14. Multiple Sclerosis

111 7 8
                                    

Tanggal penulisan :

13 November 2021 pukul 20.53 (belum termasuk revisi)

Enjoy gays....

Sana memang menepati janjinya untuk tidak menangis apapun hasil yang di dapat dari pemeriksaan yang Mina lakukan. Tapi bukan seperti ini yang Mina inginkan. 2 hari sudah Kekasihnya itu hanya diam meskipun masih memperhatikannya dengan sangat baik.

Keduanya juga tidak lagi tinggal di tempat Mina. Karena sejak pulang dari rumah sakit, Sana langsung membawanya ke rumahnya tanpa mengatakan apapun. Mina juga tidak mau bertanya saat itu. Karena dia pikir Sana masih terlalu syok dan membutuhkan waktu untuk berpikir.

Tapi bukan Mina namanya, jika dia mampu bertahan dengan kediaman Sana. Tak ingin membuat dirinya semakin tersiksa karena di acuhkan, Mina yang sedari tadi memperhatikan Sana yang tengah memasak untuk makan malam mereka pun bangkit dari tempat duduknya dengan kasar dan menghampiri Sana.

"Sana?" Teguran lembut menubruk telinga Mina berikan bersamaan dengan tubuh Sana yang di putar untuk menghadapnya.

"Minahasa, jinjja mianhae." Ucapnya setulus hati seraya memberikan Sana sebuah pelukan.

Runtuh sudah pertahanan yang Sana bangun 2 hari ini. Dia tak mampu lagi menahan kesedihannya. Air matanya luruh bersama dekapan yang Mina berikan.

"Gwenchana, jinjja gwenchana." Sungguh sakit rasanya melihat orang yang dia sayangi lagi-lagi menangis karenanya. Tapi Mina bisa apa? Semua sudah menjadi takdir dan tak bisa di rubah. Kini, dia hanya bisa meyakinkan Sana jika dirinya akan baik-baik saja. Meskipun dia sendiri tak yakin akan hal itu.

Multiple sclerosis. 2 hari yang lalu, Mina di fonis menderita penyakit itu. Penyakit autoimun yang menyerang lapisan saraf dan tulang belakang. Meskipun bisa di obati, tapi penyakit itu tidak bisa di sembuhkan. Yang ada, hanya untuk menghilangkan atau mengurangi frekuensi kekambuhan gejala. Dan jika bertambah buruk, maka bisa saja Mina menderita kelimpahan karena penyakit itu.

***

Suasana di rumah sakit mewah itu tampak lengang dan sepi karena beberapa perawat dan petugas medis yang bekerja di sana sudah pulang. Menyisakan mereka yang memang bertugas untuk jaga malam atau keluarga pasien yang sedang menemani anggota keluarga mereka. Termasuk, 2 orang Dokter pria dan wanita yang baru saja keluar dari ruangan mereka dan bersiap untuk pulang.

"Dokter Jennie?" Panggil sang Dokter pria saat melihat Jennie keluar dari ruangannya.

"Nde."

"Kau sudah mau pulang?" Tanyanya seraya berjalan menghampiri Jennie yang baru beberapa langkah menjauhi ruangannya.

"Nde."

"Kebetulan sekali. Mari jalan bersama."

Ruang kerja mereka memang bersebelahan. Jadi apa salahnya jika mereka jalan beriringan.

"Bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?" Tanya sang Dokter pria saat keduanya sudah memasuki lift.

"Tentu, tanyakan saja."

"2 hari yang lalu, aku tidak sengaja bertemu dengan salah satu calon pasien mu di pusat informasi. Apa aku boleh tahu, siapa yang kau periksa?"

"Maaf Dokter Kang. Tapi, bukankah itu data pribadi pasien? Setahuku, kita tidak boleh memberitahukan data pribadi pasien kepada siapapun selain anggota keluarga, meskipun itu sesama Dokter. Kecuali, jika memang benar-benar di minta untuk kebutuhan pemeriksaan."

"Aku tahu. Tapi itu benar-benar mengganggu pikiranku. Salah satu dari mereka adalah anak dari pemilik rumah sakit ini. Aku hanya tidak ingin kau melakukan kesalahan karena di anggap merahasiakan penyakit pasien dari keluarganya."

Jaljayo, goodnightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang