Bab 6

9.4K 778 9
                                        

"Kamu melamun lagi," Kak Mel menjentikan tangannya di depanku. Ruangan ini selain kantorku juga kantor Kak Mel. Di sini biasanya kami berdiskusi tentang rancangan gaun terbaru untuk Mels clothing. Meja kantorku dan Kak Mel juga berdekatan. Kantor ini terletak di belakang butik, samping fitting room. Letaknya agak terpencil agar tidak mengganggu customer yang datang. Tempatnya juga tidak terlalu luas. Tapi cukup nyaman untuk sebuah kantor yang berada di dalam butik sebuah mall. Bahkan ada sofa panjang dan empuk, yang sengaja diletakan untuk duduk selonjor melepas lelah.

Aku bahkan sering ketiduran di sofa itu kalau tubuh terlalu penat.

"Mau cerita?" tanya Kak Mel yang sepertinya paham apa yang membuatku melamun dari tadi.

"Cerita apa?"

"Apa saja yang saat ini ada di kepala kamu. Seperti masalahmu sama Theo atau soal pesta yang kamu datangi kemarin? Kenapa gak cerita? Gimana pesta itu? Makanannya enak? Dekorasinya mewah? Tamu-tamunya pasti dari kalangan jet set dong yah.."

"Kak Mel nyindir ya?"

"Kok, nyindir? Aku justru iri, kamu bisa masuk ke lingkungan kelas atas kayak gitu."

"Kayak Kak Mel bukan dari kelas atas aja. Desainer ternama, punya pelanggan kelas atas. Dibandingin sama aku, jauhlah."

"Makanya jangan suka ngebandingin, bikin sakit hati nanti."

"Nggak, siapa juga yang sakit hati? Aku terima kok nasibku begini."

"Udah kayak lagu aja kamu.."

Kami berdua tertawa bareng. "Seneng bisa lihat kamu ketawa lagi, sekarang udah siap buat cerita?" tanya Kak Mel.

"Sebelum cerita, boleh gak aku nanya?"

"Nanya apa?"

"Aku tahu dulu Kak Mel dan mantan suami cerai karena orang ketiga kan?"

"Jadi masalahmu juga karena hadirnya orang ketiga?"

"Orang ketiga yang juga mantan cinta pertamanya. Dan lebih parahnya lagi, banyak yang bilang wajahnya mirip denganku."

Lalu aku menceritakan pembicaraanku dengan Nita dan juga ucapan Niken yang kini kuingat setelah bertahun-tahun. Mirip, hanya dalam versi lebih sederhana.

"Apa dia beneran mirip sama kamu? Kamu udah liat orangnya?"

"Aku merasa gak mirip. Dia lebih cantik, lebih anggun dan lebih.."

"Kaya?" Potong Kak Mel cepat. "Kenapa kamu jadi merasa minder begitu? Siapa sih di dunia ini yang minta dilahirkan jadi orang miskin? Kalau boleh memilih, semua orang pasti pengin dilahirkan ganteng, cantik, kaya. Pokoknya sempurna. Tapi kita kan gak bisa milih gimana kita mau dilahirkan. Liana itu boleh saja mirip kamu, dalam versi yang kamu sebutkan tadi. Tapi dia cuma beruntung karena dilahirkan dalam keluarga kaya.

"Yang sejak lahir sudah mendapatkan segala kemudahan. Fasilitas berlebih yang diberikan orang tuanya. Tapi menurutku, kamu jauh lebih hebat dari dia, Anjani. Kamu bisa kuliah tanpa meminta biaya dari orang tua, kamu bisa membangun rumah peninggalan kedua orang tua kamu dari hasil kerja keras kamu sendiri. Dan sampai detik ini, kamu berhasil berdiri di atas kaki kamu sendiri tanpa pertolongan orang lain. Percayalah, itu semua adalah modal yang kamu miliki buat sukses.

"Orang yang terbiasa menderita, tidak akan kaget kalau suatu waktu dihadapi dengan kondisi yang lebih buruk dari hidupnya saat ini. Tahu kan istilah? Kenapa orang takut miskin, tapi gak takut kaya? Karena orang-orang kaya terbiasa dengan hidup mereka yang nyaman, jadi mereka takut bila hidup di bawah standar dari kenyamanan mereka saat ini."

Aku terdiam mendengar kata-kata Kak Mel. Yah..mungkin benar, aku tidak boleh berpikir terlalu merendahkan diriku sendiri. Orang dilahirkan ke dunia ini bersama dengan garis takdir mereka masing-masing bukan? Lalu kenapa kalau aku terlahir miskin? Bukan berasal dari keluarga terpandang. Toh, aku tidak pernah menyusahkan orang lain.

"Kamu masih muda, An. Masa depan kamu masih panjang, jangan menghabiskan waktumu dengan meratapi nasib karena cinta. Kita memang tidak bisa menghindar dari yang namanya jatuh cinta, tapi saat patah hati. Jangan sampai membuat hati terpuruk. Oke?"

Apa yang bisa aku lakukan selain mengangguk? Ucapan Kak Mel benar kan?

"Kamu gadis yang kuat, kakak percaya sama kamu. Sekarang, kakak mau kasih kabar buat kamu."

"Kabar apa, Kak?"

"Ikatan perancang mode Indonesia, mau mengadakan kompetisi untuk para desainer muda berbakat dalam lomba desain pakaian. Yang merupakan karya asli dari desainer itu sendiri. Dan kakak ingin kamu berkompetisi dalam ajang bergengsi ini, An."

"Aku? Kak Mel serius?" Belalakku kaget. Tentu saja aku sangat tahu kompetisi bergengsi ini untuk para perancang busana pemula seperti aku.

"Ya. Kamu. Seriuslah. Dan kamu tahu gak, salah satu juri yang akan didatangkan itu adalah Simoneta Monelo. Pemilik rumah mode Monelo dari Milan!"

Aku kembali ternganga. Tentu saja aku tahu siapa Simoneta Monelo. Nama itu sama terkenalnya dengan Prada, Armani maupun Dolce and Gabbana. Beberapa nama brand besar dari Italia. Tidak ada pecinta mode dan desainer yang tidak mengenal Simoneta Monelo dan rumah modenya.

"Dan kamu tahu, An. Simoneta itu dulunya seniorku waktu di Paris. Simoneta dan aku akan menjadi juri diajang bergengsi itu."

"Keren," kataku dengan mata berbinar-binar. "Kalau aku ikut, ada kemungkinan jadi juara satu dong Kak Mel?"

Kak Mel langsung mendecih. "Enak aja, gak ada itu yang namanya kolusi dan nepotisme. Kamu harus berjuang dengan kemampuan kamu sendiri, An."

"Yah...kirain kenal orang dalam bisa cing cai, pas tahunya sama aja." Aku pura-pura kecewa.

"Cing cai apanya? Yang ada cin cau noh."

Dan lagi-lagi kami berdua tertawa bareng. Diam-diam aku bersyukur, Kak Mel memang paling ahli mengalihkan kesedihanku. Setidaknya berita ini, membuatku sejenak melupakan kesedihanku karena Theo.

Love Is Blue (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang