My Lovely Uncle - Bab 51

3.7K 214 9
                                    

Happy Reading!!

***

Salvia memutar bola mata saat dijumpainya Devan datang bersama Shamanta. Sejak awal ia memang sudah dapat mengira, tapi tetap saja tidak menyangka bahwa itu akan benar-benar terjadi.

Lama-lama Salvia jengah melihat wanita itu. Padahal hari itu Devan sudah menegaskan mengenai keberadaannya, tapi Shamanta seakan buta dan tuli. Mengabaikan kenyataan dirinya yang adalah calon istri Devan. Memang dasar nenek lampir.

“Maaf udah buat kamu menunggu. Jalanan macet tadi,” sesal Devan seraya menjatuhkan satu kecupan di puncak kepala Salvia yang menatap kedatangannya dengan sorot tajam yang Devan yakini gadis itu marah. Entah karena keterlambatannya atau karena sosok di sampingnya. Yang jelas untuk itu pun Devan menyesalinya.

Devan tidak berpikir Shamanta akan mendatanginya setalah beberapa hari kemarin wanita itu tidak menampakan diri seperti biasanya. Tidak pula ada menghubunginya seperti dua minggu belakangan. Tak menyangka bahwa setibanya di lobi Shamanta ada di sana dan menghampiri dengan senyumnya yang menawan lalu menyajaknya untuk makan siang. Devan sudah mengatakan bahwa dirinya akan makan siang bersama Salvia, tapi Shamanta justru menanggapi dengan santai. Jadi lah terpaksa Devan datang dengan wanita itu.

“Sudah pesan?” tanyanya saat tak mendapati respons sang ponakan. Gadis itu masih dengan tatapan tak sukanya yang terang-terangan di berikan pada Shamanta yang justru tidak sedikit pun merasa terusik. Wanita anggun itu masih dengan sikap tenangnya, semakin memancing kekesalan Salvia. Untung saja Salvia memiliki pengendalian yang cukup baik, hingga keributan tidak tercipta.

Devan menghela napas pelan, lalu mengarahkan wajah sang keponakan untuk menghadapnya. Satu kecupan Devan jatuhkan di bibir gadisnya, membuat Salvia sontak melotot dan mendorong tubuh Devan agar sedikit menjauh.

“Ini tempat umum, Uncle!” ujarnya mengingatkan. Tapi Devan hanya mengedikkan bahu singkat, lalu kembali mendekat pada gadis kecilnya dan satu lagi kecupan Devan berikan. Kali ini tidak membiarkan Salvia mendorongnya karena dengan cepat Devan mengambil tangan mengil itu dan ia lingkarkan di pinggangnya.

“Jangan salah paham tentang Uncle yang datang dengan Shamanta. Tadi kita bertemu di lobi,” dan tindakan Devan barusan adalah sebagai bentuk pembuktian. Sekeras apa pun Shamanta berusaha meraihnya, tetap Salvia yang Devan inginkan. Sekaligus ia pun menunjukkan pada Shamanta bahwa keputusannya sudah tepat. Tidak peduli dikatai tak waras karena berhubungan dengan gadis remaja. Devan masih merasa normal karena yang dirinya suka tetap wanita, meski belum dewasa.

“Dan dia maksa ikut?” tanya Salvia lebih terdengar menuduh. Membuat Shamanta yang semula sibuk pada buku menu, mengangkat kepalanya, menatap Salvia dengan sebelah alis terangkat, lalu memutar bola mata.

“Tipikal anak kecil,” ujarnya serupa gumaman, namun masih jelas terdengar oleh Devan mau pun Salvia, karena setelahnya gadis itu melototkan matanya, tersinggung dengan apa yang Shamanta ucapkan. Beruntunglah pelayan lebih dulu datang mengantarkan makanan yang Salvia pesan sebelumnya, hingga ketersinggungan yang ingin diluapkan urung dilakukan. Sebab di bandingkan dengan menanggapi Shamanta, Salvia lebih memilih mengenyangkan perutnya dengan makanan yang begitu digemarinya itu.

“Sha, saya makan duluan, ya?” ucap Devan pada Shamanta yang baru saja selesai menyebutkan pesanannya pada pelayan yang mengantarkan makanan ke meja yang di dudukinya. Mendengar suara Devan, Shamanta menoleh dan mendapati laki-laki itu mengambil sumpit di sisi piringnya.

“Gue gak tahu lo bakal ngekor calon suami gue, jadi gak gue pesenin apa-apa. Kalau tahu lo ikut pasti tadi gue pesenin sushi beracun buat lo,”

Shamanta hanya mendengus kecil mendengar kalimat Salvia. Memilih tidak menanggapi, begitu pula dengan ucapan Devan sebelumnya karena nyatanya pria itu tidak butuh tanggapannya. Devan hanya mengatakan itu sebagai sopan santun. Dan Shamanta tak begitu mempermasalahkan.

“Besok kamu sibuk gak, Dev?” Shamanta kembali membuka suara setelah beberapa saat sibuk dengan ponselnya.

“Kenapa memangnya?” mengurungkan niat melahap potongan sushi miliknya, Devan melirik Shamanta dengan sebelah alis terangkat. Tapi nyatanya bukan hanya Devan, sebab Salvia pun melakukan hal serupa. Ikut penasaran dengan rencana Shamanta menanyakan kesibukan Devan. Salvia mulai was-was sekarang.

“Antar aku ke bandara. Jam sepuluh pagi,” katanya tanpa sama sekali merasa sungkan, seakan Devan sudah terbiasa melakukan itu untuknya. Membuat Salvia tentu saja mendengus dan melirik tajam wanita di depannya.

“Lo gak punya supir memangnya? Kenapa harus Uncle Devan yang antar lo? Kenapa gak naik taksi aja? Manja banget!” deliknya tak suka. Tapi sekali lagi Shamanta memilih tidak menghiraukan gadis itu. Tetap fokus pada Devan, menunggu jawaban.

“Kamu mau ke luar negeri?”

Shamanta menggeleng. “Aku mau jemput seseorang.”

“Pacar kamu?” tebak Devan.

Shamanta mengedikkan bahunya singkat, memilih tidak menjawab, lalu menikmati makanannya yang baru saja diantarkan pramusaji.

Berbeda dengan Salvia yang begitu lahap, Shamanta makan dengan begitu anggun, terlihat natural, tanpa di buat-buat sebagaimana wanita lainnya yang pernah Devan temui, salah satunya adalah Sagitta. Shamanta berbeda. Perempuan itu tidak berusaha menciptakan citra baik di depannya, tidak terlihat seperti sedang berperan anggun agar lawan jenis di hadapannya tidak ilfil. Pembawaan Shamanta yang tenang dan elegan seakan itulah pribadinya yang sebenarnya, tanpa sedikit pun niat membuat orang di depannya terkesan atau pun kagum. Itulah yang membuat Devan tidak mempermasalahkan keberadaan Shamanta.

Meskipun wanita itu tidak berusaha untuk menjauh setelah pura-pura menerima perjodohan mereka di depan Anton, tapi Shamanta tidak pernah berusaha menggodanya. Makan siang bersama memang sering mereka lakukan beberapa minggu ini. Entah itu bersama Anton juga atau hanya mereka berdua.

Hampir setiap hari juga Devan mengantar jemput wanita itu selama beberapa minggu ini, tapi tidak ada hal yang terjadi di antara mereka. Sepanjang perjalanan mereka hanya akan saling diam. Jika mengobrol pun pasti soal pekerjaan. Selebihnya mereka hanya akan membisu dan sibuk pada kegiatan masing-masing. Shamanta aktif berbicara hanya ketika Anton ada diantara mereka.

Devan memang sempat berpikir bahwa mungkin apa yang Salvia katakan benar mengenai Shamanta yang pura-pura hanya untuk membuatnya lengah, tapi setelah kembali di telisik sepertinya Devan tidak bisa menganggap Shamanta seperti apa yang Salvia curigai sebab Devan merasakan sendiri bahwa Shamanta memang tidak memiliki niat seperti itu.

Namun Devan juga tidak bisa menyalahkan anggapan Salvia, karena siapa pun pasti akan berpikir sama melihat Shamanta yang terlihat santai-santai saja, menikmati kedekatan mereka di tengah penolakan yang telah mereka sepakati. Tapi sudut hatinya meyakini bahwa Shamanta tidak selicik itu. Semoga saja keyakinannya tidak salah.

“Oh ya, habis ini Uncle ke kantor lagi?” Salvia bertanya ketika semua makanan yang di pesannya habis tanpa sisa.

“Iya. Tapi gak akan lama, cuma ada beberapa berkas yang harus Uncle tanda tangani. Kenapa memangnya? Mau jalan-jalan?” Salvia mengangguk. Senyumnya mengembang melihat kepekaan Devan. “Ikut ke kantor dulu aja, ya, setelah urusan Uncle selesai baru kita jalan-jalan,” dan sekali lagi Salvia menganggukkan kepala. Tidak keberatan dengan itu. “Kamu mau ikut Sha?” tanya Devan beralih pada Shamanta yang masih menikmati makanannya.

Salvia yang mendengar itu tentu saja melemparkan delikannya pada sang paman. Yang benar saja mengajak Shamanta. Pikirnya. Beruntung saja Shamanta menolak dan hanya meminta diantarkan ke tempat kerjanya. Andai mengangguk, Salvia tidak akan segan melakukan penganiayaan terhadap paman sekaligus calon suaminya itu. Dan akan Salvia pastikan bahwa dirinya akan ngambek selama mungkin. Masa bodo Devan frustasi. Bahkan sampai mabuk-mabukan seperti beberapa waktu lalu. Salvia tidak akan peduli.

***

See you next part!!

My Lovely UncleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang