Aku duduk dikursi sofa yang diletakan di depan jendela kamar apartemen Theo. Memandang keramaian lalu lintas di bawah sana.
Apartemen milik Theo ini terletak di daerah senayan. Dekat kemana-mana. Ke mall dekat, ke rumah sakit dekat, apalagi restoran.
Dengar-dengar harga sewanya mahal. Apalagi kalau beli. Tapi Theo tidak menyewa, ini apartemen pribadinya. Dibeli cash.
Aku tidak tahu sejak kapan Theo punya apartemen semewah ini. Karena selama menjadi tunangannya, aku belum pernah menginjakan kaki ke tempat ini.
Apa ini tempat rahasia pribadinya? Aneh, setelah putus malah membawaku ke tempat ini.
Apartemen ini mungkin sudah lama dimiliki Theo. Mungkin di tempat ini dulu Theo sering mengajak Liana kencan. Dan melakukan aktivitas dua puluh satu tahun ke atas.
Mengingat aktivitas dua puluh satu tahun ke atas, aku jadi merinding. Teringat satu jam yang lalu, Theo nyaris merenggut kesucianku.
Untunglah otaknya masih waras. Mungkin karena tangisanku yang menyayat hati atau tangis ketakutanku. Ia menghentikan aksinya. Meninju dinding di belakang tempat tidur keras, hingga tangannya terluka. Lalu pergi begitu saja dengan kedua bodyguardnya.
Tapi sial, saat aku mau ikut pergi dari sini. Pintunya ternyata di kunci. Dengan nomor sandi. Aku tidak tahu nomor sandinya. Dan cuma bisa mengutuk Theo habis-habisan.
Aku harus kabur dari sini, pikirku muram. Menatap gelapnya malam di luar, yang terlihat hanya lampu-lampu gedung di bawah sana. Dan lampu-lampu gedung yang tingginya sama dengan apartemen ini. Juga kendaraan di jalan raya yang terlihat seperti semut berbaris.
Sudah jam sembilan malam, tapi kemacetan di Jakarta belum juga berkurang.
Kalau aku tidak secepatnya kabur dari sini, tidak ada jaminan apa yang akan dilakukan Theo tadi tidak terjadi lagi. Mungkin saat ini ia bisa mengendalikan dirinya, tapi bagaimana lain kali? Aku tidak mau mengambil resiko.
Tapi bagaimana bisa kabur dari sini? Theo dan pengawalnya tidak ada, tapi pintu kamarnya terkunci. Pakai kata sandi lagi. Sial!
Aku masih duduk bengong di depan jendela sampai tidak sadar ada dua sosok tubuh memasuki apartemen. Dan langsung menghampiriku.
"Kak An."
Aku menoleh kaget. "Nita??"
Nita langsung memelukku yang kusambut dengan gembira. Nita tidak tahu betapa gembiranya aku bertemu dengannya. Tanpa sadar, aku jadi sesegukan.
"Syukurlah aku berhasil menemukan Kak An. Kakak..baik-baik aja?"
"Aku gak apa-apa. Baik kok." Oh, Nita. Andai kamu tahu, bahwa beberapa jam yang lalu kakakmu nyaris memperkosaku. Hanya nasib baik yang menyelamatkanku.
"Kamu...bagaimana kamu tahu aku di sini?"
"Ceritanya nanti saja, kak. Yang penting kita pergi dulu dari sini. Aku gak tahu sampai kapan Kak Theo pergi, dia bisa kembali sewaktu-waktu."
Ya, benar. Yang terpenting adalah pergi dulu dari sini. Kabur dari cengkraman Theo.
*******
"Kak An tambah cantik," kata Nita sambil meletakan secangkir teh manis hangat di meja di hadapanku. "Pantas Kak Theo mati-matian ngejar Kak An lagi kayak orang gila."
Aku cuma tersenyum sumir. Tidak merasa bangga dengan pujian Nita. Dikejar pria obsesi seperti Theo, siapa yang tidak takut? Ia bahkan berani mengurungku di apartemennya. Seakan tindakannya itu sesuatu yang wajar.
Padahal sudah menjurus kriminal. Dalam benakku, aku sedang berpikir untuk melaporkan hal ini pada polisi. Tapi aku harus tahu keadaan Kak Mel lebih dulu. Bagaimana situasi dia yang sebenarnya.
Tadi, saat Nita muncul di apartemen Theo, aku sangat kaget sekaligus senang. Nita ternyata datang untuk menyelamatkanku dan sudah curiga dengan Theo dari jauh hari.
"Aku gak sengaja mendengar pembicaraan Kak Theo ditelpon yang mengancam Kak An. Memberi perintah Kak An untuk pulang ke Jakarta. Dan ternyata kecurigaanku terbukti. Aku dan Denis sudah berhari-hari membuntuti Kak Theo, aku kaget waktu melihat Kak An bersama Kak Theo."
Denis, cowok yang duduk disamping Nita adalah pacarnya. Sebenarnya dari apartemen Theo, aku mau langsung ke rumah Kak Mel di Kemang.
Tapi Nita mencegah, ia khawatir Theo bakal tahu aku di rumah Kak Mel. Karena itu ia membawaku ke rumah sewa milik Denis yang tidak akan di ketahui Theo di daerah kayu putih. Ia berjanji bakal menghubungi Kak Mel agar bisa bertemu denganku.
Tapi tentu saja semua harus rahasia dan sembunyi-sembunyi, takut kalau Theo bakal menemukanku lagi. Sebenarnya, aku bisa kabur dari apartemen Theo bukan hanya berkat bantuan Nita. Tapi juga faktor keberuntungan.
Kalau Theo tidak pergi membawa dua pengawalnya. Mana mungkin aku bisa kabur? Untungnya lagi, Nita juga tahu nomor sandi apartemen Theo. Karena suka berkunjung ke sana.
"Nit, apa orang tuamu gak tahu kelakuan Theo yang kayak gini?" tanyaku.
Wajah Nita mendadak muram mendengar pertanyaanku. "Kondisi mama sama papa gak bagus, Kak An. Saat tahu anak yang dilahirkan Kak Liana bukan anak Kak Theo, mama kena serangan jantung. Dan papa..kena stroke."
Aku terkejut mendengarnya.
"Kondisi mama sudah agak baik, tapi papa..." Suara Nita serak. Berusaha menahan tangis, Denis yang duduk disampingnya cepat-cepat memeluknya erat dan mengelus punggungnya lembut.
"Peristiwa itu mengejutkan kami semua, kak. Papa gak tahan menanggung aib. Berita itu sudah berusaha kami tekan. Tapi entah kenapa, bisa bocor ke wartawan. Dan yang paling terpukul dari semuanya adalah Kak Theo."
Untuk Tuan Galinggih yang terhormat, dengan harga diri dan kebanggaan setinggi puncak everest. Tentu saja peristiwa itu merupakan aib yang sangat memukulnya. Apalagi sampai dimuat disurat kabar.
Ah, dalam hampir dua tahun aku pergi, tanpa kusangka ada begitu banyak hal terjadi pada keluarga itu.
"Peristiwa itu juga membuat Kak Theo nyaris gila."

KAMU SEDANG MEMBACA
Love Is Blue (END)
General FictionDua tahun lamanya Anjani bertunangan dengan Theo. Meski ada perbedaan jurang yang sangat besar dalam status sosial mereka, tapi Anjani berusaha menutup mata dan telinganya atas segala cemooh yang datang dari orang-orang disekelilingnya. Dari keluarg...