My Lovely Uncle - Bab 54

3.1K 189 7
                                    

Happy Reading!!!

***

Liburan yang di tunggu akhirnya datang, dan Salvia bukan main bahagia meski pun lokasi liburannya kali ini tidak jauh.

Puncak bukan daerah yang asing lagi bagi Salvia, karena nyatanya bersama teman-temannya ia pernah beberapa kali berkunjung, meski tempatnya tidak sama dengan yang sekarang. karena kali ini villa pribadi milik keluarga Drizella lah yang Salvia tempati. Bukan hotel apa lagi penginapan seperti yang selalu di sewa bersama teman-temannya. Pemandangannya pun lebih indah. Semakin indah dan membahagiakan karena kali ini Salvia datang bersama keluarganya. Yang mana ini adalah untuk pertama kalinya.

Uncle kudanya di mana?” jujur saja Salvia sudah tidak sabar untuk menunggangi hewan gagah itu. Makanya begitu tiba di villa dan melihat-lihat kemewahan tempat singgahnya kali ini beberapa saat, Salvia langsung merongrong Devan. Meminta pamannya itu membawanya ke tempat di mana kuda milik pria itu berada. Padahal Devan baru saja mendudukkan diri setelah mengangkut masuk barang bawaan mereka. Belum lagi sepanjang perjalanan dari rumah ke puncak Devan yang menyetir.

“Besok aja naik kudanya, Kak. Sekarang biarin Uncle Devan istirahat dulu. Dia capek, loh,” Drizella bertutur lembut, memberi pengertian pada sang putri yang terlihat begitu antusias. Namun Drizella juga tidak tega melihat adiknya yang menunjukkan rasa lelah dan juga mengantuk. “Kamu juga mending istirahat dulu. Naik kuda capek, kamu harus punya stamina yang cukup, harus rileks juga biar kudanya gak ikut tegang. Lagi pula ini sudah mau sore.” Lebih tepatnya jam tiga. Belum terlalu sore memang, tapi tetap saja mereka hanya memiliki waktu sebentar jika memaksakan diri untuk berkuda. Belum lagi jarak villa dan peternakan di mana kuda Devan di titipkan cukup jauh. Butuh lima belas menit berkendara untuk tiba di sana.

“Yah, padahal Kakak udah gak sabar banget,” desahnya lesu seraya menjatuhkan bokong ke sofa yanng sudah Devan duduki. Membuat pria itu langsung mengulurkan tangan untuk mengusak rambut gadisnya.

“Besok kamu bisa main sepuasnya. Nanti Uncle ajarin nunggang kuda sampai pintar,” janjinya dengan senyum lembut dan tatapan menyakinkan.

“Serius?” Salvia memastikan, dan ketika sebuah anggukan Devan berikan refleks Salvia berseru senang sambil memeluk Devan. Mengejutkan tak hanya Devan, tapi juga semua yang ada di living room. Bahkan Kara yang barada dalam gendongan ibunya sampai menangis gara-gara terkejut oleh teriakan Salvia. Namun Darian lebih ke terkejut dengan kerefleks-an Salvia memeluk Devan. Sudut hatinya masih belum bisa benar-benar rela. Kesal juga karena bisa-bisanya anak gadisnya itu nyosor-nyosor seperti itu pada laki-laki. Sudah dua kali, dan itu membuat Darian menggeram dengan tatap tajam tertuju pada anak dan adik iparnya.

Salvia yang merasa suasana tiba-tiba horor, menarik diri dari pelukan Devan, lalu melirik kedua orang tuanya. Drizella mendelik karena Salvia telah membuat anaknya menangis. Sementara Darian terlihat menyeramkan dengan tatapannya yang menusuk dan sulit diartikan.

“Maaf, Kakak refleks,” katanya sembari menggaruk tengkuk lalu di susul cengiran polosnya yang membuat Darian mendengus pelan.

“Papi perlu percepat pernikahan kalian sepertinya,” melihat anaknya yang begitu agresif, membuat Darian benar-benar khawatir. Di depannya sudah berani memeluk dan mencium Devan meski itu karena gerakan refleks. Apa kabar di belakang? Tidak, tidak. Darian tidak bisa membiarkan itu.

“Bulan depan. Devan, persiapkan semuanya,” titah Darian tidak ingin ada penolakan. Padahal baru kemarin malam ia meminta pernikahan tidak di lakukan terburu-buru. Enam bulan waktu yang Darian berikan agar ia memiliki waktu untuk meyakinkan diri dan lebih rela melepas sang putri. Tapi tidak sampai seminggu Darian berubah pikiran.

Benar, malam setelah pembatalan perjodohan Devan dan Shamanta di mana Darian meminta Salvia cepat pulang adalah untuk membahas perihal liburan, sekaligus rencana pernikahan. Dan saat itu Darian juga Drizella sepakat untuk mempercepat meskipun Devan enggan terburu-buru. Hingga akhirnya enam bulan adalah waktu yang Darian sanggupi. Karena Devan sendiri siap kapan pun harus menikahi Salvia.

“Mas serius?” Drizella cukup terkejut dengan keputusan suaminya itu, mengingat Darian yang bahkan amat keberatan ketika hari itu ia mengusulkan tiga bulan untuk mempersiapkan pernikahan Devan dan Salvia.

“Ya mau gimana lagi. Kamu lihat sendiri ‘kan gimana ganjennya anak gadis aku? Aku khawatir kalau kelamaan yang ada nanti perutnya udah melendung aja. Bisa di jemput paksa aku sama ibunya Salvia,” Darian bergidik ngeri. Meski tahu bahwa itu tidak mungkin, tapi tetap saja Darian tidak ingin istrinya yang telah berada di sisi Tuhan marah karena ia tidak menjaga putrinya dengan baik.

Darian sudah berjanji pada mendiang istrinya dulu. Maka dari itu sebelum hal tidak diinginkan terjadi dan ia gagal menjaga putrinya lebih baik Darian menikahkan anaknya segera. Terlebih melihat bagaimana agresifnya sang putri. Laki-laki alim sekalipun akan goyah jika terus-terusan di goda. Bahaya kalau Devan tidak kuat menahan diri jika terus-terusan dihadapkan dengan sikap suka menyosor Salvia.

“Papi sembarangan aja omongannya. Ingat loh, Pi, ucapan itu adalah doa. Terlebih ucapan orang tua,” Salvia memperingati sekaligus mengingatkan ayahnya itu.

“Ya makanya Papi gak ada pilihan lain selain menikahkan kamu segera. Gimana Dev, kamu siap gak?” tanyanya beralih pada sang adik ipar yang sejak tadi hanya diam menyimak.

“Besok pun aku siap,” jawab Devan tegas dan mantap.

Darian dan Drizella kompak memutar bola mata mendengar jawaban itu. Sementara Salvia wajahnya sudah begitu merona.

“Ck, sama gak sabarnya ternyata,” cibir Darian. “Ya udah lah, pokoknya saya nunggu beres aja. Tapi ingat ya, Dev, meskipun waktunya mepet, pernikahannya jangan biasa-biasa saja. Itu anak gadis saya satu-satunya,” peringat Darian dengan sorot matanya yang tajam.

Dan Devan mengangguk menyanggupi. Baginya itu bukan perkara yang sulit. Jangankan satu bulan, satu minggu saja Devan yakin bisa memberikan pesta pernikahan yang luar biasa untuk Salvia. Dengan uangnya Devan bisa meminta seorang propesional wedding untuk menyiapkan semuanya. Devan pastikan Darian tidak akan kecewa.

“Pulang dari sini aku akan urus langsung pernikahannya. Kamu gak keberatan ‘kan Sal?” liriknya pada sang calon istri yang sungguh terlihat begitu menggemaskan dengan wajah merah malu-malunya. Andai tidak ada Darian dan Drizella di hadapannya sudah Devan serang bibir Salvia sekarang juga. Syukurnya Devan bisa menahan diri.

“Aku terserah Uncle sama Papi aja,” ucapnya pelan sembari melirik dua sosok itu secara bergantian. “Yang penting Mama Dri juga gak keberata,” tentu saja ‘kan Salvia tidak boleh melupakan ibu tiri yang akan segera menjadi kakak iparnya itu? Bagaimanapun Drizella adalah keluarga yang Devan miliki.

“Kalau Mama keberatan?”

“Ya terpaksa aku nikah tanpa restu mama,” jawabnya seraya meloloskan cengiran. Sementara Drizella mendengus dan memutar bola mata.

“Mama kira mau mundur,”

Meski diucapkan tidak dengan nada becanda, Salvia tidak lantas tersinggung. Ia justru tertawa lalu berkata, “Maaf mama sayang, hati akunya udah mentok di Uncle Devan.”

“Alah dasar bucin!” cibirnya. Dan, lagi, Salvia tertawa. Sama sekali tidak tersinggung dengan apa pun reaksi Drizella akan hubungannya dengan Devan. Cukup wanita itu tidak menentang, Salvia tidak akan mempermasalahkan. Toh lambat laun Drizella pasti akan sepenuhnya menerima beriparkan anak tirinya.

***

See you next part!!

My Lovely UncleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang