22

54 11 0
                                    

Kaki Panca menendang ujung meja di depannya. Dia sudah tidak tahan lagi dengan sikap orang-orang yang selalu membuntutinya. 

"Kau mencoba melawan kami!"

Sebilah golok hampir saja menyentuh wajah Panca ketika orang di seberang meja mengayunkan senjata itu. Tapi, sepertinya orang itu menahan diri untuk tidak melukai anak remaja itu.

"Kang, ingat ... kita tidak boleh melukai anak ini," temannya mengingatkan.

"Ya, aku ingat. Jika begitu kita masukan kembali golok ke sarungnya."

Tangan-tangan kekar para lelaki itu dikepalkan. Mereka siap untuk melakukan serangan balik. Salah satu diantara mereka melangkah maju. Sorot matanya sungguh tajam. Langsung menatap Panca yang memberanikan diri memasang kuda-kuda.

"Hiiaaa!"

Pukulan demi pukulan tertuju ke wajah Panca. Disambut dengan  tangkisan demi tangkisan.

Panca tersudut. Benar-benar berada di sudut ruangan. Tepat di sisi lukisan bangau berukuran hampir setinggi dinding. Untungnya, anak remaja itu masih memiliki tenaga untuk bertahan.

"Aaaa! Lama sekali kau melumpuhkan anak ingusan itu!"

Pemimpin komplotan tampak kesal ketika mendapati anak buahnya tidak sanggup melawan Panca. Tubuh lawan yang lebih kecil bukan berarti mudah untuk ditaklukan. Panca bisa menghindari serangan walau belum ada kesempatan untuk menyerang balik.

"Maju semua!"

Sialan, beraninya mereka mengeroyok anak kecil!

Panca berusaha menghindar. Dia melompat ke atas meja kemudian menerjang salah seorang diantara anggota komplotan. Sepertinya, orang itu tidak terlalu pandai menghindar. Kaki kecil Panca mendarat di dada.

"Arkhh!"

Dia terjungkal ke belakang. Tubuhnya terjatuh ke lantai.

Sejak awal, Panca sadar jika tidak mungkin bisa melawan begitu saja tujuh orang dewasa jika memiliki kemampuan berkelahi alakadarnya. Maka dari itu, ketika ada kesempatan untuk berlari maka dia pun berlari.

Keluar melalui pintu yang terbuka. Menuju jalan raya yang masih gelap. Hanya diterangi lampu jalan yang temaram.

"Kejar dia!"

Masih terdengar orang berteriak. Sontak, teriakan itu mengundang perhatian orang-orang di sekitar Pecinan. Malam telah larut. Tetapi tidak semua orang sudah pergi ke tempat tidur. Banyak diantara mereka terjaga demi melakukan pekerjaan yang terpaksa harus dilakukan malam itu.

Panca tidak pergi jauh. Dia berhenti berlari kemudian membalikan badan.

Ketujuh laki-laki berambut sebahu itu pun berhenti berlari kemudian berhadapan dengan tubuh Panca. Keributan dua pihak itu menjadi tontonan warga.

"Kau berani melawan kami, berarti kau mencari mati."

"Aku tidak bermaksud melawan, hanya ingin mengetahui ... siapa orang yang telah mengutus kalian?" Panca bersikukuh dengan rasa penasarannya.

Sebagian dari warga yang menyaksikan menjadi bertanya-tanya, sebenarnya ada apa?

Warga di Pecinan sudah mengenal Panca. Mereka sering melihat anak itu memarkir pedati di depan rumah makan milik orang tua angkat A Ling. Maka dari itu, ketika ada sekomplotan orang-orang yang berusaha mencederainya mereka pun berusaha untuk melindungi.

Awalnya, hanya beberapa orang yang berdiri di tepi jalan. Beberapa pria dengan rambut panjang diuntun menatap tajam ke arah ketujuh orang yang berusaha mencederai Panca.

"Hei, pergi dari sini!" Seorang lelaki tua dengan baju cheongsham menyuruh si perusuh untuk segera pergi.

