8

59 13 0
                                        

Kantor redaksi Koran Batavia berupa bangunan dua lantai. Ada lorong di sebelah kanan dan kiri yang difungsikan untuk keluar masuk kendaraan. Di belakang gedung, ada lahan parkir untuk kereta kuda dan sepeda milik karyawan. Itu bukan koran milik Pemerintah, tetapi dimiliki oleh seorang pengusaha asal Eropa yang perihatin terhadap pemberitaan yang tidak berimbang.

Begitupula mengenai Tragedi di Pulau Haji, Koran Batavia menurunkan berita yang terkesan mempertanyakan peran pemerintah. Artikel mengenai peristiwa itu telah mengundang reaksi beragam dari masyarakat.

Kami berpikir jika Pemerintah Hindia Belanda bertanggungjawab pada peristiwa ini.

Begitulah pendapat seorang penulis yang terbaca oleh Panca. Nama penulis itu adalah Frans Joshua. Berdasarkan artikel itu, dia pula yang pertama kali menemukan mayat bergelimpangan di Pulau Haji.

"Tadinya, saya bermaksud menemui Tuan Frans Joshua. Ternyata, beliau tidak ada di sini," Panca berterus terang.

"Ya, kedua orang penunggang kuda itu pun mencari Tuan Frans."

"Siapa mereka, Nyonya?"

Wanita pegawai resepsionis itu menggelengkan kepala. Kemudian Panca menoleh pada si Opsir Polisi, wajahnya terlihat kebingungan. Laki-laki itu pun mendekati Panca.

"Hei, Nak. Bolehkah aku bertanya?"

"Tentang apa?"

"Apakah kau sudah menanyakan hal ini di Kantor Polisi?"

"Tentu, Tuan. Baru saja saya ditanyai oleh polisi mengenai hal itu."

Pria berseragam itu menganggukan kepala. "Sekarang, kau harus keluar dari tempat ini. Biar urusan ini menjadi urusan polisi."

Panca tidak bisa menyanggah perintah si polisi. Dia mengerti jika pengrusakan pada properti milik perusahaan sudah dianggap sebagai pidana. Anak remaja itu hanya bisa menyimpulkan jika pelaku Tragedi  Pulau Haji tidak menginginkan diketahui orang banyak.

"Tuan dan Nyonya, terimakasih atas perhatiannya. O ya, saya hanya ingin mengatakan jika ... mereka marah karena Koran Batavia memberitakan peristiwa ini."

"Ya, kami juga berpikir begitu," jawab si wanita resepsionis.

Panca berbalik badan setelah berpamitan pada orang-orang di kantor Koran Batavia. Dia berjalan menyusuri trotoar sambil berpikir bagaimana caranya dia bisa menemui seseorang bernama Frans Joshua.

Anak remaja itu baru berjalan  puluhan langkah jauhnya dari kantor surat kabar ibu kota tersebut. Dengan kepala menunduk, dia terus berharap bisa menemukan jalan keluar mengenai kemelut yang dihadapinya.

Kring kring!

Panca dikagetkan dengan suara lonceng sepeda dari jarak dekat. Ternyata, sebuah sepeda hampir saja menabraknya. Seorang pria berjas abu-abu mengayuh kendaraan itu. Topi bundar yang dikenakannya hampir terbang karena tiupan angin kencang.

Ternyata dia berhenti di depan kantor Koran Batavia.

Panca berlari mendekati kantor itu. Dia kembali datang ke sana untuk menemui si pengayuh sepeda.

Aduh, dia sudah masuk ke dalam bangunan.

Panca hanya menunggu di dekat jendela. Menguping pembicaraan orang-orang di dalam sana.

"Hei, tadi ada orang yang mencarimu."

"Apakah mereka membicarakan tentang Tragedi Pulau Haji?"

"Ya, dia menanyakan dirimu. Kemudian mengancam kami."

Hanya percakapan itu yang terdengar oleh Panca. Selebihnya hanya suara orang bergumam. Telinga anak itu tidak sanggup mendengar apa yang sedang dibicarakan orang-orang di dalam kantor.

Panca menunggu. Berdiri di depan tiang lampu yang terpasang di trotoar.

Hingga, sekitar tiga puluh menit kemudian Panca melihat pria berjas abu-abu itu keluar melalui pintu belakang.

"Tuan, Tuan! Tunggu!"

Orang yang diteriaki tidak menoleh. Tentu saja Panca tidak menyerah. Anak itu berlari mengikuti sepeda yang mulai menjauh.

"Tuan, Tuan Frans, tunggu!"

Panca berteriak lebih kencang. Si pengayuh sepeda berhenti mengayuh. Dia menoleh ke belakang.

"Tuan, tolong. Tunggu sebentar. Saya ingin bicara sebentar."

"Ah, kau menggangguku saja. Aku sedang terburu-buru," orang itu terlihat jengkel.

"Tuan, ini masalah Tragedi Pulau Haji."

Pria itu menghela nafas, "ah, seharusnya aku tidak menulis namaku di koran. Aku menyesal."

"Tuan, saya hanya memohon ...."

"Aku tidak mau bicara dengan siapa pun."

"Saya hanya ingin mengetahui nasib ayah saya."

"Aku tidak tahu. Silakan tanya polisi."

"Polisi pun tidak tahu. Ayah saya ...."

Panca belum menyelesaikan kalimatnya. Orang yang diajak bicara bersiap untuk pergi.

"Tuan, polisi mengatakan jika ayah saya menghilang setelah kejadian itu."

"Lantas, kenapa kau mendatangiku? Bukannya mencari ... Tunggu, bagaimana aku yakin jika kau anak ... siapa nama ayahmu?"

"Bakti. Raden Bakti adalah ayah saya. Apakah benar ayah saya tidak ada di pulau itu?"

"Entahlah, aku tidak tahu siapa saja orang-orang itu. Aku tidak mengenal ayahmu."

"Tapi, Tuan. Apakah Tuan melihat orang dengan wajah mirip saya?"

"Entahlah. Aku tidak ingat. Lagipula ... keadaan mereka ... maaf ... begitu menyedihkan."

"Tuan, tolong. Hanya Tuan harapan saya. Jangan sampai ayah saya menjadi tersangka kasus ini."

"Tersangka?"

"Polisi mengatakan jika ayah saya satu-satunya orang yang tidak ada di tempat kejadian."

"Itu menjadi alasan kenapa dia dijadikan tersangka."

"Ya, Tuan. Saya hanya ingin tidak mau ayah saya dipersalahkan ...."

"Aku mengerti arah pembicaraanmu. Tapi, bagaimana jika benar ... ayahmu adalah pelakunya?"

Panca dan Tragedi Pulau HajiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang