan. Telapak kaki yang ada di foto bukan bekas orang berkelahi." Asih datang dengan sebuah sanggahan.

"Bagaimana kau yakin?"

"Perhatikan, jejak kaki itu seperti orang yang berputar-putar atau berjalan mondar-mandir."

Tuan Frans mengangguk setuju. Mereka pun berjalan pelan menyusuri tanah lapang yang berfungsi sebagai pekarangan.

"Eis, apa ini?"

Kaki telanjang Panca menginjak sesuatu. Kemudian memeriksa telapak kaki.

"Ah, ini hanya tulang ikan."

Asih melihatnya sebagai sesuatu yang berbeda, "tunggu. Ini bekas perapian." Tangan gadis itu menyapu tanah.

"Ya, ada arang kayu."

"Tapi, aku tidak menemukan ini waktu itu."

"Karena sudah tertutup tanah."

"Perapian?"

Tuan Frans segera mencatat apa yang dia temukan. Sesuatu yang janggal baginya.

"Mungkin polisi ...."

"Tidak mungkin, sepertinya polisi tidak akan gegabah membuat api unggun di tempat kejadian perkara."

Asih terlihat berpikir sambil jongkok.

"Hei, kau ahli dalam hal ini," Panca menyindir.

"Diam! Aku sedang berpikir."

Panca mengangkat alis matanya.

"Raden Bakti, kenapa bisa hilang?"

"Itu juga yang masih menjadi pertanyaanku."

"Dia dibawa sekelompok orang yang terlebih dahulu datang ke tempat ini. Di malam kejadian."

"Semalam sebelum aku tiba di tempat ini."

"Tapi, siapa?"

Asih menggelengkan kepala.

"Sembari mencari tahu, bagaimana kalau kita berkeliling pulau kecil ini?"

Asih dan Panca setuju dengan ajakan Tuan Frans. Mereka berjalan mengitari pulau. Mereka tidak masuk ke dalam bangunan berlantai dua yang ada di sana. Tetapi, mengawali pencarian petunjuk dari bibir pantai.

Pucuk daun nyiur melambai. Angin membantunya untuk mengubah suasana penuh misteri Pulau Haji menjadi sebuah tempat yang nyaman untuk beristirahat. Pantas saja jika para calon jemaah haji diajak untuk menyesuaikan diri di pulau ini. Karena, di lautan suasana akan menjadi sangat sepi, tanpa hiruk pikuk kota layaknya Batavia.

"Andaikan, kita menjadi sekelompok orang yang datang ke tempat ini, apa yang akan kita lakukan?" Tuan Frans kembali memulai percakapan.

"Mencari harta berharga, tentu saja," Asih menjawab tanpa memperkirakan reaksi temannya.

"Ah, dasar ... hanya itu yang kau pikirkan. Tidakkah kau berpikir hal lain dalam hidupmu?" Panca lagi-lagi menyindir gadis itu.

"Raden ... Panca, aku hanya berandai-andai."

"Aku tahu. Tapi, bisakah kau berpikir lebih manusiawi?"

"Jika aku berpikir manusiawi, tidak akan mungkin terjadi pembantaian!"

Panca tidak bisa mendebat lagi.

"Benar, pasti orang yang datang ke sini ... diawali niat buruk."

"Jika berniat menjarah harta, apa yang mungkin dicuri?"

"Uang, milik para jemaah haji."

"Tapi, haruskah mengambil harta sembari membunuhnya?" Panca bicara sambil menatap Asih.

"Kenapa kau menatapku begitu?"

"Aku hanya bertanya. Kenapa kau marah."

"Ya, jika sekedar mengambil harta ... rasanya ganjil jika harus membantai semua orang yang ada di sini." Asih bicara pelan.

"Semua barang berharga yang ada di tempat ini, sirna. Jika di hitung-hitung, jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah nyawa yang harus melayang." Tuan Frans memberikan kabar yang diterimanya, "setidaknya, begitulah yang dikatakan polisi."

Panca pun mengajak yang lainnya untuk terus berjalan. Hingga, mereka mendekat ke sebuah benteng. Bukan benteng besar yang mengitari semua pulau. Hanya benteng kecil saja. Berfungsi untuk mengawasi kapal yang mungkin datang dari arah utara. Arah yang berlawanan dengan kedatangan ketiga orang itu.

Benteng berwarna merah. Dibuat dari bata merah yang sengaja dibawa dari pulau utama. Disusun sedemikian rupa sehingga membentuk bangunan bergaya Mediterania. Lubang-lubang dengan bagian atas melengkung dibuat untuk mengamati musuh atau memasang meriam jika dibutuhkan.

"Lihat, ada sepasang burung camar!" Asih takjub dengan burung air itu.

"Karena sudah beberapa hari kosong, burung itu menyangka tidak akan ada manusia yang menghuni pulau ini," Tuan Frans menyimpulkan.

"Nampaknya, mereka akan bersarang di benteng itu."

Ketika mendengar Asih bicara, Panca membalikan badan.

"Ada apa?" Asih heran dengan sikap Panca.

"Mungkinkah, ada sekelompok orang datang ... karena mengira pulau ini sudah tidak berpenghuni?"

Panca menatap Asih kemudian Tuan Frans. Laki-laki itu mulai mengeluarkan kotak sigaret dari tas selempang yang dibawanya. Dia menyalakan sebatang rokok di tangan kanannya. Angin laut menyusahkan api untuk sekedar menyala.

"Baik, aku mengerti." Akhirnya sigaret di tangan Tuan Frans menyala. "Mari kita lupakan ... jika Raden Bakti adalah pelaku dari kekacauan ini. Dan, sepertinya dia ... diculik oleh sekelompok orang."

Panca dan Tragedi Pulau HajiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang