Asih marah besar ketika wajahnya ditendang. Bukan hanya sakit di pipi yang membuatnya marah, tapi sakit di hati juga karena berhasil terkelabui.
"Kalian sudah mengambil keputusan yang salah!"
Asih berhenti berlari kemudian membalikkan badan. Bukan bermaksud menyerang mereka dengan sebilah pisau yang dipegang. Tapi, dia memilih untuk mengganti senjata dengan sebuah sumpit.
Cuuhh!
Sebuah jarum meluncur dari ujung sumpit. Tepat mengenai leher orang yang sedang memegang kelewang. Dia tersungkur.
"Ahh!"
Bukan satu orang, dua bahkan tiga orang jatuh tersungkur ketika mereka sedang bersemangat untuk menyerang Panca dan Asih. Ketika menyaksikan kawannya jatuh tersungkur, maka anggota kawanan lainnya berhenti berlari dan berpikir sejenak. Terus menyerang atau mundur.
"Mana Mashudi?"
"Dia tidak ikut mengejar?"
"Sialan! Percuma kita membantu dia!"
Asih jadi geli sendiri ketika mendapati kenyataan Mashudi malah orang yang pertama kali mundur dari perkelahian. Orang itu tidak terlihat. Mungkin dia bersembunyi di balik pohon kelapa yang tumbuh cukup banyak di sekitar kampung. Dia menyaksikan kawan-kawan satu kampung mengejar dua orang remaja yang ternyata cukup punya nyali. Sedangkan dia sendiri asyik bersembunyi.
Tanpa ada yang memberi perintah, orang-orang itu pun mundur. Mereka berlari kecil ke arah perkampungan. Kecuali tiga orang yang sudah tertusuk jarum, mereka tidak sanggup untuk sekedar berdiri.
"Hei, katakan, di mana Win Feng bersembunyi?"
"Saya tidak tahu, Nyimas. Benar. Saya tidak bohong."
"Kau tahu?" Asih bertanya pada dua orang lainnya.
"Tidak, dia memang suka mengganggu kami ketika sedang melaut. Tapi, kami tidak tahu di mana dia bersembunyi."
"Kapan terakhir kali kau melihatnya?"
"Sudah lama. Mungkin seminggu yang lalu. Dia berlayar ke arah timur."
"Ke timur?"
"Lautan luas, Nyimas. Mungkin dia berlayar ke sana ke mari. Mengikuti buruannya."
Asih menoleh pada Panca. Panca pun mengangkat bahu.
"Sudahlah, kita pergi," Asih mengajak Panca untuk pergi.
Mereka berdua meninggalkan tiga orang yang sedang terbujur. Mereka mulai merasakan efek racun yang ditimbulkan.
"Apakah mereka akan mati?"
Asih hanya menggelengkan kepala. "Hanya lemas saja. Nanti juga mereka bisa berdiri lagi."
***
Panca percaya saja pada yang dikatakan Asih. Dia mengikuti ke mana gadis itu berjalan. Menyusuri perkampungan hingga mereka menjauh dari rumah terakhir. Tidak ada lagi rumah selain kebun bambu yang tumbuh subur di sana.
Daun bambu yang menjulur keluar rumpun tampak bergoyang-goyang diterpa angin. Panca tidak menghiraukan lambaian dedaunan. Apalagi Asih, hal yang dipikirkan mereka hanyalah bagaimana caranya menemukan Win Feng.
Namun, Asih perhatian pada kawannya, "kau lapar?" bertanya karena merasakan hal yang sama.
"Lumayan," Panca menjawab sekenanya.
"Kita istirahat dahulu."
"Ah, aku tidak mau beristirahat sebelum menemukan ayahku."
"Tapi, kita mengalami kebuntuan. Apakah kau tahu harus mencarinya ke mana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Tragedi Pulau Haji
Mystery / ThrillerSemua mata tertuju pada suasana pulau yang berbeda sebagaimana hari-hari sebelumnya. Tidak ada lagi keramaian. Tidak ada kapal bahkan sebuah sampan pun tidak ada yang bersandar di dermaga. Malam sudah menjelang, tetapi tidak ada satu pun lampu menya...