Bab 30

9.4K 834 24
                                        

Klub sudah dipenuhi para pemain AC Milan saat kami tiba. Lessandro membimbingku memasuki klub mewah, di mana acara digelar.

Sehari sebelumnya, mereka juga mengadakan pawai kemenangan keliling kota untuk merayakan keberhasilan AC Milan menjadi juara liga champion. Acaranya ditayangkan di televisi, banyak orang yang merupakan fans AC Milan berkumpul di jalan menyaksikan pawai itu.

Dan malam ini, pesta diadakan lebih private. Hanya tamu undangan dan para pemain yang hadir. Dengan pasangan masing-masing tentu saja. Bila ada yang datang tidak bersama pasangan, alias masih jomblo. Jangan khawatir. Sejak pertama kali menginjakan kaki ke dalam klub. Aku sudah melihat gadis-gadis cantik bergaun mini seksi berkeliaran. Mencari mangsa.

Mungkin berharap bisa menggaet salah satu pemain yang masih lajang dan jomblo. Bila ucapan Miuccia soal gaji pemain sepak bola yang berjumlah fantastik itu benar dan kurasa memang benar. Maka berkencan dan menjadi pacar pemain sepak bola itu cukup menggiurkan.

Dengan gaji milyaran rupiah sepekan, siapa yang menolak dijadikan pacar mereka? Meski mungkin cuma pacar sesaat? Bahkan gaji CEO di Indonesia saja, aku yakin tidak setinggi pemain klub sepak bola elite eropa.

Kemewahan yang ditawarkan benda bernama uang memang tidak bisa diabaikan begitu saja. Ferrari tentu jauh lebih menggoda dari sepeda motor matik kan? Berlian tentu lebih menarik ketimbang perak.

Lihat saja, meski tahu Lessandro datang bersamaku. Tapi dari awal kedatangannya, tak ada habisnya gadis cantik nan seksi yang mendekatinya. Mengajaknya ngobrol atau sekedar menyapa. Malah ada yang terang-terangan menggoda dengan pamer buah dada. Meski semua itu ditolak Lessandro secara halus.

"Gadis tadi seksi. Rugi kalau kamu  acuhin gitu aja. Yakin gak mau terima tawarannya buat kencan besok?" tanyaku ketika seorang gadis berambut merah, yang entah asli atau tidak warna rambutnya, mendekati Lessandro. Menyelipkan kartu nama padanya. Gaun kuning yang dikenakannya aduhai seksinya. Aku sendiri yang perempuan sampai ngeri melihatnya, apa dia gak takut pulang naik taksi dengan gaun seseksi itu?

Tapi mungkin tidak, gadis secantik dan seseksi itu, pasti tidak akan kesulitan mendapatkan pria yang bersedia mengantarnya pulang kan? Gak mungkin pulang naik taksi sendiri.

Lessandro melirikku sebal. Tangannya memainkan gelas sampanye di tangannya. Aku sendiri lebih memilih minum jus buah. Karena aku tidak suka minum alkohol. Pernah nyoba sekali, bukannya ketagihan. Malah gak suka. Menurutku, aneh rasanya.

Secangkir capuccino jauh lebih enak daripada segelas martini. Karena itu heran kalau ada orang yang suka 'minum', suka mabuk. Rasa minumannya saja sudah tidak enak di lidah, bagaimana bisa kecanduan? Tapi mungkin selera orang itu beda-beda. Mungkin memang lidahku yang gak cocok, alias kampungan.

"Kamu itu teman kencanku, kamu malah nyuruh aku buat menerima ajakan kencan gadis lain? Kamu bercanda?"

"Apa tampangku kayak orang bercanda?"

"Kamu gak marah gadis-gadis itu deketin aku?"

"Kenapa harus marah? Wajarkan kalau cowok bujangan kayak kamu dideketin banyak cewek cantik?" tanyaku belagak pilon.

Lessandro semakin tajam menatapku. Membuatku merinding.

"Serius ngomong kayak gitu? Beneran kamu gak marah aku dideketin banyak perempuan? Gak cemburu?"

"Kenapa harus cemburu?"

Lessandro tertawa sumbang mendengar ucapanku. Ia tersenyum, tapi senyumnya tidak sampai ke matanya. Sebaliknya, sinar matanya terlihat dingin dan kecewa.

"Apa kamu sedang berlagak bodoh atau memang tidak punya perasaan? Kamu tahu kan saat ini aku sedang mendekatimu, An. Aku tertarik padamu, bahkan mati-matian berusaha agar klubku memenangkan liga champion. Itu agar aku bisa berkencan denganmu. Sesuai janjimu padaku.

Love Is Blue (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang