Bab 1

17K 923 10
                                        

Seharusnya aku tidak datang ke tempat ini, pikirku sambil menatap keramaian pesta di depanku. Duduk di sudut seorang diri, pura-pura asyik bermain ponsel, tanpa seorangpun yang menyapa. Rasanya aku lebih mirip tamu tak diundang daripada menjadi partner seseorang, yang semenjak tiba di tempat ini menghilang entah kemana.

Suara tawa dan obrolan hangat terdengar seru, tidak ada satupun orang di pesta ini yang aku kenal. Ah, mungkin ada. Dan mereka yang aku kenal adalah teman-teman Theo, yang aku jamin tidak akan sudi menyapaku lebih dulu. Atau sekedar basa-basi mengajakku berbincang.

Dari dulu, semenjak aku mengenal Theo. Dan bahkan telah dua tahun menjadi tunangannya, aku sangat menyadari dilingkaran pertemanan Theo. Tidak ada teman-temannya yang tulus menyukaiku. Mereka menyapa ramah hanya di depan Theo, sekedar basa-basi biar tidak dicap sombong. Bahkan keluarga dan saudara-saudara Theo pun sama. Ramah tapi menjaga jarak. Senyum tapi tidak tulus.

Aku kembali mengedarkan pandangan, mencoba mencari keberadaan Theo. Tapi jangankan bayangannya, tanda-tanda kehadirannya saja tidak kulihat. Kemana sih Theo? Tadi dia bilang mau menemui teman lama sebentar. Tapi yang dibilang sebentar, sampai sekarang tidak balik-balik. Dia cuma menyuruh aku menunggu di sini. Teganya.

Aku juga tidak tahu ini pesta siapa, dan yang mana pemilik pesta. Saat di pintu masuk tadi, aku cuma sempat melihat karangan bunga yang luar biasa besar dan pasti mahal. Dengan tulisan: selamat untuk kelulusannya. Dan gelar S2 dari Stanford university. Untuk Liana Hardinoto dari bla..bla..

Itu tulisan dari karangan bunga diantara puluhan karangan bunga lainnya, yang kulihat bertebaran dari gerbang depan rumah sampai pintu depan rumah ini.

Jadi siempunya pesta ini Liana. Dan ini kediaman Hardinoto, pemilik jaringan supermarket besar di Indonesia. Pantas rumahnya sudah kayak istana negara. Sebelas dua belas sama rumah orang tua Theo. Apa Liana ini teman lama yang dimaksud Theo?

"Kak Anjani? Jadi ini beneran Kak Anjani? Kupikir aku salah lihat, mau nyapa takut salah. Ternyata memang benar Kak An."

Aku mendongakan kepala karena terkejut. "Nita?" tanyaku dengan nada senang. Akhirnya, ada juga orang yang aku kenal dan mau menyapaku di pesta ini. Syukurlah.

Anita Galinggih, atau biasa dipanggil Nita adalah adik bungsu Theo. Gadis berusia delapan belas tahun ini baru beberapa bulan yang lalu menyandang gelar mahasiswi. Dari salah satu universitas negeri di Depok.

Diantara anggota keluarga Galinggih yang lain, memang cuma Nita yang baik dan akrab denganku. Baik dalam artian bukan baik yang pura-pura, tapi karena memang tulus dari dalam hatinya. Bahkan jika aku datang ke rumah Theo, aku lebih sering mengobrol dengan Nita ketimbang dengan ibu mertuaku sendiri.

"Kak An datang sama Kak Theo? Kak Theonya mana, kak?"

"Nggak tahu. Tadi pamit mau ketemu sama teman lama dia katanya, tapi sampai sekarang gak balik-balik."

"Kak Theo ninggalin Kak An begitu saja di sini? Keterlaluan banget sih Kak Theo." Nita yang kini ikut duduk di sampingku kelihatan kesal. Aku sendiri sangat senang dengan kehadiran Nita yang kini malah menemaniku. Lumayan ada teman ngobrol. Jadi tidak bengong sendirian.

Aku sendiri tidak menyangka kalau Nita juga bakal datang ke pesta ini, kalau tahu Nita juga datang. Mending aku bareng Nita saja datangnya, tidak cuma berduaan dengan Theo. Setidaknya kami bisa datang bertiga.

"Kamu datang ke sini sama siapa, Nit?" tanyaku penasaran. Kayaknya gak mungkin Nita datang sendirian.

"Sama papa mama, tuh lagi ngobrol sama orang tua Kak Liana. Aku kabur, males ikut obrolan orang-orang tua." Nita mengerucutkan bibirnya lucu. Oh, jadi calon mertuaku juga datang ya. Gak heran sih, Theo sempat bilang padaku sebelum datang ke pesta ini. Kalau empunya pesta, keluarga Hardinoto adalah teman baik keluarganya. Aku sedang berpikir apa aku harusnya menyapa kedua calon mertuaku sekarang atau nanti saja menunggu Theo datang, saat suara Nita kembali terdengar.

"Kak Theo benar-benar keterlaluan. Bisa-bisanya ninggalin Kak An sendirian, Kak Theo pasti juga belum ngenalin Kak An sama tuan rumah pesta ini kan?"

Aku menggeleng. "Belum, mungkin Theo ada urusan penting Nit, jadi ninggalin Kak An begitu saja."

"Urusan penting apa? Palingan dia lupa sama Kak An karena sudah ketemu sama Kak Liana." Nita mencibir tidak suka. "Taruhan, Kak An pasti juga belum dikenalin sama Kak Liana kan?"

Aku lagi-lagi menggeleng. Yang namanya Liana saja aku nggak tahu yang mana. Dan kenapa Nita bisa ngomong begitu? Theo lupa padaku karena ketemu Liana? Siapa sih Liana itu? Apanya Theo dia itu? Kenapa perasaanku tiba-tiba gak enak?

"Kak An udah makan belum?" Nita melihatku, matanya memicing melihat gelas minuman di tanganku. "Belum ya? Kak Theo ninggalin Kak An begitu saja, sendirian, tanpa ingat Kak An sudah makan apa belum. Ck, Kak Theo benar-benar ya."

Aku cuma meringis mendengar ucapan Nita. Aku tidak berani membantah, apa yang dia ucapkan memang benar. Saat baru datang, Theo memang berbaik hati mengambilkan aku minuman dan menyuruhku duduk di sudut ini. Sebelum dia menghilang entah kemana.

Boro-boro makan. Mau mencicipi kue-kue yang ada di meja saja aku tidak berani. Aku merasa sungkan, mungkin malu tepatnya. Tidak ada yang aku kenal, terasa aneh rasanya menerima pandangan orang yang melihatku seakan aku tamu yang salah tempat. Mungkin jika aku mencicipi sepotong kue, kue itu bakal tersangkut di tenggorokan.

Sempat menyesal juga, tadi tidak sempat makan kenyang sebelum datang ke pesta ini. Jadi tidak perlu kelaparan seperti ini.

"Ya udah Kak An, ayo makan bareng aku aja. Aku juga belum makan, laper."

"Kamu aja yang makan, Nit. Kak An nanti saja, nanti kalo Theo datang dan Kak An gak ada gimana? Takut dia nyariin kakak nanti." Aku menolak dengan halus. Nggak apa-apalah kelaparan. Sudah biasa juga nahan lapar. Karena aku masih sungkan, sudah seperti tamu yang numpang makan gratisan. Belum kenal sama tuan rumah, tapi sudah makan makanannya. Aku cukup tahu diri kok.

"Cih, kayak Kak Theo bakal nyariin kakak aja. Percaya sama aku kak, saat ini Kak Theo ingat Kak An aja nggak."

"Kok bisa gitu, Nit?" Aku mengernyit bingung.

"Yah..nanti kakak juga bakal tahu. Sudah yuk, kita makan. Kenyangin perut dulu, nanti habis makan kalau Kak An mau marah atau ngamuk juga nggak apa-apa. Aku dukung."

Nita menarikku untuk mengikutinya menuju meja prasmanan. Selesai mengambil hidangan, ia mengajakku untuk duduk dan makan di dekat kolam renang yang terletak di belakang rumah.

Ada banyak kursi yang diletakkan di situ. Mungkin memang untuk duduk para tamu yang ingin tempat agak sepi. Karena area di dekat kolam renang ini memang relatif sepi.

Saat itulah aku melihat, Theo sedang duduk di pinggir kolam. Disalah satu kursi yang ada, bersama seorang wanita!

Love Is Blue (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang