"Katanya, malam itu dia melihat orang disekap," Asih menuturkan.
"Bagaimana kau mengerti bahasa orang gila yang sedang meracau?" Panca terheran-heran.
"Dia hanya menyebut orang-orang yang dilihatnya, bukan menceritakannya dengan gamblang."
"Ah, mungkin kau mengarang."
"Hei, kau sendiri tahu kan jika ibuku pun sakit jiwa!"
Panca terdiam. Dia merasa tertampar dengan kalimat Asih.
"Jadi, aku tahu bagaimana bicara dengan orang gila." Asih memasang wajah cemberut. "Puas?"
Panca sudah tidak bisa mendebat lagi. Anak remaja itu tahu jika ibunya Asih mengalami goncangan jiwa yang hebat setelah tragedi yang merenggut nyawa beberapa anggota keluarganya. Sebuah kejadian yang sulit dilupakan begitu saja oleh Asih.
Untung saja gadis itu masih diberkati kekuatan mental untuk menghadapi keadaan yang menyedihkan. Tapi, tidak demikian dengan ibunya. Asih menghadapi keadaan yang memaksa dia untuk lebih kuat menghadapi kenyataan. Kuat secara mental dan fisiknya.
"Maaf, jika aku menyinggung perihal ibumu."
"Tidak perlu meminta maaf. Mungkin kau sudah terlalu panik ketika tahu ayahmu menghilang. Kau hanya membutuhkan pemikiran yang lebih jernih."
"Ya, kurasa begitu."
Asih terus berjalan menyusuri jalan setapak yang menghubungkan muara sungai dengan sebuah kawasan penduduk pribumi. Perkampungan itu cukup jauh dari bibir pantai. Membutuhkan waktu agak lama agar mereka berdua sampai di tempat yang dituju.
"Kapan terakhir kau pulang menemui ibumu?"
"Seminggu yang lalu."
"Bagaimana kabarnya?"
"Ya, seperti biasa. Dia masih sulit diajak bicara. Selalu menyebut nama kakakku yang sudah tiada."
"Aku turut perihatin."
Asih dan Panca tiba di sebuah perkampungan. Jika dilihat dari jauh, dapat dipastikan itu adalah perkampungan nelayan. Ada jala yang tergantung di depan rumah mereka. Mungkin jala itu sedang diperbaiki. Tapi, si pemiliknya sedang beristirahat di dalam rumah.
"Kampung ini agak sepi, ya?"
"Karena penduduknya baru saja pulang melaut. Mungkin mereka tidur di dalam rumah."
"Ramainya kapan?"
"Sore hingga malam justru ramai."
Panca mengangguk-anggukan kepala sebagai pertanda dia mengerti kenapa kampung nelayan di sana agak sepi. Mata anak remaja itu tertuju pada sebatang pohon sukun yang besar dan tinggi. Daunnya yang lebar nampak berjatuhan diterpa angin laut.
Di bawah pohon sukun itu ada sebuah rumah dengan atap daun kelapa. Dindingnya berupa anyaman bambu. Rumah itu tampak rapuh. Pekarangannya pun seperti tidak terurus. Sampah dedaunan berserakan bahkan hingga ke beranda.
"Benarkah ini rumahnya?"
"Ya, setahuku ini rumahnya."
"Memangnya kita sedang mencari siapa?"
"Namanya Mashudi. Aku mengenalnya karena dia adalah temanku ketika melaut."
"Kau melaut bukan untuk menangkap ikan kan?"
"Hei, kita sama-sama mencuri di kapal pengangkut sapi waktu itu!" Asih berteriak kencang.
Ternyata teriakannya sanggup membangunkan orang yang ada di dalam. Dia membuka pintu.
"Raden Panca, Nyimas Asih. Ternyata kalian. Mari-mari ke sini."
