21

59 10 0
                                        

"Tadi siang, ada orang yang mencarimu," A Ling memberitahu Panca sambil menyodorkan segelas teh hangat.

"Siapa?"

"Mereka tidak memberitahukan nama. Aku juga tidak mengenal mereka."

A Ling menatap Panca dengan raut wajah sedih. Dia tahu jika orang di hadapannya sedang dirundung masalah. Gadis berdarah Cina itu pun hanya duduk di bangku tepat di seberang meja. A Ling  tidak mau bertanya banyak hal apa yang tengah terjadi.

Panca pun malah menunduk. Air mata anak remaja itu keluar begitu saja dari pelupuk mata.

Baru kali ini aku melihat anak ini menangis.

A Ling bingung harus bagaimana. Dia menoleh ke meja di sebelahnya, tidak ada tamu. Ketika matanya tertuju pada pintu yang terbuka, jalan tidak terlihat karena malam sudah menyajikan kegelapan.

"Tutup saja pintunya, A Ling," seorang lelaki tua memberi perintah dengan setengah berteriak.

"Ya, Ayah."

A Ling berjalan ke arah pintu. Dua daun pintu lebar itu ditutup setelah dia menengok kiri-kanan jalan yang sepi. Dengan sebatang kayu, pintu itu terkunci kuat dan sulit didobrak.

"Raden, malam ini kau tidur di sini saja. Di atas masih ada kamar kosong," wanita tua menghampiri Panca sambil menyodorkan sepiring nasi dan ayam goreng.

"Saya tidak lapar, Nek."

"Hei, kau harus makan. Kalau tidak makan ...," Si Nenek tidak meneruskan kalimatnya ketika melihat A Ling mendekatkan telunjuk ke bibir.

Kakek dan Nenek yang disebut Panca adalah orang tua angkat A Ling. Mereka berdua sebagai pemilik rumah makan dan penginapan langganan Panca. Bukan hal baru ketika anak remaja itu datang untuk membeli makan sekaligus membicarakan kegundahan hati.

Sebagaimana malam itu, Panca mendatangi A Ling. Dia duduk di bangku panjang berbahan kayu, bukan untuk memesan makanan. Sekedar menumpahkan isi pikiran dimana tidak ada lagi orang yang mau mendengar keluh kesahnya. Di kota sebesar Batavia, Panca tidak memiliki banyak teman sebaya kecuali A Ling.

"Asih, ke mana?"

"Entahlah. Tadi aku mengajaknya ke mari. Tapi, dia memilih pergi."

"Mungkin gadis itu tidak mau bertemu dengan para tamu."

"Ya, wajahnya sudah dikenali orang. Dasar gadis ... pencuri."

"Hei, bagaimanapun ... dia orang yang telah banyak membantumu. Dibandingkan aku ... tidak bisa berbuat apa-apa."

Suasana hening sejenak. Dinding bangunan bergaya Cina itu menjadi saksi percakapan mereka berdua. Lampion yang tergantung sungguh menenangkan perasaan. Suasana itu yang membuat Panca ketagihan untuk berlama-lama di sana.

"Makanlah, aku ke belakang. Ada beberapa pekerjaan yang harus kuselesaikan."

Panca terdiam. Wajahnya menunduk.

"Raden, aku turut perihatin atas apa yang terjadi pada ayahmu," A Ling bicara sambil beranjak kemudian berlalu.

Sepiring nasi dan ayam goreng itu, sebenarnya sungguh menggoda. Tapi, kesedihan telah mengalahkan rasa lapar yang dirasakan.

A Ling menuju dapur dimana kedua orang tua pemilik rumah makan itu sedang beristirahat. Sebelum tidur, A Ling bertugas  mencuci perabotan. Tapi, kali ini didapatinya semua perabotan telah bersih. Kedua orang tua itu sudah mencucinya tanpa sepengetahuan A Ling.

"Kau temani saja dulu Raden Panca," ayahnya memberi saran. Laki-laki tua itu berbicara dengan logat Hokian yang kental.

"Tapi, sepertinya dia sedang ingin sendiri." A Ling pun duduk di bangku sebagaimana ibu dan bapaknya.

"Anak itu begitu sedih ketika tahu ayahnya menjadi korban peristiwa di Pulau Haji," wanita tua yang sedang memasak air di tungku ikut memberi kesimpulan.

Malam itu, suasana di dapur lebih hening dari biasanya. Mereka bertiga tidak berani bercanda selayaknya malam-malam sebelumnya. Asap dari perapian pun turut serta membawa kesedihan itu hingga ke luar dari jendela.

"Semoga saja, masih ada harapan bagi ayahnya Raden Panca," si laki-laki tua bicara sambil mengisap tembakau dari cangklong panjang yang biasa digunakan orang-orang Cina kala itu.

"Aku pun berharap begitu, Ayah."

Perhatian mereka berdua kini beralih ke jendela yang masih terbuka. Kegelapan malam di Batavia dihiasi oleh bulan sabit yang tampak malu-malu memamerkan cahayanya. Suatu malam yang romantis bagi pasangan yang sedang dilanda asmara. Tapi, itu bukan malam indah bagi Panca.

Ingat akan hal itu, A Ling kembali beranjak dan berjalan di lorong yang menghubungkan ruang makan dengan dapur. Baju cheongsam  yang dikenakan gadis itu samar-samar terlihat karena sedikitnya pencahayaan di sana.

Ternyata, Panca sudah bersedia mencicipi makanan yang dihidangkan. Dia lahap menyantap nasi dan ayam goreng yang dimasak oleh si pemilik rumah makan.

Gadis itu tidak mendekat. Dia berdiri di ujung lorong dekat dengan meja kasir. A Ling senang ketika Panca tampak lahap. Ternyata orang sedih pun tidak sanggup menahan lapar.

A Ling pun memilih untuk berbalik badan. Membiarkan Panca menikmati hidangannya.

Namun, terdengar suara orang mengetuk pintu. Tok tok tok.

"Biar aku saja yang membuka pintu." A Ling berjalan ke arah pintu.

Pintu pun terbuka.

"Ada yang bisa kami bantu, Tuan?"

Sekelompok laki-laki dengan wajah datar menatap A Ling.

"Oh, ternyata anak itu di sini," salah seorang diantara mereka malah menatap ke arah Panca.

"Tuan, maaf. Kami sudah tutup ...."

"Minggir!"

Orang-orang itu masuk ke dalam ruang makan. Kemudian menghampiri Panca.

"Hei, kuberi peringatan ... untuk tidak mencampuri urusan kami!"

Panca hanya menatap ke arah sekomplotan laki-laki yang menghampirinya.

"Ha! Kau menantang kami!"

Seseorang diantara mereka menghunus sebilah golok. Tentu saja A Ling pun kaget. Menyaksikan Panca ketakutan, gadis itu menghampiri.

"Tuan, kita bisa membicarakan ini."

"Diam!"

Panca kembali menatap.

"Katakan pada temanmu, kami tidak main-main. Jangan campuri urusan kami!"

"Tuan-tuan, siapa sebenarnya kalian?"

"Hei, kau tidak perlu tahu siapa kami!" Pimpinan komplotan itu malah membentak.

Tangan orang itu malah menyingkirkan hidangan di meja. Tentu saja berantakan di lantai.

"Hei, itu makananku!" Panca tersulut amarah.

Ternyata anak itu marah jika makanannya diganggu.

Perkelahian pun tidak terhindarkan.

Panca dan Tragedi Pulau HajiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang