Kedua tim memasuki lapangan dengan menggandeng bocah junior yang juga mengenakan jersey tim sama dengan mereka.
Aku melirik Miuccia yang mengeluarkan teropong kecil untuk melihat ke arah lapangan. Dalam jarak segini dia masih pakai teropong?
"Nih." Miuccia menyodorkan teropong mini yang baru saja dipakainya padaku.
"Buat apa?"
"Biar jelas lihat Lessandronya."
"Memang segini kurang jelas?"
"Tentu saja. Udah pake aja. Lihat sana pangeranmu. Sok gengsi."
Aku berdecak sebal, kami sudah duduk di tribun yang cukup dekat dengan lapangan. Aku juga bisa melihat semua pemain dengan jelas dari tempatku duduk tanpa harus pakai teropong. Bukan cuma titik-titik kecil kayak semut, yang mungkin tidak terlihat jelas dari ujung belakang sana.
Tapi daripada Miuccia ngomel, kuterima juga teropong itu. Mengarahkannya ke tengah lapangan. Wow, aku ternganga takjub. Kualitas teropong yang digunakan Miuccia sangat bagus.
Semua pemain terlihat jelas. Segera saja kuarahkan teropong itu untuk mencari...siapa yang kucari?
"Gimana? Udah lihat? Jelas kan?"
Deg!
Aku sontak menurunkan teropong itu, baru saja aku melihat Lessandro. Terlihat tampan dengan jersey timnya. Sedang berbicara serius dengan kapten tim.
Kenapa auranya terlihat berbeda saat ia sudah mengenakan jersey tim? Terlihat ganteng, gagah dan benar-benar memancarkan aura bintang lapangan hijau.
Aku mengembalikan teropong itu pada Miuccia. Tidak menjawab pertanyaannya. Masih bingung memikirkan, apa yang membuat aura Lessandro terlihat berbeda?
*************
"Amore mio." Malamnya Lessandro melakukan video call denganku. Ia sudah tidak mengenakan jersey tim, dari latar di belakangnya ia terlihat sudah berada di dalam kamar hotel. "Bagaimana menurutmu penampilanku hari ini?"
"Hebat," kataku. Dalam pertandingan yang tadi pagi kusaksikan dengan Miuccia, AC Milan menang 2-1, melawan Sporting Lisbon. Satu gol tercipta dari tendangan Lessandro.
Terus terang, baru tadi aku melihat kehebatan Lessandro dalam mengolah si kulit bundar di lapangan hijau. Berlari, memberi umpan dan menerima umpan, mengecoh lawan, dan semua hal yang ia lakukan di lapangan tadi membuatku ternganga.
Pantas saja Miuccia memuji setinggi langit soal kehebatan Lessandro dan perannya sebagai seorang play maker dalam tim. Ia sudah membuktikannya tadi.
Dengan skill yang ia miliki, dalam usia semuda itu sudah menjadi pemain inti dalam pertandingan bergengsi sekelas liga champion. Lessandro patut mendapatkan decakan kagum siapa saja.
Ia begitu berbakat. Seakan ia memang terlahir untuk menjadi pemain sepak bola. Tidak akan mengherankan bila ia terus bersinar cemerlang seperti ini, ia akan menjadi pemain muda yang kiprahnya akan diperhitungkan dalam kancah internasional.
Usianya saat ini baru dua puluh satu tahun. Dan perjalanan karirnya masih panjang.
"Eh, kok tahu aku tadi menonton pertandingan itu?"
"Tentu saja." Ia menatapku sambil nyengir. "Aku kan tadi sempat melihat kearah tribun tempat kalian menonton."
"Memang kelihatan?"
"Tentu. Buatku, di manapun kamu berada, carissima. Aku pasti bisa menemukanmu."
Seharusnya aku tidak perlu memerah malu mendengar ucapan gombalnya itu. Tapi tak urung aku tersipu juga, agak salah tingkah.
Berapa sih umurmu Anjani? Digombali seorang bocah masih tersipu begitu? Aku mengutuk dalam hati. Ini pasti efek gara-gara terkagum-kagum dengan aksi Lessandro di lapangan hijau tadi. Ya pasti. Aura bintang sepak bola sekelas AC Milan memang beda ya? Meski aku tidak tahu di mana bedanya.
"Kenapa tertawa?" tanyaku melihat Lessandro yang semakin lebar senyumnya. Malah sudah berubah menjadi tawa. Sebal. Apa ia sedang menertawakanku? Apanya yang lucu coba?
"Tesoro, kamu cantik kalau sedang tersipu malu begitu." Goda Lessandro lagi dengan gombalannya. "Jadi tidak sabar ingin berkencan denganmu."
"Itu kalau AC Milan jadi juara liga champion, kalau tidak..."
"Pasti. Kami pasti jadi juara." Potong Lessandro cepat.
"Kenapa begitu yakin?" tantangku. Lessandro semakin menatapku dalam. Tatapannya membuat hatiku tergetar. Kenapa ia menatapku seperti itu?
"Karena aku tidak sabar ingin menciummu."
?????

KAMU SEDANG MEMBACA
Love Is Blue (END)
Ficción GeneralDua tahun lamanya Anjani bertunangan dengan Theo. Meski ada perbedaan jurang yang sangat besar dalam status sosial mereka, tapi Anjani berusaha menutup mata dan telinganya atas segala cemooh yang datang dari orang-orang disekelilingnya. Dari keluarg...