34

42 10 0
                                    

Panca bukan orang yang terlatih menahan nafas di dalam air. Matanya terpaksa dipejamkan karena air kubangan itu begitu hitam. Hanya seekor badak yang cocok berkubang di sana. Sedangkan untuk seorang manusia, hanya mengundang penyakit saja.

Hei, mau sampai kapan kita begini? Kalimat yang tidak terucap tapi dimengerti oleh Asih karena tangannya mulai digoyang-goyang oleh Panca.

Kepala Panca mulai diangkat ke permukaan. Tapi, tangan Asih cepat menahannya. Ah, bagaimana bisa kau tahu jika aku mau naik permukaan.

Dalam kegelapan penglihatan, Panca bisa meraba pelan tubuh Asih. Gadis itu merasa jika temannya salah meraba. Tangannya langsung mencengkram tangan Panca. Hei, apa yang akan kau lakukan?

Untungnya, Asih mengerti maksud Panca. Gadis itu memasukan sebuah sumpit ke dalam mulut. Seharusnya benda itu dijadikan senjata tetapi kali ini menjadi cara untuk menghirup udara segar dari permukaan. Terima kasih, sudah mengerti apa yang aku butuhkan.

Dalam beberapa menit, mereka berdua aman. Bisa bergantian menghirup udara dari permukaan.

Tapi, itu tidak berlangsung lama. 

Sialan, benda ini ada yang memegang! Panca mulai panik.

Panca terpaksa harus menyembul dari dalam kubangan. Dia membuka mata. Tidak jelas apa yang ada di hadapannya. Lumpur menutupi kelopak mata.

"Kalian tidak bisa pergi ke mana-mana," terdengar suara orang bicara.

Panca merasa mengenal suara orang itu. Dia belum bisa melihat secara jelas siapa yang sedang berbicara. Untuk menyingkirkan benda yang menghalangi pandangan, tangan kiri Panca menyeka matanya.

"Kau, ternyata kau yang mengejar kami."

Panca tidak bisa berbuat banyak. Dia harus menahan perasaan kesal yang timbul di hatinya. Kesal karena gagal bersembunyi sekaligus kesal karena merasa dibohongi.

"Mashudi ... sialan ...," Asih bicara pelan. Sorot matanya menyiratkan permusuhan.

Mendengar gadis itu mengumpat, Mashudi tertawa lepas. Diikuti oleh orang-orang yang menyertainya.

"Ternyata kau kabur bukan untuk menghindari kami tapi mencari bala bantuan."

"Ya, begitulah. Baguslah kalau kau mengerti, bocah tengik!"

Mashudi kembali tertawa. Giginya yang kuning terlihat diantara warna kulit wajah yang gelap. Kemungkinan terik matahari yang membakar telah mengakibatkan kulitnya berwarna kecokelatan.

Panca pun mengarahkan pandangan ke sekelilingnya. Ada lima orang laki-laki berambut gondrong yang sedang berdiri. Diantara mereka ada yang memegang busur panah. Anak panah yang tadi hampir melukai Panca dan Asih kemungkinan berasal dari mereka. Timbul pertanyaan dalam benak anak remaja itu, siapa sebenarnya mereka? Apa yang diinginkan mereka sehingga nyaris membunuh dirinya?

"Hei, sekarang harus ikut dengan kami!"

"Ke mana?"

"Ah, ikuti saja kami. Tidak usah banyak bertanya."

"Kalau kami tidak mau ikut?"

Mendengar pertanyaan itu mereka tertawa. Begitu terasa kesan jika tertawa itu bukan dikarenakan sebuah kelucuan. Terdengar sebagai sebuah ledekan.

"Kalian, pasti mati. Karena telah berani masuk ke wilayah kami."

"Wilayah kalian? Memangnya kalian siapa?"

Sekali lagi, mereka tertawa meledek.

Panca semakin bingung dengan kelakuan mereka. Tapi, tidak demikian dengan Asih. Gadis itu masih terdiam. Dia tidak mencerca Mashudi dan kawannya itu dengan banyak pertanyaan. Gadis itu sedang menimbang-nimbang keadaan.

"Apakah kalian anak buah Tuan Win Feng?"

Mashudi melirik temannya, "kau tidak usah tahu siapa kami."

"Katakan, dimana ayahku! Dimana Tuan Win Feng menyembunyikan ayahku?"

"Diam, kau jangan banyak meracau. Sekarang, ikuti kami ke mana pun kami pergi."

"Kau akan membawa kami pergi ke mana?"

Dua orang pemanah sudah siap dengan busur dan anak panahnya. Busur itu direntangkan dengan tangan kanan sedangkan anak panahnya tertuju pada Panca dan Asih. Mereka berdua tidak berkutik.

Tidak terpikirkan oleh Panca untuk melawan. Dia tahu jika melawan maka anak panah itu bisa saja membunuhnya. Panca tidak ingin mati sia-sia. Dia harus menemukan ayahnya dahulu dan memastikan jika dia masih hidup.

"Ayo, ikuti kami!"

Panca dan Asih keluar dari kubangan. Tubuh mereka basah dan kotor ketika kelima orang itu menggiringnya ke arah yang berlawanan dengan keberangkatan. Jika saja ada kesempatan untuk melarikan diri, mungkin Panca dan Asih lebih baik kabur dari sergapan. Tapi, hal demikian sulit dilakukan apalagi hutan itu masih asing bagi mereka berdua.

Untuk beberapa saat, menentukan arah pun sulit. Cahaya matahari yang menjadi patokan nyaris terhalang sepenuhnya oleh pepohonan yang rimbun. Mereka tidak tahu apakah dibawa mendekat dengan laut atau malah dibawa semakin menjauh dari bibir pantai.

Panca dan Asih digiring layaknya maling yang dipergoki sedang mengambil barang milik warga kampung. Berjalan menyusuri hutan yang dipenuhi oleh daun-daun yang berjatuhan. Ada saatnya mereka sampai di wilayah dengan tumbuhan paku yang tumbuh subur. Ketika kemarau tiba dan air rawa surut, tumbuhan itu tumbuh dengan daunnya yang lebar. Tempat demikian biasanya dihuni oleh binatang-binatang liar pemakan dedaunan.

Salah satu hewan liar yang biasa hadir di sana adalah seekor badak.

"Asih, perhatikan itu," Panca berbisik pada Asih yang berjalan di sisinya.

"Di mana?"

"Di depan, sebelah kiri."

Asih menjadi tegang. Ketegangan yang semula tidak tampak di wajahnya.

Kelima orang yang menggiring kedua anak remaja itu mengalihkan perhatian. Mereka tertuju pada sesuatu yang berisik di tengah hutan yang sunyi.

Ada hewan liar yang mendekat. Asih menoleh pada Panca. Gadis itu memegang tangan Panca. Sebuah tanda jika mereka harus tetap bersama, ikuti aba-abaku.

"Ada badak mengamuk!" Asih berteriak, "lari!"

Panca dan Tragedi Pulau HajiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang