33. Di Luar Nalar

14 0 0
                                    

Hazan mengerti keadaan Aletha saat ini, ia berpikir bahwa Aletha mendapat tekanan dari Luann, memberatkan pekerjaannya, hingga Aletha seperti ini, ia pun kembali ke ruangannya setelah mengikuti Aletha yang telah pergi dengan motornya.

Aletha melihat motornya kotor sekali di parkiran. "Lihat, jangankan motornya, yang punyanya aja kotor begini, huh, gue mau gimana setelah ini, apa gue bisa jalanin hidup sepert biasa?" batin Aletha menatap motornya sendu.

Setelah mengelap sedikit dengan kain yang ada di tasnya, ia melaju dengan kecepatan rendah. Mengenakan helm untuk menutupi wajahnya yang sembab, mata bengkak, hidung meler, dan bibir tebal.

Aletha mampir ke tempat penjualan minuman beralkohol, tidak banyak yang dibelinya, hanya 5 botol saya, kemudian pulang.

Sampai di rumah, ia menyimpan tas, kemudian mengedarkan pandangan. "Ya, inilah keadaan rumah gue, aman, damai tentram, tapi itu sebelum Luann menghancurhkan hidup gue, ditambah gue yang pergi ninggalin orang yang sayang dan menerima gue apa adanya. Tapi lo gak tau Hazan, lo gak tau apa yang terjadi sama gue. Jangankan elo, gue sendiri gak bisa nerima itu," ucapnya penuh kekecewaan sambil menatap ke depan.

Aletha melangkah ke nakas yang terdapat beberapa buku, alat rias dan foto keduanya berpigura besar menempel di dinding, ia berdiri di depan foto itu.

"Hazan, gue minta maaf, mungkin waktu itu gue gak bisa berontak karena gue banyak minum, tapi tidak! Bahkan saat gue sadar pun gue gak bisa lari! Hazan, please jangan tinggalin gue, gue cuma punya lo, bokap sama nyokap gue pun gak bakal nerima gue, gak bakal!"

"Aaaaaaaaaaa!" jerit Aletha sekuat tenaga.

Nguuuuk, nguuuuk, nguuuuk.

Aletha melihat ponselnya, mama is calling ....

"Halo, Ma?"

"Kamu bisa pulang sekarang?"

"Mama kenapa, Ma?"

"Gak, gak papa, cuma butuh kamu sekarang."

"Ya udah, aku pulang sekarang." Aletha mengambil tas kemudian pergi mencari taksi.

Ia pergi ke stasiun kereta, membeli tiket untuk pemberangkatan ke Bogor. Tidak membutuhkan banyak waktu, ia sudah tiba di sana. Keluar dari stasiun untuk mencari angkot.

Angkot tengah mangkal, ia masuk sambil menunggu dengan cuaca yang lumayan menggerahkan. Angkot sudah penuh si abang supir mulai melaju. Aletha benar-benar kehilangan semangat, bahkan saat turun dan masuk rumah pun ia minim ekpresi.

Dari luar rumah ini terlihat sederhana, tidak begitu besar dan telihat terurus. Masuk ke ruang tamu, posisi kursi dan pernak-pernik hiasan masih sama, masuk ruang keluarga juga sama, tidak banyak yang berubah, bahkan beberapa piala, sertifikat penghargaan, dan piagam milik Aletha masih terjajar tapi di nakas.

Ia tidak langsung melihat mamanya, rumah ini terlihat sepi. Ia masuk ke kamar mama.

Tuk tuk tuk.

"Ma?" Aletha masuk perlahan sambil mengedarkan pandang.

Mama duduk di depan kaca riasnya. "Ma, ada apa?" Aletha menghampiri.

"Papa pergi," sahutnya pelan. Aletha melihat jelas kesedihannya, mata Aletha menolot ketika melihat lebam di wajahnya.

"Ma, ini kenapa?" Aletha menyentuh biru di keningnya.

