Kunjungan Theo ke butik hanya menimbulkan pertengkaran diantara kami berdua. Ia menuduhku pecemburu, terlalu curiga yang menuduhnya selingkuh tanpa alasan.
Ia juga sempat melontarkan kekecewaannya padaku, nekat mengikuti kompetisi itu tanpa persetujuannya.
Meski sampai sekarang, aku tidak mengerti apa yang membuatnya selalu melarangku untuk mengikuti kompetisi serupa setiap tahunnya.
Tahukah dia, menjadi seorang desainer yang karyanya diakui di kancah nasional itu adalah impianku semenjak dulu? Juga keinginanku untuk belajar mode di Paris? Kenapa ia tidak pernah mendukung apa yang kuinginkan? Kenapa ia selalu mencoba menghalangiku untuk meraih mimpiku?
"Aku pernah kehilangan Liana karena membiarkannya meraih impiannya. Apa aku harus kehilangan kamu juga bila kamu nekat mengikuti kompetisi itu demi mewujudkan mimpimu?"
"Tapi aku bukan Liana. Bagaimana kamu begitu yakin akan kehilangan aku bila aku berhasil mewujudkan mimpiku?"
"Tapi juga gak ada jaminan aku gak bakal kehilangan kamu kalau mimpi kamu terwujud!"
"Theo..," ucapku getir. "Kamu minta supaya aku percaya sama kamu. Tapi kamu sendiri tidak menaruh sedikitpun kepercayaan kepadaku. Ini gak adil, Theo!"
"An, apa gak cukup kamu tetap seperti ini? Menjadi perancang di bawah naungan Mels clothing?"
"Tapi aku memiliki impian, Theo. Aku ingin memiliki Brand sendiri. Aku ingin karyaku diakui atas namaku sendiri. Tidakkah kamu mengerti betapa berartinya itu bagiku?"
"Untuk apa kamu mewujudkan impianmu kalau kamu harus kehilangan orang yang kamu cinta? Paris itu jauh, An. Berapa ribu jarak yang harus ditempuh untuk mewujudkan mimpi kamu itu?"
"Bukankah dua orang yang saling mencintai, harusnya saling mendukung satu sama lain, Theo? Aku mendukung semua impian dan keinginan kamu, apa terlalu sulit bagimu untuk mendukungku meraih mimpiku?"
Theo tidak menjawab dan aku tidak memerlukan jawabannya. Karena tanpa ia katakanpun, aku sudah tahu jawabannya.
Dan setelah pertengkaran itu, kami tidak lagi bertemu dan lost kontak. Tidak ada telpon maupun pesan chat yang sering dikirimkan Theo padaku. Seolah ia sengaja menghilang dariku begitu saja.
Tapi aku tidak peduli. Apapun yang akan terjadi, biarlah terjadi. Aku sudah terlalu lelah menjadi 'boneka' Theo.
Selama ini aku selalu membiarkan Theo mengatur hidupku. Theo tidak suka perempuan berambut pendek, maka ia melarangku memotong rambut panjangku. Ia tidak suka perempuan memakai celana jeans atau pakaian ala cowok lainnya yang mengesankan cewek tomboy. Maka aku selalu memakai rok. Ia tidak suka ini, tidak suka itu. Maka aku harus menurutinya.
Ia hanya memerlukan seorang kekasih yang penurut dan bersikap manis, tanpa perlu peduli dengan perasaan sang kekasih sendiri.
Apakah ia tahu, memakai rok saat menaiki angkutan umum itu sangatlah riskan? Apakah ia tahu betapa repotnya aku harus mengurus rambut panjangku yang kini hampir melebihi pinggang setiap harinya? Aku harus kerap menggulung rambut panjangku saat sedang membuat sketsa atau mengerjakan rancangan busana terbaru. Dan apakah ia tahu, betapa tersiksanya aku saat harus mengenakan sepatu berhak tinggi dan gaun yang menampilkan keanggunan seorang wanita, bila aku pergi keluar dengannya?
Ia tidak peduli dan tidak mau peduli.
Sama tidak pedulinya bila aku sedang berhadapan dengan orang tuanya dan ditanya macam-macam dengan pertanyaan yang menyudutkanku. Sama tidak pedulinya bila aku merasa canggung saat berkumpul bersama teman-temannya, karena tidak ada satupun yang mengajakku berbicara!
Dan puncaknya adalah saat di pesta Liana! Saat ia meninggalkanku begitu saja seorang diri, dan tega membentak Nita yang saat itu membelaku. Karena tidak puas dengan kelakuannya yang memperlakukanku seenaknya.
Tahukah dia, perbuatannya itu sangat menyakitiku? Kenapa ia harus memarahi orang yang sudah begitu baik mau membelaku? Saat ia memarahi Nita, itu sama saja dengan dia memarahiku! Memarahiku di depan perempuan lain!
Dan semenjak hari kedatangannya ke butik yang memicu pertengkaran kami, entah sudah berapa lama aku dan Theo tidak bertemu.
Aku sibuk mempersiapkan diri untuk mengikuti kompetisi yang akan berlangsung beberapa minggu lagi. Selama itu pula aku banyak berpikir. Bagaimana kelanjutan hubungan kami ke depannya? Apakah status pertunangan diantara kami berdua masih bisa dipertahankan? Masih berartikah status pertunangan diantara kami, yang nyatanya lebih rapuh dari seutas benang tipis?
Dan saat aku memikirkan hal itu, sebuah kabar tak terduga aku terima. Kabar yang memporak porandakan duniaku. Meremukkan hatiku dan menghancurkan perasaanku menjadi berkeping-keping. Menghempaskanku dalam realita yang sangat menyakitkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Love Is Blue (END)
General FictionDua tahun lamanya Anjani bertunangan dengan Theo. Meski ada perbedaan jurang yang sangat besar dalam status sosial mereka, tapi Anjani berusaha menutup mata dan telinganya atas segala cemooh yang datang dari orang-orang disekelilingnya. Dari keluarg...