Bab 14

9.2K 828 6
                                    

Milan, Italia.

Duduk-duduk santai di kafe yang banyak terdapat di setiap sudut kota Milan, sambil memakan gelato dan memandang orang hilir mudik di depanku, sungguh pemandangan yang memanjakan mata.

Milan, yang merupakan salah satu kota mode dunia, memang gudangnya toko-toko dengan brand ternama. Dan seperti umumnya kota mode dunia, melihat pria dan wanita, tua-muda yang mengenakan pakaian bermerk dengan model yang up to date, bukan lagi pemandangan yang luar biasa.

Bahkan hanya dengan duduk-duduk di kafe ini, melihat orang yang hilir mudik, seperti menonton pertunjukan fashion show di atas catwalk.

Sudah enam bulan aku berada di Milan. Bekerja di bawah naungan rumah mode Monelo. Kepala desainernya adalah Francesco corzanni. Sedangkan Simonetta selain desainer, pemilik sekaligus CEO dari Monelo.

Rumah mode Monelo dengan brand Monelonya sudah berdiri sejak tahun 1980-han. Tapi saat itu namanya bukan Monelo. Tapi Amore. Dan hanya memproduksi pakaian pria.

Tapi semenjak di bawah kepemimpinan Simonetta, Monelo berubah nama dan kini bukan hanya memproduksi pakaian pria. Tapi juga pakaian wanita, kaca mata, sepatu, parfum dan berbagai aksesoris kelas atas lainnya.

Ada lebih dari empat ratus toko dan butik Monelo di seluruh dunia. Dengan lebih dari tiga ribu karyawan. Monelo terkenal dengan produk barang-barang mewahnya yang setara dengan Prada, Gucci dan juga Dolce&Gabbana.

Di bawah tangan dingin Simonetta, Monelo memiliki pendapatan sekitar enam ratus juta euro setiap tahunnya. Dan aset senilai tiga milyar euro lebih.

Semula aku direkrut Simonetta untuk di tempatkan di bagian desain pakaian wanita. Tapi saat melihat hasil desain pakaian pria yang kubuat, Simonetta meminta agar aku mendesain pakaian pria.
Ia bilang pakaian pria hasil rancanganku memiliki 'jiwa' nya sendiri. Entah apa yang dia maksud.

Aku sendiri tidak masalah dengan itu. Baik mendesain pakaian wanita maupun pria, bagiku sama saja. Bahkan kini bukan hanya mendesain pakaian pria, terkadang baik Simonetta maupun Franscesco meminta aku ikut mendesain pakaian wanita.

Bekerja di brand lokal saat di Indonesia dengan brand dunia sekelas Monelo tentu berbeda. Di sini persaingan begitu ketat dan kami dituntut kreatifitas yang tinggi. Tapi banyak pengalaman yang bisa aku petik.

Bertemu perancang-perancang kelas dunia lainnya, mengikuti pagelaran busana tingkat dunia macam Milan fashion week ataupun Paris fashion week. Menghadiri met gala dan Alta moda.

Pengetahuanku pun makin bertambah. Selain pengalaman dan teman baru.

Aku jadi teringat awal aku menerima tawaran Simonetta. Ia memberiku kesempatan tiga bulan untuk mempersiapkan semuanya. Surat-surat, dan juga kendala bahasa.

Selama tiga bulan aku mati-matian belajar bahasa Italia. Meski Simonetta lancar berbahasa Inggris, tapi tak ada jaminan rekan-rekanku di Monelo juga fasih berbahasa Inggris. Apalagi orang Italia sangat bangga dengan bahasa ibunya.

Jadi selain sibuk mengurus surat-surat, aku juga sibuk kursus bahasa Italia. Dan meski saat pertama kali aku menginjakkan kaki di Milan, bahasa Italiaku belum begitu lancar. Tapi lumayanlah untuk berkomunikasi dasar.

Untungnya teman-teman baruku yang kebanyakan orang Italia, cukup ramah mengajariku bahasa Italia. Atau menjelaskan kosa kata yang tidak kumengerti.

Dan kini, tanpa terasa enam bulan aku berada di Milan. Bahasa Italiaku sudah lumayan berkembang. Aku sudah lancar berbicara bahasa Italia. Yang awalnya tidak mengerti dengan setiap lelucon yang dilontarkan teman-temanku, kini sudah mengerti dan bisa ikut tertawa.

Perlahan, aku sudah mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan baruku. Dengan teman-teman baru, suasana kerja dan juga makanannya!

Meski terkadang aku merindukan pecel lele atau mie ayam. Atau kangen nasi padang dan nasi pecel. Tapi sejauh ini, aku mulai membiasakan diri untuk menikmati makanan Italia. Pasta, rissoto, pizza dan kawan-kawannya.

Terus terang, aku tidak pernah merindukan Jakarta. Sebagai gadis yatim piatu dan tidak memiliki sanak saudara. Siapa yang harus aku rindukan? Bahkan seseorang yang pernah menempati ruang istimewa di hatiku, telah mencampakkanku.

Mungkin, hanya Kak Mel yang terkadang bikin kangen. Kangen obrolannya atau saat kami hang out bareng. Atau juga diskusi soal rancangan terbaru kami. Selain itu, tidak ada lagi yang kurindukan.

Di kota ini, aku sudah mengubur cinta dan kerinduanku untuk selamanya.

Love Is Blue (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang