Akhirnya kami harus kembali ke Milan, setelah liburan yang menyenangkan di rumah Lessandro di Catania.
Keluarga Lessandro melepas kepergian kami dengan linangan air mata. Madre bahkan berkali-kali memelukku, seakan enggan berpisah. Nenek memberiku syal hasil rajutannya. Untuk menghangatkanku bila udara dingin.
Dan si kecil Agnolia menyelipkan bunga di telingaku.
Kali ini Lessandro tidak meminjam jet pribadi, tapi menumpang pesawat komersil biasa. Hanya saja di kelas satu.
"Kamu bahagia?" tanya Lessandro sambil menautkan jemari kami berdua dalam genggaman hangatnya. Matanya berbinar-binar menatapku.
"Tentu. Keluargamu orang baik. Terutama madre. Beliau sangat menyayangi anak-anaknya."
"Ehm..karena itu kamu tidak boleh mengecewakan madre. Kamu sudah janji untuk bersamaku. Tidak boleh ingkar."
Aku tersenyum mendengarnya. Tapi saat kami tiba di Milan, sebuah kejutan menantiku.
*******
Lessandro tentu saja mengantarku pulang hingga apartemen. Tapi yang mengejutkan kami berdua, Theo sedang duduk bersandar di depan apartemenku! Apa yang dilakukan Theo di sini?
"Si bastardo itu..." Geram Lessandro begitu kami keluar dari lift. Aku tertegun kaget. Tidak menyangka bakal melihat Theo di sini. Kupikir, dia sudah pulang ke Jakarta. Tapi nyatanya...
Theo perlahan bangkit begitu melihatku, namun saat matanya melihat Lessandro yang berdiri di sampingku. Wajahnya langsung berubah muram.
"Kamu pergi dengan si bule ini, An?" Matanya menatapku tajam. Lalu menatap Lessandro sengit, yang dibalas Lessandro tidak kalah sengitnya. "Sejak kapan kamu berani pergi berduaan dengan laki-laki yang bukan suamimu?"
"Bukan urusanmu! Ngapain kamu di sini? Kenapa belum pulang ke Jakarta?"
"Aku gak akan pulang tanpa kamu!"
"Dan kamu pikir aku mau pulang sama kamu?"
"Nggak ada alasan buat kamu nolak kan?"
"Theo! Berapa kali aku jelaskan sama kamu. Kita sudah tidak memiliki hubungan apa-apa lagi! Hidupku sekarang sudah tenang, jangan menggangguku lagi!"
"Aku nunggu kamu setiap hari di depan pintu apartemenmu selama seminggu, An! Berharap kamu kembali. Saat kamu menghilang begitu saja dari Paris, aku seperti orang gila mencarimu! Dan sekarang kamu tega mengusirku begitu saja?"
"Theo! Aku tidak pernah meminta kamu melakukan semua itu! Aku tidak ingin kembali denganmu!"
"Kamu milikku! Sampai kapanpun kamu tetap milikku!"
"Tesoro, apa bastardo ini mengganggumu?" tanya Lessandro tidak sabar. "Aku tidak mengerti apa yang kalian perdebatkan. Tapi kalau kamu mau, aku tidak keberatan memukulnya!"
"Tidak perlu. Aku tidak mau kamu mendapatkan kesulitan karena aku." Kataku menggeleng pelan. Lalu kembali menatap Theo. "Theo, pergilah. Jangan mencariku lagi. Sampai kapanpun aku tidak mungkin kembali padamu. Seperti dulu kamu melepaskanku, sekarang aku yang melepaskanmu. Dan asal kamu tahu, Theo. Kami akan menikah jadi jangan menemuiku lagi!"
Aku tidak tahu, mengapa mengucapkan kata-kata itu. Tapi aku melihat perubahan di wajah Theo. Dan matanya yang dilumuri rasa sakit.
"Menikah?"
"Ya, jadi tolong jangan lagi mencariku."
Aku tahu ini kejam. Melemparkan sebuah kenyataan pahit kehadapan Theo. Namun kupikir, hanya ini satu-satunya jalan aku bisa menyingkirkan Theo dari hidupku. Agar ia berhenti menggangguku, berhenti memaksaku. Karena akupun baru tahu, bila Theo memiliki sifat menakutkan seperti ini.
"Aku gak percaya kamu memilih si bule ini daripada aku, An."
"Kalau begitu kamu harus percaya."
"Aku gak mungkin kalah darinya. Oke, kalau itu memang keputusan kamu. Aku harap kamu gak akan menyesal!" Ada kilat berbahaya di mata Theo yang membuatku merasakan firasat buruk.
"Apa maksud kamu, Theo?"
"Kamu masih punya orang yang kamu sayangi di Jakarta kan? Apa tanggapan kamu kalau aku menghancurkan orang itu?"
"Kamu gak akan bisa!" Seruku tertahan, yang tentu saja mengerti dengan ucapan Theo. Siapa yang ia maksud dengan orang yang kusayangi itu.
"Oh ya? Kalau begitu, kamu belum mengenalku dengan baik!" Theo tersenyum sinis. Nada bicaranya semakin berbahaya. "Aku bisa melakukan apa saja, bahkan perbuatan yang kamu pikir gak mungkin bisa aku lakukan. Asalkan itu bisa membuatmu kembali padaku!"
"Kamu bukan Tuhan, Theo. Yang memiliki kemampuan sebesar itu untuk menghancurkan hidup orang. Ingat, masih ada hukum di dunia ini."
"Memang. Tapi aku yakinkan kamu, aku bisa dan mampu. Saat hari itu tiba, aku akan memastikan. Kamu sendiri yang akan datang padaku. Kamu akan kembali padaku, karena kamu itu milikku!"
Aku tidak tahu, apakah Theo bersungguh-sungguh dengan ancamannya barusan. Ataukah itu hanya omong kosong belaka.
Tapi yang pasti, aku merasakan akan ada badai menghalangi jalan di depanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Is Blue (END)
General FictionDua tahun lamanya Anjani bertunangan dengan Theo. Meski ada perbedaan jurang yang sangat besar dalam status sosial mereka, tapi Anjani berusaha menutup mata dan telinganya atas segala cemooh yang datang dari orang-orang disekelilingnya. Dari keluarg...