Seorang laki-laki bertelanjang dada. Rambutnya terurai hingga ke bahu. Dia mempersilakan Panca dan Asih untuk duduk di beranda. Sedangkan si tuan rumah kembali masuk untuk berpakaian serta membawa jamuan.
"Ternyata dia?" Panca berbisik.
"Ya, kau mengenalnya kan?" Asih menjawab dengan sebuah bisikan.
Laki-laki sang tuan rumah kembali ke beranda. Dia sudah mengenakan baju serta ikat kepala. Sebuah kendi dan gelas tanah dibawa dengan kedua tangannya.
"Maaf, tidak ada makanan yang bisa disuguhkan. Saya belum memasak," laki-laki bicara sambil tersenyum.
"Justru kami yang meminta maaf karena telah mengganggu Paman sepagi ini."
"Ah, tidak apa-apa. Saya pun tidak sedang sibuk."
"Di sini berbeda dengan di kampung saya, ya. Di siang hari justru sepi."
"Ya, beginilah di kampung nelayan. Kami baru saja pulang melaut."
"Kalau di Desa Pujasari justru sedang berkebun."
"Oh begitu ya. Di sana kan pegunungan. Sedangkan di sini pantai, kehidupannya berbeda.
Kalau di tempat tinggal Nyimas Asih?" laki-laki bernama Mashudi itu bertanya sambil menoleh pada Asih yang menatap ke arah laut.Asih tidak langsung menjawab. Dia menyesuaikan posisi duduk kemudian menghadap ke Mashudi.
"Di desa kami, jika pagi menjelang siang orang-orang sedang bekerja di sawah. Di sore hari mereka pulang."Mashudi manggut-manggut pertanda dia mengerti apa yang dibicarakan. Kemudian, dia penasaran akan kedatangan dua anak remaja itu di saat dirinya sedang ingin beristirahat.
"Paman, kedatangan kami ke sini tidak akan lama."
"Ya, jika begitu ... adakah yang bisa saya bantu." Mashudi mempersilakan tamunya untuk minum.
Tentu saja Panca tidak bisa menyembunyikan rasa haus. Dia meneguk air hingga dua gelas. Suhu udara yang panas sangat mempengaruhi kerongkongan.
"Kami sedang mencari kabar Tuan Win Feng."
Rona wajah Mashudi berubah.
"Kenapa, Paman?" Panca merasa heran dengan tanggapan orang di depannya.
"Eee, tidak apa-apa."
"Jika begitu, tahukah di mana Tuan Win Feng di mana?"
"Saya sudah lama tidak mengetahui keberadaan orang itu."
"Benarkah?"
"Ya, Nyimas. Saya sudah lama tidak berhubungan dengan dia."
Asih menatap Mashudi.
"Ya, Nyimas. Saya tidak bohong."
"Paman, saya tidak menuduh Paman berbohong."
Mashudi tampak gugup.
"Kapan terakhir Paman bertemu Tuan Win Feng?"
"Sudah lama sekali. Saya lupa."
"Benarkah?"
"Ya, kenapa Nyimas tidak percaya pada saya?" Laki-laki itu semakin gugup.
Asih menoleh pada Panca.
"Jika begitu, siapa orang yang Paman temui malam kemarin di gudang tua?"
Mashudi merasa terdesak.
Asih menatap tajam laki-laki itu.
"Ah, aku benar-benar tidak tahu!"
Mashudi bersikukuh. Dia malah berdiri kemudian melompat ke arah pekarangan.
"Hei, Paman mau ke mana?" Panca heran dengan sikap Mashudi.
"Jangan lari!"
Asih dan Panca mengejar orang itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Tragedi Pulau Haji
Mystère / ThrillerSemua mata tertuju pada suasana pulau yang berbeda sebagaimana hari-hari sebelumnya. Tidak ada lagi keramaian. Tidak ada kapal bahkan sebuah sampan pun tidak ada yang bersandar di dermaga. Malam sudah menjelang, tetapi tidak ada satu pun lampu menya...