"Kak Theo!" Tanpa aku duga, Nita berseru memanggil Theo dan berjalan menghampiri keduanya. Aku membuntuti dari belakang, dengan perasaan kesal di hati yang berusaha aku tahan.
Ternyata Theo di sini, ia meninggalkanku sendirian seperti mahluk bodoh, dia sendiri sedang bersama seorang perempuan? Kalau tahu begini, lebih baik aku tadi pulang saja. Untuk apa menunggu orang yang bahkan melupakan kehadiran kita sebagai partnernya?
Tapi aku penasaran siapa perempuan ini, perempuan yang bisa membuat Theo melupakanku sebagai tunangannya, yang ia bawa ke pesta ini?
Theo menoleh, perempuan di depannya yang duduk membelakangi kami juga ikut menoleh. Wajah Theo datar saja, ia bahkan mengerutkan kening melihat kehadiranku dan Nita yang datang barengan.
"Ternyata kakak dari tadi di sini? Ninggalin Kak An sendirian?"
"Hallo, Nit. Kamu sudah besar ya sekarang, tambah cantik kamu." Perempuan cantik itu mengulas senyum, tapi Nita cuma melirik sinis. Saat itulah aku bisa melihat dengan jelas wajah perempuan yang sedang bersama Theo. Perempuan yang sangat cantik dan anggun, wajahnya..kenapa aku seperti tidak asing dengan wajahnya?
"Kenapa kalian berdua ada di sini?" Tatapan Theo dilayangkan padaku. Apa aku mendengar nada tidak suka dalam suaranya? Apa ia pikir kami berdua mengganggu acaranya yang sedang bercengkrama dengan perempuan ini? Aku memicingkan mata curiga.
"Nyari tempat buat makan. Untung saja tadi aku bertemu Nita, coba kalau nggak. Mungkin saat ini, aku sudah kelaparan nungguin orang yang gak dateng-dateng."
"Kamu belum makan?" Theo melihat piring makanan di tanganku. "Kamu harusnya gak nungguin aku. Sebagai tamu, kamu bebas buat makan apa saja."
Sialan, Theo. Apa dia pikir aku serakus itu? Bebas buat makan apa saja katanya? Apa dia pikir aku datang ke pesta ini cuma buat numpang makan enak? Kalau dia tidak mengajakku ke sini juga, apa dia pikir aku bakal sudi menemaninya ke pesta yang bahkan aku gak kenal dengan si empunya pesta.
"Kak, Kak An gak ada yang kenal dengan orang-orang di pesta ini. Kakak ninggalin Kak An begitu aja, dan sekarang kakak bilang harusnya Kak An gak nungguin kakak? Kakak mikir gak sih?" Belum sempat aku berkata, Nita sudah mendahuluiku.
"Kamu kalau ngomong yang sopan sama yang lebih tua,Nit." Theo melirik tajam.
"Aku ngomong sopan kok, aku cuma mau ngingetin Kak Theo. Kakak datang ke sini sama Kak Anjani, tunangan kakak. Kakak harusnya gak ninggalin Kak An cuma buat ngobrol sama cewek lain!"
"Nita!" Hardik Theo.
Aku cukup kaget mendengar nada tinggi yang dikeluarkan Theo. Astaga, ia berani membentak adiknya sendiri di depan orang lain? Untung saja tempat ini sepi, jadi tidak ada yang melihat atau mendengar konfrontasi diantara kami.
"Udah, Nit. Yuk cari tempat duduk, katanya laper." Aku menyentuh tangan Nita lembut, takut Theo bakal tambah mempermalukan Nita. Wajah Nita kulihat merah padam karena menahan marah. Aku juga sama marahnya dengan Nita. Tapi mengamuk dan marah-marah di depan umum, bukanlah gayaku.
"Jadi kamu yang bernama Anjani? Tunangan Theo?" Pertanyaan dari perempuan itu mengurungkan langkahku dan Nita, yang hendak berlalu dari situ. " Aku Liana. Salam kenal ya."
*******
"Aku udah gak lapar Kak An. Jadi kenyang gara-gara ngeliat kelakuan Kak Theo kayak gitu," ucap Nita lesu, menusuk-nusuk makanan di piringnya.
Kami akhirnya memilih tempat yang agak jauh dari mereka berdua. Di taman samping, yang gak bisa melihat pemandangan mengganggu di pinggir kolam renang. Aku sebenarnya merasa bersalah pada Nita, gara-gara membelaku dia jadi bertengkar dengan Theo. Manalagi Theo berani membentak adiknya di depan umum. Keterlaluan.
"Gara-gara tadi dibentak Theo?" tanyaku. Kejadian tadi juga mendadak membuat selera makanku hilang entah kemana. Aku juga mendadak kenyang. Jadi kami berdua cuma mengaduk-aduk makanan di atas piring masing-masing. Tanpa ada niat untuk menyantapnya.
Mubazir memang, tapi mau bagaimana lagi? Perasaanku saat ini tidak mendukung untuk makan enak. Jadi perempuan itu yang bernama Liana. Sangat cantik, anggun dan berkelas. Semua yang ada di tubuhnya pasti barang mahal kualitas nomor satu. Lulusan Stanford. Berasal dari keluarga kaya. Sudah terlahir dengan sendok perak.
Duduk berdampingan dengan Theo, aku bisa melihat alangkah cocoknya mereka berdua. Sama-sama berasal dari keluarga kaya, sama-sama lulusan luar negeri. Pasangan yang diciptakan oleh surga.
Sangat jauh berbeda denganku.
"Nggak, tapi gara-gara ngeliat kelakuan Kak Theo yang gak masuk akal!" Ucap Nita penuh emosi. Aku tersenyum kecil, bertopang dagu menatapnya.
"Terima kasih ya, Nit. Kamu sudah ngebelain Kak An tadi. Tapi sebenarnya gak perlu, Kak An baik-baik aja kok. Kamu jadi dibentak sama Theo kan tadi."
"Nggak apa-apa, aku ngomong kenyataan kok. Bisa-bisanya Kak Theo ngelupain Kak An cuma buat nemenin Kak Liana. Yang tunangan Kak Theo itu kan Kak An. Bukan Kak Liana. Apa jadinya Kak An kalo tadi gak ketemu aku? Datang ke pesta asing, ditinggal sendirian, gak ada yang nemenin ngobrol. Itu keterlaluan menurut aku."
"Iya, Theo memang keterlaluan. Tapi marah-marah langsung di depan orang banyak juga gak bagus. Bisa-bisa malah jadi tontonan. Karena itu kakak gak mau jadi tontonan kalau bertengkar dengan Theo di sini. Mungkin opsi terbaik, kakak pergi aja dari sini."
"Tapi Kak An berhak marah. Kakak tunangan Kak Theo. Kak Theo yang gak seharusnya memperlakukan kakak kayak gini."
Aku tersenyum, meski terpaksa. Tunangan? Apa selama ini Theo menganggap aku sebagai tunangannya? Apa perlakuannya barusan padaku dapat dikatakan mencerminkan dirinya sebagai tunanganku? Theo, aku tidak buta. Tanpa kau beritahupun, aku tahu siapa perempuan itu bagimu.
Aku kembali menatap Nita lembut. "Apa kamu sekarang mau cerita sama kakak, apa yang menyebabkan mereka berdua putus?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Love Is Blue (END)
Ficción GeneralDua tahun lamanya Anjani bertunangan dengan Theo. Meski ada perbedaan jurang yang sangat besar dalam status sosial mereka, tapi Anjani berusaha menutup mata dan telinganya atas segala cemooh yang datang dari orang-orang disekelilingnya. Dari keluarg...