"Ah, kau tidak perlu ikut campur, orang tua!"

"Aku berhak ikut campur karena ini wilayahku!"

Mungkin laki-laki tua itu dianggap sesepuh di kawasan Pecinan. Ternyata pernyataan sikap dari orang itu sanggup menggerakkan warga lain untuk mengangkat senjata. Ada yang mengeluarkan pedang dari balik pintu rumah yang semula tertutup. Ada juga yang memegang tongkat setinggi tubuh orang dewasa.
Bahkan, para pandai besi yang sedang bekerja keluar dari bengkelnya sambil membawa palu martil.

"Hei, kami tidak sedang bercanda! Pergi dari tempat ini!"

Ketika orang tua itu berteriak, ternyata ketujuh perusuh itu ciut nyali. Mereka saling tatap satu sama lain, berpikir untuk mengalah saja.

"Ayo pergi!" Pemimpin komplotan itu memilih untuk mengalah.

Mereka segera naik ke atas pelana kuda masing-masing. Hewan-hewan tunggangan itu pergi menjauh dari Pecinan. Lambat laun ditelan oleh kegelapan malam. Tidak lagi tampak mereka yang semula bersemangat untuk meringkus Panca.

"Paman sekalian, saya berterima kasih karena telah membantu."

"Sama-sama, Raden. Kalau boleh tahu,  sebenarnya siapa mereka?"

"Saya pun tidak tahu. Saya baru melihat mereka hari ini. Mungkin ini ada hubungannya dengan ... ah, sudahlah. Hal terpenting mereka sudah pergi."

Kerumunan warga pun membubarkan diri setelah para perusuh itu pergi. Suasana kembali hening. Jalan raya yang temaram oleh lampu jalanan hanya menyisakan satu-dua orang yang masih melaksanakan giliran tugas ronda.

Panca melihat A Ling yang berdiri di depan pintu. Dia menunggu Panca untuk menjelaskan apa yang sebenarnya tengah terjadi.

"Mungkin mereka orang-orang yang memiliki hubungan dengan peristiwa di Pulau Haji," Panca bicara sambil menghampiri A Ling dengan langkah lunglai.

"Aku juga berpikir begitu."

Panca merasa bersalah ketika menyaksikan rumah makan itu menjadi berantakan. Meja-meja bergeser dari tempat semestinya.

"Maafkan aku karena telah menimbulkan keributan."

"Ah, aku sudah biasa dengan hal demikian."

Panca tahu diri. Dia pun membantu A Ling membereskan bangku dan meja hingga rapi kembali. Makanan yang berserakan di lantai disapu hingga kembali bersih.

"Raden, sudahlah. Besok diteruskan oleh A Ling," si Nenek menghampiri.

"Tidak, saya ...."

"Sudahlah. Kau harus beristirahat. Seharian ini, kau sudah melakukan banyak hal."

Panca mendongak ke lantai atas. Seorang tamu penginapan terbangun dari tidurnya. Namun, si kakek bisa menjelaskan apa yang tengah terjadi. Semuanya baik-baik saja.

Panca pun menoleh pada A Ling. "A Ling, maafkan aku, jika selalu merepotkanmu."

"Bukankah kau selalu begitu?" A Ling tersenyum.

"Tapi, bolehkah aku kembali merepotkanmu?"

A Ling memasang wajah heran.

"Bisakah kau antar aku ke rumah seseorang."

"Malam ini?"

"Bukan, besok pagi. Itu pun kalau kau tidak sibuk."

"Mungkin aku bisa mengantarmu sebelum pergi ke pasar. Tapi, kau mau mengunjungi siapa?"

"Aku ingin menemui istri Tuan Win Feng."

"Setahuku, Tuan Win Feng sudah lama tidak pulang."

"Ya, makanya ... aku ingin menemui istrinya."

"Masih adakah hubungannya dengan peristiwa di Pulau Haji?"


Panca dan Tragedi Pulau HajiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang