Happy Reading!!!
***
“Kamu ke mana aja sih, Dev? Susah banget aku hubungi!”
Devan hanya mendesah pelan kala omelan Sagitta terdengar begitu panggilannya Devan terima setelah satu minggu lebih dirinya abaikan. Sejujurnya ada sedikit rasa bersalah karena telah mengabaikan kekasihnya, tapi Devan tidak mampu menyalahkan Salvia akan sikapnya ini terhadap sang kekasih, karena ternyata di sadari atau tidak keinginan bersama Salvia sedikit lebih besar dibandingkan bersama Sagitta. Cintanya memang tidak pudar. Devan akui bahwa dirinya masih memiliki rasa itu untuk Sagitta, tapi di bandingkan bertemu Sagitta, Devan lebih ingin menemui keponakannya.
Dan, keinginan itulah yang membawa Devan berada di depan sekolah Salvia sekarang. Devan sengaja menunggu keponakannya seperti hari-hari sebelumnya. Bedanya sekarang tak lagi hanya untuk mengintai, melainkan Devan benar-benar menunggu Salvia pulang. Pagi tadi ia sudah mengatakan pada sang ponakan bahwa akan datang menjemput. Dan sudah dari satu jam lalu Devan tiba. Sampai sekarang masih menunggu Salvia keluar dari kelasnya.
Bukan Salvia yang membuatnya menunggu, karena nyatanya Devan yang datang lebih awal dari jam bubar sekolah. Entah karena tidak ingin terlambat dan membuat Salvia menunggu atau memang karena Devan terlalu semangat itu untuk bertemu keponakannya. Yang jelas Devan tidak sama sekali merasa bosan meskipun sampai sekarang Salvia belum juga menampakan diri di saat murid-murid lain mulai meninggalkan sekolah.
“Maaf sayang, belakangan ini aku sibuk.” Ya, sibuk memperbaiki hubungannya dengan Salvia.
Devan tahu ini berengsek. Tapi ia jelas tidak bisa berterus terang sekarang. Meskipun perasaannya terhadap Salvia sudah dapat dirinya artikan, tetap saja meninggalkan Sagitta bukan hal yang bisa Devan lakukan sekarang. Tidak ada permasalahan yang dapat Devan jadikan sebagai alasan meninggalkan Sagitta. Lagi pula perasaannya masih setengah-setengah.
Seperti yang pernah Devan bilang. Ia menginginkan Salvia dan juga Sagitta di waktu bersamaan. Membuat Devan tidak bisa melepaskan salah satunya. Ah tidak. Beberapa minggu lalu Devan sudah pernah mencoba melepaskan Salvia, tapi setelahnya ia mengaku kalah karena ternyata melihat gadis itu kecewa membuat perasaannya tidak baik-baik saja. Dan lagi Devan selalu merasa rindu ketika berusaha menjauh. Membuatnya sadar bahwa perasaannya terhadap Salvia tidak bisa lagi dirinya abaikan.
“Sampai gak punya waktu buat sekadar angkat panggilanku?!” sindir Sagitta terdengar marah. Tapi yang bisa Devan lakukan hanya meminta maaf dan membiarkan kekasihnya itu meluapkan kekesalan, hingga kedatangan Salvia netranya temukan. Dan dengan alasan pekerjaan Devan mematikan sambungan, bahkan sebelum Sagitta memberi tanggapan.
Entahlah, sudah seberengsek apa Devan sekarang.
“Udah lama?” tanya Salvia begitu mendudukan diri di jok penumpang depan. Bersampingan dengan Devan yang berada di balik kemudi.
Devan menggeleng. Tidak berbiat mengatakan sudah berapa lama dirinya menunggu karena toh itu adalah keinginannya. “Cari makan dulu, ya? Uncle lapar.” Ucapnya sembari mengusap perutnya yang kebetulan berbunyi. Menandakan bahwa perutnya butuh di isi, karena nyatanya pagi tadi Devan memang hanya mengisi perutnya dengan roti dan kopi, sedangkan siang tidak sama sekali makan apa-apa. Harap di maklum jika sekarang dirinya kelaparan.
Sebenarnya ini juga salah satu alasan agar tidak langsung membawa Salvia pulang, karena nyatanya untuk mengisi perut Devan tidak perlu menunggu Salvia. Sembari menunggu tadi Devan bisa saja pergi ke café atau restoran yang ada di sekitar sekolah Salvia. Tapi Devan tidak melakukannya karena ingin makan bersama Salvia. Beruntung saja gadis itu tidak keberatan.
“Ada restoran yang ingin kamu kunjungi?” siapa tahu Salvia ingin makan sesuatu. Seperti Sushi misalnya. Devan tak lupa makanan kesukaan ponakannya itu.
“Gak ada, tapi aku pengen makan Steak,” jawab Salvia dengan mata berbinar cerah, percis seperti anak kecil yang sedang begitu menginginkan sesuatu. Benar-benar menggemaskan. Membuat Devan tak tahan untuk tidak mengusak rambut ponakannya. Tapi lebih dari itu Devan ingin sekali mencium bibir Salvia yang sedikit terbuka karena senyum. Sayangnya mereka sedang berada di jalanan ramai, dan Devan tidak ingin mencelakakan diri sendiri akibat keinginannya tersebut. Maka dari itu sebisa mungkin Devan menahannya, dan harus puas dengan hanya mengusap rambut sang keponakan. Keinginannya untuk mencium Salvia bisa Devan tunda, setidaknya sampai mobil yang di kendarainya berhenti, entah di lampu merah atau restoran yang akan dirinya tuju.
Dan Devan benar-benar merealisasikannya sedetik setelah mobilnya berhenti di lampu merah, mengejutkan Salvia yang sudah sibuk dengan ponselnya. Bahkan ponsel di tangan Salvia nyaris lepas dari genggamannya andai tidak cepat menggenggamnya lebih erat.
“Balas ciuman Uncle, Salvia!” geram Devan sedikit kesal karena Salvia yang malah diam di saat Devan ingin sekali gadis itu menerima ciumannya. Devan juga cukup merasa kesal mendapati sang ponakan tidak seagresif biasanya. Padahal Devan rindu Salvia yang aktif. Tapi mau bagaimana lagi, Devan memang harus memahami Salvia yang pernah merasa kecewa akibat sikapnya, dan mungkin statusnya yang memiliki kekasih pun menjadikan Salvia bersikap seperti sekarang. Sedikit memberi jarak.
Ah, Devan memang harus sedikit lebih sabar menghadapi Salvia yang sekarang.
Menuruti apa yang Devan inginkan, Salvia mulai membalas ciuman Devan yang tidak tenang. Pria itu lebih agresif dari biasanya, dan Salvia sedikit kewalahan, namun sebisa mungkin berusaha mengimbangi. Salvia tidak ingin membuat sang paman kecewa. Meskipun telah memutuskan untuk sedikit jual mahal, Salvia tetap saja tidak ingin membuat Devan tidak merasa puas dengan ciumannya. Salvia tidak ingin Devan mencari kekasihnya setelah ini. Bagaimanapun juga Salvia harus bisa membuat Devan melepaskan Sagitta, lalu menjadikan dirinya satu-satunya.
“Ahh, Uncle,” desahan tak lagi bisa Salvia tahan, terlebih ketika remasan sudah tangan Devan berikan di dada kembarnya. Membuat sisi binalnya naik kepermukaan, dan sungguh Salvia rasanya ingin melepas pakaian yang di kenakannya agar tangan besar sang paman bisa langsung menyentuh kulit halusnya. Salvia kurang puas jika hanya di remas dari luar. Namun tidak banyak yang bisa Salvia lakukan sekarang, terlebih suara klakson yang bersahutan membuat dirinya dan Devan harus sadar dimana mereka sekarang.
Ah sial! Padahal Salvia sudah tak tahan.
Kepergian Devan dari rumah membuat Salvia tidak lagi menerima sentuhan. Membuatnya rindu dan sejak kemarin Salvia ingin sekali meminta Devan memberinya kenikmatan itu lagi. Tapi Salvia sedang berusaha menahan diri, hingga ia harus puas hanya menunggu Devan melakukannya. Dan meyebalkannya kemarin itu hanya terjadi sebentar karena ketika Devan hendak membuka kancing seragamnya pengantar makanan lebih dulu datang, dan selesai makan Devan langsung mengantarkannya pulang. Salahnya juga memang kenapa menolak di ajak menginap. Padahal andai setuju ia pasti mendapatkan apa yang dirinya mau.
Berada dalam dekapan Devan. Ah, itu adalah hal yang Salvia rindukan.
Kalau tidak karena sudah terlanjur janji pada diri sendiri mungkin Salvia bisa saja meminta tinggal sebentar lagi ketika kemarin Devan menawarkan pulang. Tapi karena gengsi dan niat untuk jual mahal, Salvia berakhir merutuki diri sendiri yang menjawab bahwa dirinya ingin pulang saat itu juga. Salvia sempat melihat raut tak rela Devan, tapi memilih mengabaikan. Sampai di rumah ia yang justru uring-uringan. Dan barusan … ck, lagi-lagi kesenangannya di kacaukan.
Ah, salah Devan kenapa tidak mengambil kesempatan di saat yang tepat. Sudah begini bukan hanya Salvia yang kesal. nyatanya Devan pun merasakan hal serupa. Bahkan sepertinya Devan lebih merasa frustasi. Terlihat dari kerasnya rahang Devan dan umpatan yang di loloskan tanpa suara.
Salvia geli. Tapi enggan menertawakan. Bisa fatal dirinya nanti.
***
See you next Part!!
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Uncle
RomanceDemi menarik perhatian sang paman, Salvia rela melakukan apa pun. Bahkan tak segan menggodanya terang-terangan. Membuat perlahan Devan meliriknya. Salvia sadar tubuhnya yang membuat sang paman tertarik, tapi Salvia tidak peduli, dia yakin lambat lau...