"Ini jatoh."

"Jatoh, emang mama gak bisa jalan?" sindir Aletha tak percaya.

"Papa mana?" tanya Aletha mengabaikan lebam itu.

"Dia gak mau sama mama lagi." Suara mama terdengar sangat pelan.

Hiks, terdengar isakan dari pada mama.

"Papa sama mama pisah?" tebak Aletha perlahan.

"Iya, papa pergi dan ternyata dia udah nikah sama janda anak 1." Mama menunduk tak kuat menegakan kepala.

"Hah, papa nikah sama janda anak satu dan meninggalkan mama yang anaknya satu juga? Jadi papa bikin mama janda anak 1 gitu, hahah, lucu banget." Aletha tak habis pikir akan sikap papanya.

"Papa kamu udah gila sama janda itu."

"Ma, janda itu kan udah bikin papa gila sama dia, berarti mama juga bisa dong nyari cowo lain yang lebih baik dari pada papa."

"Kok kamu ngomongnya gitu?"

"Ya ngapain mikirin papa yang gak mikirin Mama? Papa aja bisa nikah lagi, kenapa mama engga, toh mama gak tua-tua amat."

"Kamu ngomong enteng banget ya? Mama lagi sedih!"

"Ma, mama pikir dengan menerima kesedihan ini papa bisa balik? Enggak kan?" Tatapan Aletha tepat ke kornea mata mamanya.

"Tapi mama gak bisa langsung move on."

"Ma, mama gak perlu langsung juga, sedikit demi sedikit. Pertama, mama hapus semua kenangan papa, terus jangan simpan barang yang papa kasih ke mama, udah buang aja, mama udah gak butuh kenangan sama papa."

"Kamu ini bener-bener gak ngertiin perasasn orang."

"Ma, mama harus segera bergerak, toh si janda itu juga pergerakannya cepet, masa mama kalah ama dia?" Aletha menyemangatinya.

"Mama susah, Nak."

"Ma, apa mama pikir aku hidup di Jakarta, sendirian itu senang, enggak, Ma, aku harus kerja, bangun pagi pulang malem, weekend aku milih tidur ketimbang main, begitu aja seterusnya, belum tekanan dari bos, masalah sama cowo, dan masalah yang bener-bener rumit, mama gak tau kan, tapi apa pernah  aku cerita ke mama tentang kesedihan aku, gak kan? Itu membuktikan bahwa aku ini gak lemah."

"Jadi menurut kamu Mama lemah?" singkat mama.

"Gak gitu konsepnya Ma, kalo aku aku aja kuat kenapa mama gak bisa, kenapa mama gak berusaha bangkit dari keterpurukan? Kenapa mama malah nangis di depan kaca meratapi diri? Ma, dengerin lagu tipe x coba, yang judulnya mawar hitam, enak deh." Aletha menegas kemudian ngengeh, megejek.

"Kamu, mama lagi sedih malah dibecandain."

"Ma, sesekali kita harus bercanda, jangan selalu serius, renggangin otot di bibir mama, biar gak manyun mulu," saran Aletha sambil ngengeh.

"Aletha, mama belum bisa."

"Wajar sih ma, kan masalah gak bisa langsung ilang begitu aja, pasti ada proses," terang Aletha biasa saja.

"Ya." Mama nampak lemas sekali.

"Ma, emang papa beneran nikah lagi?" tanya Aletha yang duduk di kasur.

Mama juga ikut duduk di kasur berhadapan dengan anak semata wayangnya. "Ya, waktu itu mama lagi kurang sehat, terus ke klinik, di sana juga kebetulan papa kamu lagi bawa cewe sambil di bopong gitu. Mama dengerin percakapannya, kata dokter perempuan itu hamil, terus panggilan keduanya 'sayang' itu udah dipastikan pasti ada hubungan dong?" curhat mama padanya.

Bersambung ....

943 words.

Makkah, 19 Juli 2023.

That Night (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang